Gedung Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin masih berdiri di antara puing-puing gedung-gedung lama kawasan purna MTQ yang kini rata dengan tanah. Di sanalah salah satu laman bermain seniman dan gedung itu pula yang dijadikan pemerintah sebagai lahan untuk ‘memalak’ seniman.
Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru
SESUAI fungsi gedung megah itu dimanfaatkan untuk menggelar pertunjukan-pertunjukan seni berkualitas. Tempat segala kreativitas ditampilkan, tempat penuangan ide-ide yang dikemas dalam bentuk seni pertunjukan seperti tari, teater, musik dan pertunjukan sastra serta seni rupa.
Design awalnya, secara detil mengikuti kaidah-kaidah sebagai sebuah gedung pertunjukan seni. Misalnya akustik, panggung yang luas seuai panggung teater tradisional Riau, Teater Bangsawan. Selain untuk konser musik dalam jumlah yang besar, penempatan lampu dan sound system, layar, dan tempat duduk penonton juga cukup diperhitungkan.
Konsepnya bukan balai atau gedung serba guna melainkan gedung teater. Artinya tempat pertunjukan karya seni yang bermutu, baik tradisi maupun modern. Awalnya, direncanakan, gedung itu hanyalah sebagai salah satu fasilitas di kawasan itu selain teater terbuka, teater kecil, juga galeri. Tetapi dalam perjalananya, semua perencanaan itu hanya tinggal rencana.
Menurut tokoh masyarakat Riau, drh Chaidir MM, Anjung Seni Idrus Tintin yang penamaannya juga didapat dari hasil perjuangan di dalam sebuah rapat adalah sebagai upaya menyambut semangat dan ‘syahwat’ visi dan misi Riau 2020 begitu bergelora untuk menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di bentangan Asia Tenggara.
‘’Tak tanggung-tanggung memang. Tapi waktu itu semangat kita begitu besarnya. Kita ingin membangun satu tempat yang bisa digunakan untuk pertunjukan kesenian yang refresentatif untuk perhelatan seni budaya, terutama budaya Melayu,’’ jelas mantan Ketua DPRD Riau itu yang juga hadir dalam pertemuan di Laman Bujang Mat Syam bersama para seniman serta pelaku seni, Rabu (12/2) lalu.
Namun yang mencengangkan, setelah terkatung-katung selama tujuh tahun, gedung yang selama ini tidak jelas pengelolaannya itu dikomersialisasikan secara sepihak lewat Peraturan Daerah (Perda) No 9 Tahun 2013. Kontan saja, aksi penolakan muncul dari kalangan seniman, budayawan dan pelaku seni di Riau. Penolakan atas pungutan biaya itu menurut para seniman adalah sebagai upaya yang justru dapat mematikan kreativitas. Melenceng dari tujuan awal gedung itu didirikan.
Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR), Kazzaini Ks menyatakan dengan tegas, perda tersebut harus ditinjau ulang karena jika memang harus dipungut biaya, hal itu tentu saja memberatkan seniman yang berkarya. ‘’Kalau setakat uang kebersihan masih bisa dimaklumi,’’ ujarnya.
Gedung yang dibangun menggunakan uang rakyat itu, untuk menampung karya-karya seniman sekaligus untuk pembinaan kesenian. Oleh karenanya perlu tanggung jawab pemerintah dalam hal untuk keberlangsungan kesenian itu sendiri. ‘’Kalau sudah begini perlu dipertanyakan bagaimana keberadaan misi dan visi Riau 2020? Seniman Riau tampil saja susah karena harus mengeluarkan biaya yang tidak semestinya. Ini jelas-jelas akan membuat kreativitas kesenian di Riau menjadi lumpuh,’’ ucapnya.
Sebenarnya menurut Kazzaini, perda itu memang perlu untuk keberlangsungan dalam pengelolaan gedung yang selama ini memang tidak dikelola dengan baik. Tetapi juga perlu pertimbangan-pertimbangan lain terkait dengan keberadaan seniman di Riau ini. ‘’Inilah yang disayangkan, tidak ada pihak seniman diajak bicara sebelum dibuat perda tersebut. Makanya saya berharap, perda itu perlu ditinjau ulang. Jangan sampai muncul anggapan dan kesan bahwa seniman hanya dijadikan objek saja,’’ jelas Kazzaini lagi.
Senada dengan itu, Al azhar juga menyebutkan apa yang berlaku adalah merupakan kesalahan besar. Dari terbitnya perda itu, tercermin bahwa pemerintah mempersepsikan Anjung Seni Idrus Tintin sebagai balai atau gedung serba guna. Apalagi tambahnya, adanya biaya-biaya yang disesuaikan dengan lembaga dan komunitas. ‘’Padahal sudah jelas, gedung itu dipersiapkan sebagai tempat pertunjukan seni. Tak mengerti pemerintah kita ini. Seharusnya mereka bertanya kepada pihak-pihak yang mengerti, itulah gunanya pertemuan dengan pemangku kepentingan yang dalam hal ini jelas-jelas seniman,’’ kata Al azhar.
Dijelaskannya lebih jauh, proses lahirnya sebuah perda seharusnya melalui tahapan uji publik. Dalam kontek gedung kesenian, tentu saja pemangku kepentingannya seniman. Yang perlu dipertanyakan katanya, apakah proses ini sudah dilakukan, apakah perda tersebut sudah disosialisasikan kepada seniman. ‘’Kalau tidak pernah, jelas prosesnya sudah menyalahi. Kalau gedung kesenian maka seniman harus diajak mereka berunding. Kemunculan keputusan salah itu jelas melukai hati para seniman,’’ ulasnya.
Kawasan Bandar Serai semestinya dikembalikan ke fungsi dan tujuan awalnya yakni sebagai laman ekspresi, sebagai seniman berkespresi. ‘’Kalau masuk wilayah pengelolaan Dinas Pariwisata dan Eknomi Kreatif (Parekraf) Riau, maka jadikan gedung itu sebagaimana mestinya,’’ ujarnya menegaskan.
Koreografer Riau SPN Iwan Irawan Permadi mengemukakan, sudah syukur para seniman mementaskan karyanya di gedung itu. Bahkan pembangunannya tidak sesuai dengan rancangan awal. ‘’Kita selalu dianggap tidak ada. Sekarang diminta uang sewa gedung pula. Kita harus mencari tahu alasan mereka yang tiba-tiba bermain angka-angka,’’ kata Iwan Irawan.
Pembangunan gedung itu belum lengkap dan serba kekurangan, fasilitas di dalamnya belum memadai. Bahkan gedung megah itu tidak memiliki pendingin (AC) dan genset.
Pimpinan komunitas RiauBeraksi, Willy Fwi menyebut, bagaimana pula bisa dipungut biaya sebesar itu sedang dalam mencari uang untuk pementasan saja susahnya minta ampun. Hal itu menurutnya, memberatkan seniman untuk tetap bisa berkarya. ‘’Kita sudah menghabiskan waktu, energi, pikiran, uang pribadi untuk mempersiapkan sebuah pementasan agar kesenian di Riau ini bisa berkembang, jangan ditambah pula beban untuk mencari uang sewa gedung lagi,’’ ucap Willy.
Pelaku teater lainnya Hang Kafrawi mengatakan, apalagi yang bisa dilakukan seniman untuk berkarya? Sudahlah seniman berpikir keras bagaimana sebuah pementasan dapat dikemas dengan menarik untuk diparesiasi, ditambah pula memikirkan tetekbengek masalah sewa gedung. ‘’Untuk diketahui, selama ini baik sanggar atau komunitas yang mentas di Anjung Seni itu, mereka rata-rata terpaksa merogoh kantung sendiri. Mengharapkan duit tiket yang terjual, berapalah, untuk membayar sewa genset dan AC saja tak cukup. Apalagi mengharapkan sponsor di Riau ini, mimpilah,’’ kata Kafrawi.
Seniman Turun ke Jalan
Keberatan atas pungutan itu juga dikemukakan oleh sanggar dan komunitas lainnya yang memang sedang mempersiapkan pertunjukkan untuk dipentaskan sepanjang 2014 ini. Rina NE salah satu sesepuh Teater Selembayung menyebut, inilah momen untuk menunjukkan bahwa seniman itu ada.
Dibentuklah forum yang dinamakan Forum Seniman Riau (FSR) yang sepakat ditunjuk sebagai korlap, Zalfandri. Selain menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan, dirumus juga sebuah tuntutan atas kesepakatan bersama, atas nama seniman.
Kamis (13/2) pagi, hampir seratusan seniman turun ke jalan untuk menuntut atas penyimpangan yang merugikan itu. Mereka berkumpul di Laman Bujang Mat Syam dan bergerak menuju halaman Taman Budaya Riau. Mereka berarak pula ke gedung DPRD Riau yang berada di seberang Taman Budaya sembari menyanyikan lagu Lancang Kuning dengan lantang.
Mereka membentang sebuah baliho yang bertuliskan, ‘’Asit untuk Semua, Tolak Komersialisasi Anjung Seni Idrus Tintin’’ para seniman yang rata-rata berasal dari komunitas yang ada di Pekanbaru itu terus berjalan diiringi tetabuhan kompang dan gendang. Sesekali terdengar teriakan mereka ‘’Cabut Perda No 9, Hidup Seniman’’.
Hang Kafrawi meneriakkan, seniman sudah muak diam. Dikatakannya, kawasan Bandar Serai yang jelas-jelas sudah ditetapkan sebagai pusat aktivitas kesenian dan kebudayaan, kini luluhlantak oleh pembangunan yang tidak jelas, seniman diam. ‘’Kini gedung satu-satunya tempat kita bermain, diminta pula pungutan biaya. Ada apa sebenarnya? Kalau memang hendak meingkatkan PAD, janganlah seniman yang sudahlah susah untuk berkarya, diperas juga. Cukuplah hutan, minyak bumi dan kekayaan alam lainnya yang ada di Riau ini yang dipelantak habis,’’ pekik Kafrawi.
Beberapa seniman lainnya, Kunni Masrohanti, Zalfandri, Willy, Renaldi, Aamesa Aryana, Hari Sandra Hasan, Bens dan banyak lagi juga meneriakkan hal serupa terkait dengan bagaimana susahnya dan lika-liku untuk mempersiapkan sebuah pementasan. Tak lama kemudian, Ketua Komisi D DPRD, Bagus Santoso menyambut rombongan dan mempersilakan untuk masuk ke ruangan tanpa terkecuali sesuai dengan permintaan dari para seniman, tidak ada yang namanya perwakilan.
Dalam ruangan ber-AC dan kursi empuk tersebut, kembali Bagus Santoso meminta keterangan dan kepada seniman diminta untuk menyampaikan hajat dari rombongan. Tak ayal lagi, tuntutan yang sudah disusun atas kesapakatan bersama dibacakan langsung oleh Willy. Tuntutan itu berbunyi ‘’Cabut Perda Nomor 9 Tahun 2013. Jangan ‘jual’ Anjung Seni Idrus Tintin’’.
Willy membacakan ‘’Berpuluh-puluh tahun berkarya dengan bersusah payah dan berdarah-darah secara lahir dan bathin tanpa perhatian jelas dari pemerintah, tidak membuat seniman Riau surut untuk meneruskan perjuangan dalam menciptakan karya yang lebih baik. Perjalanan panjang tanpa pamrih itu terhenti seketika oleh sebuah perda makan sumpah yang tidak jelas, bahkan bisa dinego.
Hal yang sangat mengusik seniman Riau ini terjadi ketika Perda Nomor 9 Tahun 2013 tentang tarif retribusi pemakaian kekayaan daerah di lingkungan Dinas Kebudyaan dan Pariwisata Riau halaman 20. Di halaman ini, tepatnya point 4: Gedung Idrus Tintin tertulis jelas tentang pungutan biaya dengan kategori:
Umum Rp5.000.000,00
Mahasiswa Rp3.500.000,00
Seniman Rp2.500.000,00
Selain tiga item tersebut masih ada pungutan uang kebersihan Rp700 ribu yang jelas-jelas tidak tertera dalam Perda.
Sejak Perda ini diberlakukan awal Januari 2014, beberapa kasus pungutan sudah terjadi. Contoh jelas, saat mahasiswa jurusan Sendratasik UIR menggelar Karya Cipta tanggal 28 Januari hingga 4 Februari 2013, mereka dipungut Rp3.5 juta perhari. Panitia merasa keberatan karena pergelaran yang berlangsung delapan hari itu sudah pasti memerlukan Rp28 juta, diluar kebersihan. Nego punya nego, akhirnya panitia membayar Rp7 juta selama kegiatan berlangsung.
Pungutan terus berlangsung untuk kegiatan-kegiatan berikutnya. Pungutan ini semakin tidak jelas apakah besarnya biaya itu untuk perhari atau per kegiatan. Lampiran Perda yang bertuliskan ‘perkegiatan’ dicoret dengan pena dan diganti dengan perhari.
Di sinilah kerisauan itu semakin memuncak. Sudah pasti Perda ini bertolak belakang dengan cita-cita awal dibangunnya Anjung Seni Idrus Tintin sekitar 14 tahun lalu yang tidak lepas dari semangat, teriakan keras, gagasan seniman dan budayawan antara lain, Alm Rustam S Abrus, Alm. Edi Ruslan P Amanriza, Al Azhar, Tufik Ikram Jamil, Tengku Lukman Jaafar, Saleh Djasit SH, Yusmar Yusuf dan lain-lain. Cita-cita itu sangat sederhana, yakni menghidupkan dunia berkesenian di Riau.
Cita-cita besar ini pasti tidak lepas dari peran serta seniman Riau sehingga muncullah gagasan dari pemerintah Riau Waktu itu, yakni seniman harus diperhatikan bahkan disubsidi setiap mereka membuat karya. Sayangnya, saat ini bukanlah pemerintah yang memperhatikan seniman dan mensubsidi, bahkan senimanlah yang dipalak dengan memungut biaya setiap kali ingin menmentaskan karya mereka di Anjung Seni Idrus Tintin. Otomatis senimanlah yang mensubsidi pemerintah.
Dengan demikian seniman Riau melihat:
Perda tersebut diduga, dibahas dan disahkan tanpa melibatkan seluruh pihak terkait terutama penggiat seni dan budaya yang bersinggungan langsung dengan gedung pertunjukan Anjung Seni Idrus Tintin. Artinya, Perda ini tidak akomodatif.
Setelah Perda tersebut disahkan, diduga tidak ada upaya sosialisasi ke masyarakat baik melalui website maupun ke publik sehingga penerapannya cenderung dipaksakan, tidak demokratis.
Perda tersebut tidak bercirikan kerakyatan karena hanya memandang sisi pendapatan tanpa mengindahkan sisi fasilitas guna giat budaya dan berkesenian di Riau. Ini merupakan ciri komersialisasi yang harus ditolak.
Perda yang tidak jelas ini membuat seniman Riau merasa gerah dan langsung membuat gerakan bernama Forum Seniman Riau dan menyatakan sikap sebagai berikut:
- Cabut Perda Nomor 9 tahun 2013.
- Jangan ada pungutan apapun selagi Perda ini dalam proses tuntutan pencabutan.
- Bentuk Badan Pengelola Anjung Seni Idrus Tintin.
- Usut dugaan pungutan ilegal yang dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Riau.
- Kembalikan pungutan yang sudah dilakukan.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Jika dalam waktu 3x24 jam pernyataan sikap ini tidak ditindaklanjuti, maka kami akan menduduki Anjung Seni Idrus Tintin’’. Demikian tuntutan dibacakan oleh Willy dihadapan para hadirin yang hadir di ruangan itu. Begitu selesai pernyataan dibacakan, tepuk tangan dari seniman riuh gemuruh di dalam raungan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Bagus Santoso yang didampingi Kadis Parekraf Riau, Said Syarifuddin dan beberapa anggota komisi D lainnya menyebutkan kedatangan seniman hari ini merupakan momentum untuk sama-sama memperbaiki gejala-gejala salah yang sedang terjadi. ‘’Saya sepakat dan sangat setuju untuk mencabut atau menunda dulu pelaksanaan Perda No 9 Tahun 2013 tersebut. Bahkan pihaknya sangat setuju jika kiranya, gedung Anjung Seni Idrus Tintin itu, free untuk seniman mempertunjukkan karyanya,’’ jelas Bagus yang disambut tepuk meriah dari para seniman yang ada.
Sementara itu, Said Syarifuddin mengemukakan terkiat dengan pemungutan biaya itu, pihak Disparekraf hanya sebagai eksekutor atau pelaksana dari perda yang sudah disahkan. Sedangkan terkait adanya isu pemungutan liar atau biaya nego yang sudah terjadi di pihaknya, selaku kepala dinas, Said menyatakan akan menindakanjuti secepatnya kepada bawahannya. ‘’Kalaupun perda ini harus dihapuskan, kami sangat setuju. Saya juga tahu persis, bagaimana bertungkuslumusnya seniman untuk mempersiapkan karyanya karena kita juga sering komunikasi dengan seniman-seniman di Riau ini. Nah, kalau ada hitam di atas putih dari pihak DPRD, kami siap memberhentikan pungutan biaya tersebut sebagai pertanggungjwaban kami,’’ jelas Said kemudian.
Akhirnya disepakatilah untuk membuat pernyataan bersama. Namun sebelum itu, Ketua Sindikat Kartunis Riau (SIKARI), Furqon Elwe mengekspresikan sikap dan tuntutan dari seniman dengan meminta waktu untuk menyerahkan gambar kartun yang dibuat spontan selama aksi demo berlangsung. Dua buah lembar gambar kartun tersebut jelas-jelas mengekspresikan pungutan biaya atas penggunaan Anjung Seni Idrus Tintin. ‘’Kami menyerahkan karya gambar kartun ini sebagai penanda fenomena di zaman kami. Inilah bukti kegelisahan kami yang kami ekspresikan lewat karya,’’ kata Furqon Elwe singkat.
Setelah itu, bebepa perwakilan dari seniman masuk ke ruangan komisi D untuk mempersiapkan surat pernyataan bersama atas tuntutan yang telah dipaparkan sebelumnya. Penggunaan Anjung Seni Idrus Tintin dinyatakan gratis. Adapun dalam surat pernyataan tersebut, dinyatakan beberapa hal, diantaranya; menaguhkan perda no 9 tahun 2013 halaman 20 poin 4 khusus retribusi Anjung Seni Idrus Tintin (ASIT), Tidak dipungut biaya apapun saat menggunakan ASIT selama perda tersebut dalam proses penangguhan, segera membentuk badan pengelola ASIT dan melengkapi fasilitas gedung seperti AC dan Ginset.
Surat pernyataan tersebut ditandatangi oleh Ketua Komisi D DPRD, Bagus Santoso, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Said Syarifuddin dan Korlap Forum Seniman Riau, Zalfandri.(*6)