YANG TERSISA HANYA KUBAH DAN LENGKUNG JENDELA

Perjalanan KRI Dewaruci pada Hari-hari Terakhir Ramadan di Eropa (2)

Feature | Kamis, 16 Agustus 2012 - 09:46 WIB

PORTO (RP) - Islam pernah tumbuh dan berkembang di Porto.  Sayang, kini jejak sejarah itu sudah tak tersisa lagi.

Di pusat kota itu saya disuguhi kawasan tua dengan jalan-jalan berlapis cobblestone (batu alam berbentuk persegi). Kanan dan kiri jalan berupa jalur pedestrian yang memanjakan turis.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bangunan-bangunan tua berarsitektur kolaborasi dua budaya menghiasi sekelilingnya. Gaya klasik khas Eropa penuh ornamen dan berukir yang dipadukan dengan bangunan khas Timur Tengah berupa kubah di atap bangunan dan jendela lengkung di bagian atasnya.

Gedung-gedung kuno itu dimanfaatkan sebagai kantor-kantor pemerintahan. Sebagian dipelihara sebagai museum dan tempat wisata yang mendatangkan devisa bagi pemerintah kota.

Beberapa bangunan yang memadukan budaya Eropa dengan Timur Tengah itu, antara lain, Katedral Se dan Medieval Tower. Letaknya tak jauh dari Stasiun Sao Bento. Cukup jalan kaki tak lebih dari sepuluh menit ke Selatan.

Katedral Se didirikan sekitar abad ke-12 di atas lahan yang dulunya masjid. Kini tidak ada lagi peninggalan Islam yang tersisa di bangunan itu, kecuali gaya bangunan dan dua menara berpuncak kubah yang mendampingi katedral.

Sedangkan Medieval Tower merupakan kastil untuk pertahanan militer yang dibangun kelompok bangsa Arab Moor dari ujung Teluk pada abad ke-11. Mirip bidak benteng dalam permainan catur dengan pintu dan jendela yang melengkung pada bagian atasnya.

Bangunan kuno lain di kawasan itu adalah Gereja Kembar Igreja do Carmo dan Igreja dos Carmelitas, Pasar Bolhao, Palacio da Bolsa, dan Majestic Cafe.

‘’Majestic Cafe jadi terkenal setelah penulis buku Harry Potter JK Rowling sempat menulis buku di kafe itu,’’ terang Marta Vitorino, petugas tourist center dekat Stasiun Sao Bento.

Sayang, karena sedang menjalankan ibadah puasa, saya tidak bisa masuk ke kafe tersebut. Marta lalu menyarankan agar saya berjalan ke barat beberapa blok. Di sekitar Infante D. Henrique Park berdiri gedung bursa efek Palacio da Bolsa.

‘’Di gedung itu ada ruangan bernama Arab Room. Segera ke sana sebelum Sabtu tutup pukul 16.00,’’ lanjut Marta.

Arab Room yang didirikan pada 1840 mendapatkan sentuhan budaya Arab berkat rancangan arsitek sekaligus seniman Gustavo Adolfo Goncalves de Sousa.

Tak puas hanya di dalam Kota Porto, saya kemudian ke Guimaraes. Kebetulan, dosen teknik geodesi ITS Eko Yuli Handoko yang tengah mengambil program doktor di Universidade do Porto dengan senang hati bersedia mendampingi saya pada hari terakhir di Porto.

Sama-sama dari Jawa Timur membuat kami cepat akrab. Saya juga ditemani M Basir, warga Indonesia yang baru menyelesaikan studi di Universidade do Minho.

Pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Departemen Politik dan Kajian Strategis di Portugal itu menjelaskan bahwa Guimaraes merupakan lokasi cikal bakal Portugal berdiri.

Banyak bangunan tua yang masuk dalam situs warisan dunia UNESCO. Antara lain Santuario da Penha, Guimaraes Castelo, dan Paco dos Duques.

‘’Saya beberapa kali ke Guimaraes. Kalau ke sana lebih enak dengan kereta cepat, sekitar 1,5 jam dari Stasiun Sao Bento,’’ terang Eko.

Selama perjalanan ke Guimaraes, saya disuguhi pemandangan berbeda. Jalur kereta di dataran tinggi melintasi wilayah perkebunan. Ada kebun kol, sawi, dan bawang.

 Tampak pula kebun hortikultura seperti semangka, melon, dan jeruk. Kereta juga melewati kawasan peternakan ayam. Begitu tiba di stasiun tujuan, kami berlanjut naik taksi ke Santuario da Penha untuk menghemat tenaga.

Lokasi situs sejarah itu berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Santuario da Penha menjadi bangunan tertinggi di kawasan tersebut.

Untuk mencapai tempat transit hingga tujuan, tersedia kereta gantung. Dari situ, jika cuaca cerah, pengunjung bisa melihat Kota Guimaraes dari ujung ke ujung.

Setelah puas menikmati panorama Guimaraes dari puncak Santuario da Penha, kami turun dengan kereta gantung menuju pusat kota. Dari tempat transit ke jantung kota, kami berjalan kaki sekitar 3 kilometer. Lumayan menguras energi.

Apalagi, siang pada bulan Ramadan itu matahari cukup terik. Informasinya, suhu udara di sudut kota siang itu mencapai 29 derajat Celsius. Menyusuri jalanan maupun gang-gang di Guimaraes nyaris sama seperti di Porto.

Meski tidak terlihat situs peninggalan Islam, banyak bangunan yang masih mendapatkan sentuhan budaya Timur Tengah. Begitu sampai di Paco dos Duques (Palace of the Dukes), kami memasuki istana Raja Pertama Portugal D Henrique melalui pintu lebar dengan bagian atas melengkung.

‘’Di salah satu ruangan ada lukisan yang memperlihatkan Perang Salib melawan bangsa Arab Moor,’’ terang M Basir.

Ia mengakui, khazanah Islam di Guimaraes sebatas simbol-simbol di bangunan tua. Tidak ada masjid sama sekali. Selama tiga tahun kuliah di Guimaraes, pemuda asal Buton, Sulawesi Tenggara, itu hanya menjumpai segelintir imigran muslim.

‘’Kalau mau salat Jumat, kita harus ke Porto atau ke Braga,’’ ungkapnya.  Rumah makan yang menunya dijamin halal hanya ada di warung kebab Turki depan kampus Universidade do Minho.

Sementara itu, banyak masakan di Portugal yang diolah dengan menggunakan wine atau anggur yang difermentasi. Setiap perjamuan makan pun rasanya tidak lengkap bila tidak dilengkapi dengan minum wine.

Sebelum kembali ke Porto sore itu, kami menuju kastil yang tidak jauh dari jantung Kota Guimaraes.

Di salah satu dinding depan kastil terdapat tulisan Aqui Nasceu Portugal. Dalam bahasa Portugis berarti Portugal Lahir di Sini.

‘’Dalam sejarahnya, sebelum mendirikan Paco dos Duques di bukit, Henrique membangun kastil di pusat kota dan memproklamasikan berdirinya Portugal,’’ terang Basir. .(ari/ila/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook