RONI HARTONO, PENDAKI 12 GUNUNG DENGAN SEPEDA ONTHEL

Bercita-cita Taklukkan Kilimanjaro

Feature | Selasa, 16 April 2013 - 09:46 WIB

Bercita-cita Taklukkan Kilimanjaro
BERSAMA ONTHEL: Roni Hartono bersama sepeda onthel miliknya di depan Homestay Mapala Sakai, Jumat (12/4/2013). foto: m ali nurman/riau pos

Laporan M Ali Nurman, Pekanbaru alinurman@riaupos.co

Aksi tidak biasa dilakukan Roni Hartono (34), lajang asal Desa Purwosari, RT 001/RW I, Kecamatan Patebon, Kendal, Jawa Tengah. Ia nekat mendaki 12 gunung di Indonesia.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pendakiannya pun bukan sembarangan, karena dituntaskan dengan mengendarai sepeda onthel keluaran tahun 1946 warisan dari kakeknya.

Jika mendengar nama Roni Hartono, masyarakat Indonesia mungkin masih bertanya-tanya siapa gerangan dirinya.

Tapi saat disebutkan, sepuluh tahun yang lalu ia adalah pemuda yang cukup nekat berjalan kaki selama empat tahun berkeliling Indonesia dan sempat mampir di Kota Pekanbaru untuk membayar nazarnya karena Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, hal itu mungkin bisa mengembalikan sebagian memori yang telah terlupakan.

Benar, aksi berkeliling Indonesia untuk memuaskan candu akan berpetualang bukan barang baru bagi Roni. Riau Pos sempat berbincang dengannya ketika singgah di Homestay Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Sakai Fisip, Universitas Riau, Jumat (12/4) malam.

‘’Panggilan jiwa, karena memang suka berpetualang. Bekalnya niat dan yakin saja,’’ ujarnya bercerita.

Awal petualangan 12 gunung ini dilakukan Roni, dimulai saat ia yang merupakan anggota Komunitas Sepeda Onthel Indonesia (Kosti) di daerah asalnya berniat untuk mengunjungi empat penjuru mata angin terluar Indonesia.

‘’Tahun 2010 mulainya,’’ kata Roni.

Dari empat penjuru mata angin yang dikunjunginya ini, 0 Kilometer Sabang, Nangroe Aceh Darussalam di ujung barat Indonesia menjadi tempat pertama yang dituju.

Setelah dari sini, ia bersepeda ke Merauke di ujung timur, Pulau Dana Rote, Rote Ndao NTT di ujung selatan, dan Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara di ujung utara.

Namun, meski telah menyinggahi seluruh penjuru mata angin Indonesia, masih ada rasa yang mengganjal di hatinya.

‘’Ujung barat tidak pakai sepeda yang sekarang. Ke sana pakainya sepeda Norton. Sepeda itu pas sampai di sana patah,’’ tutur Roni merujuk sepeda keluaran tahun 1948 yang mengalami kerusakan itu.

Maka, setelah dua tahun merampungkan ekspedisi empat penjuru mata angin, Sabang kembali ingin didatanginya. Tapi bukan hanya untuk satu tujuan. Dirancanglah ekspedisi baru lagi. Mendaki 12 gunung yang ada di Indonesia.

‘’Sebulan setelah kembali dari empat penjuru mata angin, saya jalan lagi,’’ katanya.

Persiapan yang dilakukannya sebelum menjelajah 12 gunung ini terbilang sederhana. Dengan berbekal peralatan dan suku cadang sepeda, ban dalam cadangan, dan uang Rp100 ribu, pada 23 Mei 2012 pagi sekitar pukul 09.30 WIB, dan dengan dilepas oleh Kosti Kendal, ia arungi lagi Indonesia dengan onthelnya, sepeda keluaran 1946, bermerek Philip keluaran Inggris, warisan dari kakeknya itu.

‘’Waktu ke Kepulauan Talaud, sepeda ini pernah ditawar keluarga bupati seharga Rp100 juta, saya tolak,’’ ujarnya sambil mengatakan sudah tiga tahun terakhir ia memakai sepeda itu.

Tujuan pertama saat itu adalah Gunung Gede. Untuk sampai di gunung ini, empat hari perjalanan dihabiskannya dengan mengayuh sepeda.

‘’Siang naiknya barengan dengan anak Oi Jakarta Timur,’’ lanjutnya. Berturut-turut setelah gunung ini, Gunung Ceremai, Selamet, Sindoro, Sumbing, Merbabu, Pelirang, Mahameru, Agung, Rinjani, Guntur dan Kerinci didakinya.

Mendaki gunung menggunakan sepeda, terang Roni memiliki tantangan tersendiri. Berbeda dengan mendaki pada umumnya, dengan membawa sepeda onthel ia bukan hanya memikirkan kesiapan fisik untuk sampai di puncak, namun juga ia harus mengakali bagaimana membawa sepeda yang dikendarainya bisa juga sampai ke puncak.

Roni bercerita, awal pendakian dilakukan terasa sangat sulit sekali. Selain karena trek atau jalur pendakian yang tak rata, ia pun sama sekali buta tentang bagaimana cara mengangkut sepeda sambil mendaki.

‘’Susah sekali naiknya, kita tak tahu trek dan medan. Sistemnya pakai tas carrier, awalnya saya lepas roda depan dan belakang, tapi masih terasa sulit. Setelah sampai di gunung keempat baru tahu gimana bawanya,’’ ucap Roni.

Di gunung keempat ini, Roni akhirnya tahu, membawa sepeda paling sederhana untuk mendaki adalah dengan cara memanggul, layaknya orang yang memanggul karung beras di pasar.

Meski sudah mendapatkan cara paling nyaman, bukan berarti pendakian yang dijalaninya lantas mudah. Tak terhitung, ia jatuh bangun akibat hilang keseimbangan, hingga kepala terbentur tebing, pohon dan bahkan sepeda yang dibawanya.

Dari 12 gunung yang sudah didakinya menggunakan onthel ini, Roni mengatakan jalur yang paling ekstrem adalah saat mendaki Gunung Kerinci Jambi.

‘’Wah, di sana paling ngeri. Dari shelter 1 ke shelter 2, kena hujan besar. Memanggul sepeda, mau menaikannya sulit sekali. Bisa menghabiskan waktu 15 sampai 20 menit untuk menaikkan saja. Di sana juga tak sekalipun sepeda bisa dikendarai,’’ tutur Roni.

Putus asa pernah ia alami saat akan mencapai puncak gunung, ketika itu di Gunung Mahameru.

‘’300 meter lagi mau sampai puncak, saya sudah tidak kuat jatuh dan terbentur terus, sudah mau pulang saja saat itu. Tiba-tiba ada bule yang lewat dengan langkah bersemangat. Saya jadi timbul semangat juga, orang saja bisa, kenapa kita tidak,’’ imbuhnya.

Selain kendala saat pendakian, Roni berujar, dalam perjalananpun ia sempat mengalami kendala. Contohnya adalah, batangan sepeda yang patah saat pulang dari Gunung Kerinci menuju Pekanbaru.

Belum lagi, di rute lainnya ia sempat mengalami ban bocor.

Belum lagi terkait tempat tinggal, jika tak bertemu dengan komunitas pencinta alam ataupun komunitas onthel, maka Roni akan menginap di masjid dan markas polisi yang dilewatinya.

‘’Rata-rata masyarakat Indonesia ini baik. Saya tidak ada diganggu di jalan. Paling kalau polisi, saya cuma diberhentikan dan ditanya. Kadang saya juga dikasih uang,’’ papar Roni.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kata Roni dirinya dikirimi uang Rp300 ribu per bulan dari komunitas onthel di daerah asalnya.

Selain itu, terkadang di jalan juga ia mendapatkan uang dari pengendara dan masyarakat yang mau bermurah hati membantu.

Pengalaman pahit pernah ia alami saat dalam perjalanan dari Bandar Lampung menuju Palembang, ia pernah dua hari tak makan akibat tak mempunyai uang sama sekali.

‘’Ceritanya, teman yang mengirimkan uang bilang, awal bulan saja dikirimi. Ya saya pasrah saja. Saya tahan lapar dua hari,’’ ucapnya sambil tertawa mengenang pengalaman tersebut.

Selesainya ia mendaki Gunung Kerinci pada 27 Maret 2013 menandai terpuasnya dahaga untuk menyusuri jengkal demi jengkal nusantara ini.

Roni mengatakan, ia berencana akan kembali ke kampung halamannya untuk kemudian mendaftarkan rekor yang dibuatnya ke Museum Rekor Indonesia (Muri). ‘’Walau Indonesia sudah, saya belum mau berhenti,’’ kata Roni.

Selanjutnya ujar Roni, selain ingin mencatatkan diri di rekor Muri, ia berangan-angan untuk menulis buku. ‘’Untuk Indonesia, saya mau tulis perjalanan saya ini. Karena Indonesia ini ternyata negeri yang kaya,’’ kata pria yang ternyata sudah mempunyai tambatan hati di daerah asalnya ini.

Setelah Indonesia, petualangan lebih besar  dan menjadi puncak dari perjalanannya selanjutnya ingin ia capai. Roni berencana bisa mendaki dan menyentuh puncak Gunung Kilimanjaro nun jauh di Afrika.

‘’Itu lagi yang saya mau. Saya masih cari cara untuk ke sana. Mudah-mudahan ada yang mau bantu mensponsori,’’ pungkasnya penuh harap.(ali)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook