SELAMA 12 TAHUN HASILKAN 36 PUBLIKASI DAN 100 ABSTRAK ILMIAH

Delvac Oceandy, Alumnus Unair Jadi Peneliti Stem Cell di Inggris

Feature | Jumat, 17 Januari 2014 - 07:40 WIB

Delvac Oceandy, Alumnus Unair Jadi Peneliti Stem Cell di Inggris
Doktor Delvac Oceandy saat ditemui di sebuah mal di Surabaya pekan lalu (9/1). F-BRIANKA Irawati/JAWA POS/JPNN

Indonesia memiliki ahli stem cell yang giat berkiprah di dunia internasional. Dia kini menjadi salah seorang peneliti utama bidang ilmu kedokteran di University of Manchester, Inggris. Dokter alumnus Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya, itu ingin membawa dunia kedokteran Indonesia diakui internasional.

 

BRIANKA IRAWATI, Surabaya

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

 

Sore itu (9/1) Dr dr Delvac Oceandy menghadiri reuni kecil dengan teman-temannya para alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) angkatan 1989 di sebuah mal di Surabaya Barat. Kebetulan, dia mudik di kampung halaman untuk merayakan Natal dan tahun baru.

 

"Kami sekalian menengok orang tua di Surabaya," ujar peneliti yang memang asli Kota Pahlawan itu.

 

Sudah 12 tahun Delvac bersama istri dan dua anaknya tinggal di Manchester, Inggris. Meski begitu, logat bicaranya tidak banyak berubah: khas Suroboyoan. Penampilannya pun tetap sederhana. Tidak terlihat bahwa dia seorang ahli di bidang ilmu kedokteran di salah satu perguruan tinggi termasyhur di Negeri Elizabeth. Sore itu dia mengenakan kaus berkerah dan celana kain. Tak lupa, dia membawa komputer jinjing untuk presentasi.

 

Setelah menyelesaikan studi di FK Unair pada 1996, Delvac bergabung di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, sebuah lembaga penelitian di Jakarta. "Sejak lulus dokter, saya memang tertarik menjadi peneliti," ungkapnya.

 

Dia meraih gelar PhD di University of Queensland, Australia, 2001. Setelah itu, pria 43 tahun tersebut melanjutkan ke jenjang post-doctoral di Institute of Molecular Bioscience, Queensland.

 

Di Australia pula Delvac bertemu perempuan yang sekarang menjadi istrinya, Alma Adventa. Setelah menyelesaikan studi di Institute of Molecular Bioscience, pada 2002 dia bergabung di laboratorium Prof Ludwig Neyses di Manchester, Inggris. Singkat cerita, Delvac dan istri lalu memutuskan untuk pindah ke kota markas tim Premier League Manchester United dan Manchester City itu.

"Setelah menikah di Palangkaraya, asal istri saya, kami terbang ke Inggris. Saya bekerja di University of Manchester, sedangkan istri mendapat beasiswa S-3 di sana," jelasnya.

 

Saat ini Delvac bekerja sebagai dosen Departemen Kardiovaskuler Fakultas Kedokteran University of Manchester. Dia bahkan menjadi peneliti utama (principal investigator) di lima proyek riset yang didanai British Heart Foundation, Medical Research Council, dan Manchester Biomedical Research Centre.

 

Selama hampir 12 tahun terakhir Delvac menghasilkan 32 publikasi yang dimuat di jurnal internasional. Dia juga menelurkan sekitar 100 abstrak ilmiah yang telah dipresentasikan di sejumlah konferensi internasional.

 

Dedikasinya di bidang ilmu kedokteran pun berbuah berbagai penghargaan. Antara lain, European Society of Cardiology (ESC) Award for Best Abstract Presented at ESC Annual Congress, Munich (2012); British Heart Foundation Intermediate Fellowship (2010); dan European Society of Cardiology Young Investigator Award 1st Winner (2006).

 

Di Manchester, dua buah hati dari istri tercinta lahir. Mereka adalah Adelia Oceandy yang kini sudah berusia 9 tahun dan Joshua Oceandy, 3. Meski tinggal di negeri orang, Delvac tetap memberikan pendidikan kepada anak-istrinya agar tidak meninggalkan adat istiadat Indonesia. Boleh saja jago bahasa Inggris, tapi bahasa Indonesia tetap harus dikuasai. Di rumah, dia dan istri tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Anak-anaknya paham, tetapi menjawab dalam bahasa Inggris.

 

"Anak saya lebih jago bahasa Inggris dibandingkan saya, apalagi kalau sedang berdiskusi. Tapi, mereka juga harus mengerti bahasa Indonesia," terangnya.

 

Delvac lalu menjelaskan riset yang sedang dikembangkan di Manchester. Salah satunya adalah penelitian stem cell, metode kedokteran yang diramalkan memberikan terobosan baru dalam penyembuhan penyakit manusia pada masa depan. Caranya, mengembangbiakkan sel tubuh manusia yang kemudian dikembalikan ke tubuh untuk menggantikan fungsi sel yang telah rusak.

 

Saat ini Delvac melakukan riset stem cell untuk penyakit jantung. Penelitiannya tersebut berjudul Cardiomyocycte Regeneration and Cell Reprogramming. Dia menggunakan teknologi stem cell dan mempelajari kinerja sel saat replikasi serta reduksi sel jantung yang rusak.

 

"Kenapa dapat terjadi gagal jantung, bagaimana gagal jantung bisa normal kembali, dan apa saja yang menjadi penghambat gagal jantung. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itulah yang sedang saya teliti," tegas Delvac.

 

Dia mengakui, riset stem cell di Manchester terus dikembangkan. "Teknologi stem cell berkembang sangat cepat, terutama di Amerika. Kami harus selalu mencari informasi terkini sehingga tidak tertinggal. Caranya, mengirim staf ke luar negeri dan selalu mengikuti perkembangan ilmu dengan menghadiri konferensi internasional," tegasnya.

 

Bidang riset Delvac menggunakan tikus sebagai objek pengembangbiakan sel bakal tersebut. Tentu saja bukan tikus sembarang tikus. Namun, tikus yang sudah diteliti lengkap karakteristiknya secara pendekatan genetis. Mengapa menggunakan tikus" Sebab, binatang pengerat itu mudah didapatkan, murah, serta mampu berkembang biak dengan cepat.

 

Delvac mempelajari berbagai kemungkinan penggunaan stem cell untuk memperbaiki sel jantung yang rusak. Jenis stem cell terbaik adalah stem cell yang berasal dari organ jantung sendiri (cardiac stem cell). Masalahnya, jumlah sel itu terbatas. Padahal, untuk memperbaiki jantung yang rusak, dibutuhkan setidaknya 1 miliar stem cell.

 

Alternatif lain adalah menggunakan stem cell yang berasal dari embrio manusia. Secara teori, stem cell dari embrio mampu berkembang biak sangat baik, cepat, dan bisa berdiferensiasi menjadi lebih banyak jenis sel (pluripotent). Sayangnya, sel itu tidak bisa digunakan. Sebab, metode tersebut harus mengorbankan embrio (calon janin) sehingga berlawanan dengan etika kedokteran.

 

Karena alasan itulah Delvac lalu mengembangkan teknologi cell reprogramming. Yaitu, merekayasa sel kulit (fibroblast) untuk diubah menjadi stem cell. Selanjutnya, stem cell itu bisa dikembangkan menjadi sel jantung.

 

Berbeda dengan Indonesia, penggunaan stem cell dari sumsum tulang untuk terapi penyakit jantung mulai ditinggalkan di Eropa dan Amerika. Sebab, stem cell dari sumsum tulang tidak bisa berkembang menjadi sel jantung, namun hanya memperbaiki kontraksi jantung.

 

"Stem cell dari sumsum tulang sangat efektif untuk serangan jantung yang akut saja. Tetapi, kurang cocok digunakan untuk penyembuhan penyakit gagal jantung yang kronis," terang Delvac.

 

Meski sedang booming, dia mewanti-wanti pasien berhati-hati terhadap iming-iming terapi dengan stem cell. Sebab, regenerasi sel yang dilakukan stem cell di dalam tubuh harus diawasi ketat dan harus diketahui mekanismenya secara pasti.

 

"Mungkin efek samping baru muncul sekian tahun kemudian. Sel yang berkembang biak secara liar berpotensi menjadi kanker," tegasnya.

 

Dalam risetnya mengenai stem cell, Delvac berkolaborasi dengan beberapa dokter ahli. Sebut saja dr Tamer Mohamed, peneliti post-doctoral asal Mesir, yang saat ini magang di Gladstone Institute, San Francisco, AS. Lalu, Abigail Robertson, mahasiswa S-3 asal Inggris, dan dr Riham Abou-Leisa, peneliti post-doctoral dari Mesir.

 

"Selain itu, awal tahun ini akan bergabung dr Ardiansah Bayu, mahasiswa S-2 dari UGM Jogjakarta," ujar Delvac.

 

Memang, semua penelitian Delvac berada di bawah naungan University of Manchester. Dia juga tercatat sebagai anggota American Heart Association, Council of Basic Cardiovascular Research, British Society of Cardiovascular Research, serta Heart Failure Association of the ESC.

 

Di Inggris, dia mengakui bahwa riset sangat dihargai dan dipermudah. Kucuran dana bagi dosen yang melakukan riset sangat mudah didapat. Hanya, riset itu harus bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas. Pertanggungjawabannya relatif mudah karena semua bersistem online dan transparan.

 

Total dana penelitian yang didapat Delvac saat ini mencapai 1 juta poundsterling atau senilai Rp 20 miliar. Sebagian besar dana tersebut berasal dari British Heart Foundation. Dana itu digunakan untuk topik penelitian kegagalan jantung dan regenerasi sel jantung. "Itu termasuk riset stem cell."

 

Kendati kini tergolong peneliti sukses di Inggris, Delvac tetap ingin kembali dan mengembangkan dunia kedokteran di Indonesia. "Memang, saat ini kalau saya berbicara di kongres internasional, penyelenggara memperkenalkan saya sebagai pengajar University of Manchester, bukan sebagai Delvac yang bekerja di Indonesia," ungkap Delvac yang selalu menyempatkan mengantar sekolah anak-anaknya dan mengisi hari libur bersama keluarga setiap weekend tersebut.

 

Karena itu, dia bercita-cita membawa kedokteran Indonesia di kancah internasional dengan strategi khusus. "Saya sangat ingin masalah kesehatan di Indonesia diteliti orang Indonesia, dipublikasikan oleh orang Indonesia, tapi didengar seluruh masyarakat dunia," tegas laki-laki kelahiran 30 Agustus 1970 tersebut.

 

Salah satu upaya dalam strateginya itu adalah menjalin kerja sama dengan institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Antara lain, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Lembaga Eijkman, serta RS Jantung Harapan Kita, Jakarta. Bukan melulu soal stem cell, kerja sama dengan UGM dan Lembaga Eijkman, misalnya, meneliti malaria. Sementara itu, dengan RS Harapan Kita, dilakukan riset mengenai kesehatan jantung.

 

Upaya yang lain adalah membantu mendapat dana riset untuk penelitian di Swedia melalui The British Council. "Yang dikedepankan adalah nama pakar Indonesia. Nama saya di tengah-tengah saja," ujarnya merendah.

 

Delvac selalu membuka diri untuk memantau dan berkomunikasi dengan para pakar dari universitas tersebut. "Jangan sampai riset yang sudah dimulai lantas terputus di tengah jalan," katanya.

 

Meski terpisah jarak yang cukup jauh, Inggris"Indonesia, Delvac yakin semua akan tercapai jika ada kemauan kuat. "Bangga pastinya jika suatu saat nanti dunia kedokteran Indonesia berkembang pesat dan diakui dunia internasional," imbuhnya. (*/c5/ari)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook