Mesin pencetak alias printer karya Johanes Djauhari ini benar-benar inspiratif. Sebab, alat itu bisa menghasilkan barang-barang utuh (3D/tiga dimensi) seperti botol, mainan, hingga replika wajah manusia.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
JOHANES berjalan tergopoh-gopoh sambil mengangkat perkakas seukuran monitor komputer 15 inci. "Kelihatannya saja berat," kata dia setelah sampai di salah satu sudut Mal Gandaria, Jakarta, kemarin. Perkakas itu adalah mesin pencetak atau printer 3D ciptaannya.
Setelah meregangkan badan, dia menata dan merapikan ulang mesin tersebut. Johanes lantas mengeluarkan benda-benda kecil seperti mainan dan botol minuman. Benda-benda itu adalah hasil printer 3D karyanya.
Cara kerja printer itu sama dengan printer pada umumnya. Yakni, mengeluarkan hasil olahan dari perangkat komputer. "Kelebihan mesin ini, hasil cetakannya benar-benar berupa barang. Bukan berwujud gambar," kata Johanes.
Misalnya, menggambar 3D tokoh kartun Doraemon. Yang keluar benar-benar boneka plastik Doraemon. Bukan gambar Doraemon. "Bisa dipegang. Solid wujudnya," tutur pria kelahiran Jakarta, 28 Oktober 1981, itu.
Gagasan menciptakan printer 3D tersebut muncul pada 2011. Saat itu Johanes dan Yopi Djauhari, adiknya, berkongsi membuat usaha konsultasi desain produk dan desain grafis. "Saya yang desain grafis. Adik saya desain produk," ujar alumnus S-1 Multimedia Swinburne University, Melbourne, Australia, pada 2006 itu.
Kolaborasi Johanes dan adiknya mendapatkan proyek dari sebuah perusahaan elektronik ternama untuk membuat maket mesin cuci. Dia kurang puas jika hanya membuat maket ala kadarnya. Pada proyek-proyek sebelumnya, mereka membuat replika barang-barang pesanan dari kertas kardus, lilin, dan styrofoam (gabus). Dari situlah akhirnya muncul gagasan untuk membuat printer 3D.
Masalahnya, bahan ajar atau produk untuk perbandingan dalam membuat printer 3D sangat langka. Johanes berburu ilmu dari YouTube. Dia mendapatkan contoh kasus yang sukses maupun gagal. "Saat melihat contoh yang sukses (membuat mesin 3D), rasanya enak sekali. Pengin mencoba juga," katanya.
Tanpa bekal teman diskusi atau literatur, Johanes memutuskan untuk membuat printer 3D. Kendalanya, dia tidak mempunyai komponen atau onderdil untuk menciptakan mesin tersebut. Johanes pun memutuskan untuk berburu onderdil ke Inggris. Komponen yang dicari adalah rangkaian peralatan elektronika (motherboard) yang menjadi otak printer. Lewat pembelian online, Johanes merogoh kocek Rp 2 juta untuk mendatangkan mesin itu.
Ujung kinerja printer tersebut ada di servomotor. Kali ini Johanes membelinya di Tiongkok. Perangkat servomotor jamak digunakan dalam eksperimen robotika. Total, Johanes menghabiskan Rp 11 juta untuk menghasilkan satu printer. "Habis banyaknya untuk trial and error," kata dia.
Dalam satu perangkat printer 3D, setidaknya ada tiga unit servomotor. Yakni, untuk gerakan naik-turun, maju-mundur, juga ke samping. Satu di antara tiga motor itu memegang peran kunci. Yakni, menjadi tempat pelelehan bahan baku yang hendak dicetak printer 3D. Dengan tingkat kepanasan tertentu, bahan baku itu meleleh, lalu begerak-gerak membentuk pola sesuai dengan yang diinginkan. "Material yang dilelehkan itu mencair, bentuknya seperti bihun," tandasnya.
Dia tidak menggunakan bijih plastik seperti umumnya industri pecah belah. Johanes menggunakan bahan khusus yang ramah lingkungan. "Plastik kan dari minyak. Saya gunakan material dari kulit jagung atau biji ketela. Banyak di pasaran," kata dia.
Kunci sukses dalam menjalankan printer 3D ada pada pengaturan keakurasian atau presisi. Kalau tidak benar-benar pas, cetakan bulat yang diinginkan malah menjadi lonjong. Dia mengklaim tingkat kemelesetan akurasi mesinnya hanya 0,2 persen. Jadi, hasil cetakan benar-benar mirip aslinya.
Mesin printer 3D sudah jamak digunakan untuk membuat duplikasi senjata api di Amerika Serikat (AS). Sementara itu, di Jepang, penggunaan mesin 3D sudah sangat berkembang. Salah satunya digunakan untuk duplikasi organ tubuh. Cara kerjanya mirip. Hanya material bahan bakunya yang berbeda.
Untuk menduplikasi organ tubuh, bahan pokoknya adalah sel punca yang dikembangbiakkan. "Saya dapat informasi, yang sudah sukses itu membentuk daun telinga dan ginjal," katanya.
Di Indonesia, pengembangan fungsi mesin printer 3D masih rendah. Johanes menyatakan, beberapa waktu lalu, dirinya mengerjakan aksesori busana dalam ajang fashion. Dia membuat sejenis pengait baju dan aksesori yang dipasang di kepala si model.
"Kalau di luar negeri, sudah ada baju yang full dicetak dengan printer 3D. Tapi, juga nggak enak dipakai, kaku," katanya.
Saat ini, Johanes membuka order cetak 3D. Tetapi, waktunya tidak bisa penuh karena dia sudah diterima bekerja di industri mainan anak-anak dengan tokoh superhero lokal.
"Pekerjaan di dunia mainan adalah impian saya. Saya ingin mengakuisisi perusahaan Lego," tegasnya.
Biaya cetak 3D tidak hanya dihitung berdasar besarnya hasil cetakan, tetapi juga menghitung beratnya. Dia mencontohkan, ongkos untuk membuat botol seukuran kepalan tangan dipatok Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu. "Harganya murah karena ringan. Dalamnya botol kan kosong. Hanya mencetak pinggirannya," jelasnya.
Untuk mainan yang solid, ongkosnya lebih mahal. Sebab, pencetakan hingga di dalam rongga mainan. Johanes awalnya berencana memproduksi mesin printer 3D untuk dijual secara umum. Teknologi printer 3D berkategori open source, sehingga tidak terbelenggu paten. Harga yang dipatok sekitar Rp 10 juta per unit. Namun, rencana tersebut dipendam dulu karena sibuk kerja. Dia khawatir akan mengecewakan konsumen untuk urusan purnajual jika dipaksakan.
Printer 3D itu memiliki kelebihan serta kekurangan. Kekurangannya, butuh banyak waktu untuk mencentak barang tertentu dalam jumlah besar. Kekurangan lainnya, materi yang dicetak menyesuaikan dengan besarnya cetakan. Kalaupun dipaksakan, pencetakan dibuat terpisah-pisah, lalu dilem. Mesin karya Johanes hanya bisa mencetak di bidang alas 11 x 10 cm.
Kelebihan mesin tersebut adalah bisa mencetak dengan desain seaneh-anehnya. "Teknik cetak plastik dengan sistem fill (pengisian cetakan) hanya bisa digunakan untuk desain yang tidak terlalu rumit," jelasnya.
Johanes mencontohkan hasil cetakan berupa patung arca. Hasilnya benar-benar mirip aslinya. Mulai pecahan-pecahan di sejumlah sisi hingga kerutan-kerutan di pakaian patung itu. Secuil apa pun kondisi objek yang akan dicetak terbaca oleh mesin. (*/c11/c5/ca)