Rapor Hilang, Mengulang dari Kelas 1 SD

Feature | Minggu, 15 Juli 2012 - 07:53 WIB

Rapor Hilang, Mengulang dari Kelas 1 SD
Muhammad Renaldi (12) belajar bersama teman-temannya di kelas 3 SD Inpres Taengtaeng, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang rata-rata lebih muda 4 tahun darinya. Renaldi yang seharusnya sudah pelajar kelas 1 SMP tahun ini, terpaksa mengulang dari kelas 1 karena kehilangan rapornya. (Foto: FAJAR/JPNN)

Sungguh ironi karier pendidikan Muhammad Renaldi Rasyid. Berprestasi di kelasnya, namun dipaksa mengulang dari kelas 1 SD. Persoalannya pun sepele. Rapornya hilang.

Juni 2010 lalu, Renaldi siap-siap naik ke kelas 5, di SD KIP 1 Barabarayya, Kota Makassar, usai menjalani ujian kenaikan kelas. Di suatu hari menjelang siang, Aldi -- panggilan Renaldi -- mengembalikan rapornya kepada gurunya.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Namun beberapa hari kemudian, Aldi diminta lagi mengembalikan rapornya ke sekolah. Bocah kelahiran 26 Juni 2000 ini pun kebingungan. Pasalnya, dia masih ingat betul telah mengembalikan rapornya kepada salah satu gurunya.

Aldi pun dituduh telah menghilangkan rapornya. Dituduh menghilangkan rapor, bagi bocah sepertinya, tentu menjadi “musibah besar”. Dia mulai ketakutan. Saking takutnya, Aldi tak berani lagi ke sekolah.

"Saya baru tahu masalah itu setelah beberapa bulan. Selama sekolah di Makassar, dia memang tinggal dengan neneknya di Jl Abu Bakar Lambogo (Makassar). Saya tinggal di Gowa," kata Jumriani, ibu Aldi di kediamannya, BTN Tamarunang Indah II, Kelurahan Taengtaeng, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Jumriani pun mendatangi pihak sekolah untuk mengklarifikasi soal rapor yang hilang itu. Jumriani yakin putra sulungnya itu sudah mengembalikan rapor tersebut ke sekolahnya. Apalagi, dia sempat melihat nilai dan rankingnya sebelum menyerahkan rapor tersebut kepada Aldi. Tapi pihak sekolah bersikukuh bahwa rapor tersebut sudah hilang.

Awalnya, Jumriani mengira kehilangan rapor itu seharusnya bukan masalah besar. Pasalnya, pihak sekolah pasti memiliki arsip nilai Reynaldi. Namun betapa terkejutnya dia. Pihak sekolah ternyata tidak memiliki arsip putranya. Yang lebih parah, nomor induk Aldi juga tidak ada dalam data base sekolah.

"Saya benar-benar heran. Kenapa bisa nomor induk anak saya hilang?" kata Jumriani yang juga pernah bersekolah di SD tersebut.

Jumriani kemudian menghadap ke Dinas Pendidikan Makassar untuk mengadukan masalah yang dialaminya. Tapi dinas enggan menerimanya dengan alasan tidak ada pengantar dari pihak sekolah. Jumriani kembali lagi ke sekolah untuk mendapatkan surat pengantar tersebut. Tetapi pihak sekolah tidak memberikannya karena alasan sekolah sedang sibuk menangani ujian kenaikan kelas.

Perlakuan tersebut tidak membuat usaha ibu tiga anak ini surut. Dia mencoba "menembus" level yang lebih tinggi, Walikota Makassar. Sayangnya, balaikota tidak merespon keluhannya.

Jumriani mulai putus asa. Dia kembali ke SD KIP Barabaraya lagi untuk kesekian kalinya. Kali ini untuk mempertegas status putranya. Namun pihak sekolah tetap menyatakan Aldi bermasalah karena telah kehilangan rapor, kehilangan arsip nilai dan kehilangan nomor induk.

"Kenapa semua ini terkesan ditimpakan kepada kami. Seolah-olah semua ini kesalahan kami. Saya kadang bertanya ke Aldi, apa dia pernah kurang ajar sama gurunya. Tapi saya tahu anak saya tidak pernah bertindak kasar kepada siapa pun," ujarnya lirih.

Jumriani akhirnya memutuskan untuk memindahkan anaknya dari SD KIP Barabaraya, Kota Makassar, ke SD Inpres Taengtaeng, Kabupaten Gowa. SD Inpres Taengtaeng memang merupakan sekolah terdekat dari kediamannya. Jumriani sempat berharap, pihak sekolah dapat menerima anaknya dan menempatkannya di kelas 5.

Tetapi Jumriani harus lagi-lagi menghadapi kenyataan pahit. SD Inpres Taengtaeng menolak permintaannya. Masalahnya, Aldi harus membuktikan telah menyelesaikan kelas 4 dengan rapor (yang memuat nilai induk siswa) dan surat pindah. Tanpa rapor dan surat pindah tersebut, Aldi sama saja pendaftar baru lainnya.

Sebenarnya, pihak SD Inpres Taengtaeng sempat meminta Jumriani agar ke SD KIP Barabaraya untuk meminta arsip nilai Aldi. Jumriani diberitahukan sangat mustahil arsip nilai seorang murid bisa hilang begitu saja. Tetapi mengingat perlakuan yang diterimanya, Jumriani enggan kembali ke SD Inpres Barabaraya.

Satu-satunya bukti yang dimiliki Jumriani adalah teman-teman sekelas Aldi dulu. Tapi dia tahu, kesaksian dari teman-teman Aldi tetap tidak bisa membantu Aldi melompat ke kelas 5.

"Saya tanya dia (Aldi), kalau mau sekolah, harus mulai dari kelas 1 lagi Nak. Aldi bilang, "lebih baik mengulang Mak dari pada tidak sekolah," tutur Jumriani.

Keputusan Aldi itu pun membesarkan hati Jumriani dan suaminya, Abdul Rasyid. Menahan rasa malu, Aldi akhirnya didaftarkan di SD Inpres Taengtaeng pada 2010. Dia kembali ke kelas 1 pada usia 10 tahun saat itu. Lebih tua 4 tahun dari rata-rata teman-teman sekelasnya.

Tahun ini, Aldi sudah akan naik kelas 3 dengan usia 12 tahun. Selama bersekolah, Aldi tak pernah kehilangan gelar juara kelas. "Sejak di SD KIP, dia memang sudah sering ranking 1 atau 2," pungkas Jumriani.

Namun bersekolah dengan usia yang lebih tua dari teman-teman sekelasnya menjadi beban sendiri bagi Aldi. Kendati tubuhnya tidak besar-besar amat, dia mengaku sering menjadi bahan candaan teman-teman di sekolahnya.

"Anak kelas 6 selalu pangngara ka (memancing saya) berkelahi. Tapi tidak kutanggapi" katanya polos.

***

Kepala Dinas Pendidikan, Olahraga dan Pemuda Gowa, Idris Faisal Kadir mengaku sejak kasus Aldi mencuat di publik, pihaknya merasa menjadi pihak yang disalahkan. Padahal kesalahan ada di Pemerintah Kota Makassar.

Idris pun membenarkan keputusan pihak SD Inpres Taengtaeng yang menempatkan Aldi di kelas 1 saat itu. Sekolah mana pun, kata Idris, tidak akan menempatkan murid di kelas yang dia inginkan tanpa bukti nilai dari sekolah pindahannya.

"Seandainya anak ini punya bukti (rapor) bahwa dia dari kelas 4, pasti kita langsung tempatkan dia sesuai dengan kelasnya (kelas 5)," kata Idris yang ditemui di SD Inpres Taengtaeng, Sabtu, 14 Juli.

Apalagi, Kabupaten Gowa kini menganut sistim Kelas Tuntas Berkelanjutan. Sistim ini menjamin seluruh pelajar di Gowa (negeri mau pun swasta) tidak akan tinggal kelas, mulai dari kelas 1 hingga kelas 3 SMA. Sepanjang kehadirannya mencapai 80 persen di tiap tingkatan kelas. Namun dalam masalahnya, Aldi sulit dimasukkan dalam sistim karena belum ada bukti (rapor) telah menuntaskan kelas-kelas yang dilewati ketika bersekolah di SD KIP Barabaraya.

Dinas pendidikan Gowa sendiri akan menunggu hingga Renaldi mendapatkan kembali rapornya. Jika sudah ada, Aldi akan dinaikan ke kelas 5.

Kepala SD Inpres Taengtaeng Abdul Khalik mengakui Aldi tergolong murid yang cerdas kendati usianya memang jauh lebih tua. Karena itu, dia menyayangkan Aldi harus kehilangan waktu beberapa tahun hanya karena persoalan rapor yang hilang.

Dari pengakuan ibunya, lanjut Abdul Khalik, Aldi tidak pernah lagi bersekolah selama 10 bulan sejak dituding menghilangkan rapornya. Tak aktif selama 10 bulan, tambahnya, seorang murid bisa saja dikeluarkan dari sekolahnya. Kendati demikian pun, pihak sekolah seharusnya memberikan arsip nilai dan surat pindah ke sekolah lainnya jika diminta oleh orangtuanya.

"Di sini, kami masih memiliki arsip nilai murid-murid terdahulu. Semuanya tercatat di dalam buku induk siswa. Karena itu sangat aneh jika seorang murid bisa kehilangan arsip nilainya," kata Abdul Khalik. (fajar/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook