Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru buddy_syafwan@riaupos.co
”Kami ini adalah anak-anak transmigran yang dilahirkan dari rahim Riau. Walau tidak berarti lahir di Riau, namun lebih 31 tahun saya tinggal di Riau, lebih saparuh umur saya di Riau. Sekarang waktunya saya berbuat untuk ikut memajukan Riau sebagai bakti saya untuk daerah ini.”
Kalimat tersebut berkali-kali keluar dari mulut Profesor Dr Akhmad Mujahidin, Guru Besar UIN Suska Pekanbaru yang baru berusia 41 tahun ini.
Sesekali Mujahidin, demikian dia biasa disapa, mengenang masa pertama sekali menjadi anak transmigran (biasa disebut anak trans) di Riau, tepatnya di Belilas, Indragiri Hulu.
Tinggal di perkampungan baru yang terletak nun jauh di tengah hutan, harus berjalan kaki dan bersepeda berkilo-kilometer untuk bisa sampai ke sekolah, mengarungi becek dan debu serta sunyinya perkampungan.
‘’Hanya keinginan dan nasib saja yang mungkin menyebabkan saya dan teman-teman ini bisa seperti ini. Kami bersyukur, di antara sekian banyak anak-anak transmigrasi, kami termasuk yang bisa menjadi,’’ kenang Mujahidin yang saat itu didampingi sejumlah akademisi bergelar doktor seperti Dr M Saifuddin, Dr Sudarno, Dr Kusnadi, Tatang Suprayoga SH MH serta Ir Ubaidillah saat silaturahmi bersempena terbentuknya Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (Patri) Provinsi Riau, Rabu (13/6) malam di Jalan Delima, Pekanbaru.
Kini, dari kampung transmigrasi tersebut, berkembang menjadi pedesaan, kecamatan hingga sekarang Belilas menjadi kawasan padat penduduk yang umumnya hidup dari sektor perkebunan.
Ia pun menyebutkan, secara nasional, ada dua orang profesor, sepuluh orang doktor serta ratusan magister yang terlahir dari anak-anak transmigran. Dari jumlah tersebut, satu profesor (Ahmad Mujahidin) serta empat doktor dan satu kandidat doktor berasal dari Riau.
Mereka ini, tak satupun yang pernah membayangkan bakal menjadi orang-orang dengan predikat terpelajar dan berilmu pengetahuan.
‘’Saya masih sempat makan ubi kayu bekas gigitan tikus yang tidak terjual dilalap dengan pucuk ubi serta cabai rawit. Waktu itu, sudah tidak ada lagi jatah hidup untuk para transmigran, sehingga, apa yang ada itulah yang dimakan,’’ kenang Mujahidin.
Pada era 1980-an, keluarga transmigran yang dipindahkan ke Riau tak hidup mewah seperti transmigran yang terlihat di kebanyakan wilayah Riau seperti saat ini.
Jangankan kelapa sawit, menanam karet pun langsung dicabut oleh pemerintah. Itu karena, program transmigrasi itu diterapkan bukan untuk perkebunan dan tanaman keras, melainkan untuk bercocok tanam pangan seperti padi, ubi dan keperluan pangan lainnya.
Baru beberapa tahun terakhir saja, sawit menjadi tanaman primadona yang seolah membangkitkan potensi perekonomian dari ceruk-ceruk perkampungan di Riau yang selama berpuluh tahun nyaris tak terjamah.
Dengan pola 80 persen transmigran pendatang serta 20 persen lokal, banyak juga di antara transmigran pada waktu itu yang tak betah dan memilih kembali ke Jawa setelah jatah hidup yang diberikan pemerintah untuk dua tahun pertama habis.
Yang masih bertahan dengan lahan sekapling (2 hektare), itulah yang ada saat ini.
‘’Jadi, jangan lihat senangnya saat ini, tapi betapa susahnya waktu pertama sekali bertransmigrasi,’’ timpal Dr Saifuddin yang merupakan adik kandung Akhmad Mujahidin.
Namun, di sanalah bentuk perjuangannya. Andai saja tidak hidup susah, mungkin tak akan ada keinginan untuk berjuang hidup yang lebih baik bagi anak-anak transmigran ini.
Karena itulah, keinginan untuk mengubah paradigma dan cara berpikir para orangtua dan keluarga dalam memandang pendidikan menjadi persoalan utama yang ingin dilakukan oleh Patri.
Walau secara sepintas terlihat mulai terjadi perubahan cara pandang dari warga transmigran terhadap pendidikan, ditandai dengan banyaknya anak-anak transmigran yang mulai bersekolah di jenjang SMA bahkan perkuliahan, namun jumlah tersebut relatif lebih kecil dibandingkan jumlah keluarga transmigran yang ada.
Patri sendiri belum memiliki data resmi tentang berapa jumlah transmigran di Riau. Namun, bila mengacu pada sebaran wilayah transmigrasi, setidaknya ada sembilan kabupaten menjadi lokasi pemukiman warga transmigrasi, yakni Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Indragiri Hilir.
‘’Terakhir kami mendengar di Rupat, Bengkalis akan ada Kampung Mandiri Terpadu yang dikhususkan untuk transmigran dari beberapa daerah,’’ papar Dr Sudarno.
Secara keseluruhan, masih banyak anak-anak di lokasi transmigrasi yang hidup dengan cara pas-pasan karena minimnya pendidikan serta kecenderungan orangtua menikahkan anak-anaknya di usia muda.
‘’Kalau melihat sekarang banyak anak trans sekolah di kota, bahkan sampai ke Jawa, itu baru sebagian kecil dari jumlah riil anak-anak yang tinggal di lokasi transmigrasi. Sebagian dari mereka, kehidupan ekonomi keluarganya mulai membaik, sebaliknya, ketersediaan lahan berkurang. Karena itulah, mau tak mau, orangtua harus berpikir mencarikan alternatif untuk kehidupan anak-anaknya. Mereka (anak,red) disekolahkan supaya ada bekal hidup ke depan di luar kebun yang dimiliki orangtuanya,’’ imbuh Dr Sudarno yang kesehariannya berkutat sebagai ekonom.
Dulu Malu Mengaku Anak Trans
Menelusuri kehidupan anak-anak transmigran di Riau dewasa ini ibarat membalikkan gurat kepedihan yang dilalui oleh Ahmad Mujahidin, Sudarno dan kawan-kawan beberapa puluh tahun yang lalu.
Dengan kondisi seadanya karena kemiskinan dan minimnya prasarana, tak seorangpun di antara mereka yang mau mengaku sebagai anak trans.
‘’Dulu malu sekali mengaku sebagai anak trans. Kumuh dan dekil, sekolah harus menumpang truk atau kendaraan orang yang melintas karena sekolah yang jauh, tidak ada lampu penerangan untuk belajar. Sekarang, kita bisa bangga melihat anak transmigran. Perkampungan yang mewah, anak-anak bisa bersekolah dengan baik, jalan menuju perkampungan mulai mulus dan terawat, bahkan banyak orangtua yang sanggup membelikan anak-anaknya kendaraan mewah seperti motor atau mobil. Itulah hal yang patut kami syukuri,’’ ucap Dr Kusnadi yang sedari awal lebih banyak mendengarkan.
Lelaki berkaca mata minus yang juga pelaku usaha ini pun mengingatkan tentang rasa terima kasihnya terhadap bumi Riau yang telah menjadikan mereka sebagai orang-orang berguna seperti saat ini.
‘’Bisa dibilang, sekarang saatnya bagi kami berbuat. Bukan saja untuk masyarakat transmigran yang saat ini tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru di Riau, namun juga untuk Riau,’’ sebut dia.
Patri
Patri, sesuai namanya diibaratkan sebagai perekat. Anak-anak transmigran yang berasal dari berbagai suku bangsa, budaya dan agama adalah potensi yang bisa mempersatukan masyarakat.
Dengan potensinya yang tersebar di sebagian besar wilayah nusantara, terkecuali di Pulau Jawa, wadah ini bisa menjadi pengikat yang ampuh untuk memperkuat persatuan.
Anak-anak trans yang sudah mengenyam pendidikan juga bisa menjadi motor penggerak untuk memberdayakan masyarakatnya. Potensi inilah yang saat ini ingin dimanfaatkan Patri untuk ikut terlibat membangun Riau.
Patri, secara nasional sudah didirikan di 23 provinsi di Indonesia dengan jumlah total warga mencapai 10 juta kepala keluarga.
‘’Dengan modal dasar rasa senasib sepenanggungan, karena pola transmigrasi di seluruh wilayah di Indonesia pada umumnya sama, kita harapkan lebih mudah mempersatukan berbagai perbedaan dan itu artinya juga memudahkan dalam ikut membantu membangun daerah,’’ jelas Mujahidin.
Dia juga berharap, kehadiran wadah ini bisa menjadi bagian dari upaya pemerintah daerah untuk membangun, menginisiasi kemajuan di desa-desa.
Sehingga ke depan, kawasan ini bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang tangguh dengan potensi dan sumber daya alam yang dimilikinya.(ila)