JAKARTA (RP) - Sepulang memimpin jaringan Jamaah Islamiyah (JI) Australia, Abdul Rahman Ayub kini memilih jalan damai.
Setelah melepaskan sejumlah fasilitas dari JI, teman sepelatihan Hambali yang kini ditahan CIA di Guantanamo itu menghidupi diri dengan berjualan donat dan pastel.
Perawakannya tidak begitu tinggi. Namun, otot-ototnya masih menunjukkan kebugaran pada masa muda. Sorot matanya tajam dan penuh selidik.
Genggaman tangannya juga mantap. ‘’Bagaimana Anda bisa dapat kontak saya?’’ tanya Ayub kepada JPNN saat ditemui di sebuah restoran Jepang di Jakarta pada Jumat (12/4).
Ayub dan pengawal pribadinya, Aznavour Rasyad, sangat antipublikasi. Selain alasan keamanan, dia tidak gampang memercayai orang. ‘’Banyak yang mengaku wartawan, namun ternyata intel. Hanya kedok,’’ ungkapnya.
Karena itu, dia selalu melakukan seleksi awal. ‘’Biasanya saya cek dulu jalur rekomendasinya ke beberapa orang. Misalnya, Anda mengaku dapat kontak dari si X, lalu Y. Nah, kalau klir, bolehlah kita makan bersama,’’ katanya lantas tersenyum. Avu, asistennya, dengan sigap memilih menu.
Wajar Ayub selalu hidup dalam kewaspadaan. Ia adalah mantan orang yang sangat penting di Jamaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi yang sering disebut payung gerakan teror di Indonesia.
‘’Saya diamanahi memegang komando JI di Australia sejak 1997 hingga 2002,’’ jelasnya. Sebelum ditugaskan ke Negeri Kanguru, Ayub bergerak di Sabah, Malaysia.
Tepatnya di Sandakan, tak jauh dari Lahad Datu. ‘’Saya menjadi semacam penghubung atau kurir bagi mujahidin yang hendak berlatih ke Moro, Filipina, melalui jalur Malaysia,’’ ungkapnya.
Hal itu dilakoninya rentang tahun 1992-1997. Bapak tujuh anak tersebut merupakan alumnus Akademi Militer Mujahidin Afghanistan Kamp Ijtihad Islami Abdul Rasul Sayaf. Ia menempuh ilmu kemiliteran di sana pada 1986 hingga 1991.
‘’Saya berjuang di garis depan melawan Uni Soviet (Rusia). Berapa yang saya bunuh, wah sudah lupa,’’ ujarnya.
Ayub awalnya hanya siswa STM Boedi Oetomo yang mengaji di masjid DDI Kramat Raya pada 1983. Dari sana, dia mengenal Sulaiman Mahmud, komandan Darul Islam Aceh. Dari Mahmud, dia mengenal Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar, lalu berbaiat untuk setia tahun 1985 di Solo.
Ayub berangkat ke Afghanistan bersama 24 orang lainnya dari Indonesia, termasuk Encep Nurjaman alias Riduan Isamudin alias Hambali, otak serangan bom Bali 2002. Di Australia, Ayub tinggal di Perth. Dia bekerja sebagai pengajar agama di komunitas Timur Tengah di sana. Istrinya menyambi menjadi penjahit.
‘’Saat itu saya sedang proses apply sebagai permanent residence sampai tiba-tiba WTC hancur (2001) dan setahun kemudian Bali diserang bom,’’ ungkapnya.
Dari jaringannya, Ayub mendengar bahwa itu merupakan ulah Hambali, teman sepermainan dan seperjuangannya sejak muda. ‘’Saya kecewa sekali. Kok begitu, Indonesia kok dianggap negara perang. Ini saya tidak sepakat,’’ tegasnya.
Di Australia, gerak dakwah Ayub terimbas. Apalagi setelah salah seorang murid pengajiannya yang bernama Jack Roche ditangkap karena merencanakan pengeboman Kedutaan Israel di Canberra. Jack adalah imigran asal Inggris yang memeluk Islam karena dakwah Ayub.
‘’Saya memang mengirimnya ke Afghanistan untuk memperdalam agama. Ternyata, dia justru bertemu Osama dan Hambali. Pulang-pulang sudah berubah,’’ kata pria kelahiran 1963 tersebut.
‘’Kalau memang ingin mengebom, ngapain saya utus Roche, saya sendiri juga bisa,’’ tambahnya. Aparat Australia mulai gelap mata. Setiap yang terdeteksi radikal langsung ditangkap.
‘’Saya memang terbang ke Indonesia setelah itu, tapi bukan melarikan diri. Toh, tidak ada bukti apa pun yang bisa mengaitkan saya dengan aksi terorisme,’’ katanya.
Sampai di Jakarta akhir 2002, Ayub memutuskan untuk melepas jabatannya di Jamaah Islamiyah. ‘’Saya mencabut baiat (sumpah setia, red). Saya lepas semua jabatan dan fasilitas saya yang didapatkan di JI,’’ jelasnya.
Fasilitas? ‘’Oh iya, JI itu organisasi kaya. Kalau selevel saya, bisa dapat rumah dinas dan mobil operasional. Infak jamaah besar, bisa miliaran,’’ ungkap Ayub.
Ia mencontohkan, ada dermawan di kawasan Kemang yang menginfakkan rumah mewah dan mobilnya untuk jamaah.
‘’Pokoknya, sekali hati sudah diraih, soal harta itu total, nggak pakai hitungan,’’ ujarnya. Walaupun dirinya tidak terlibat, Ayub tetap saja menjadi target operasi.
‘’Saya dikepung hendak ditangkap di Bintaro waktu itu. Alhamdulillah bisa lolos,’’ ujarnya. Alumnus LIPIA itu hidup sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah hingga 2006.
‘’Bagaimanapun, saya kenal semua yang terlibat pengeboman itu. Bahkan, pernikahan Hambali saya duiti,’’ tegasnya.
Setelah hampir seluruh jaringan tertangkap, Ayub bersedia ditemui aparat. ‘’Saya tegaskan tidak setuju dengan mereka, Hambali dan kawan-kawan itu. Tapi, saya juga tidak mau bekerja untuk pemerintah,’’ kata Ayub.
Sebagai tokoh dan organisatoris senior JI, Ayub tentu sangat menggiurkan berbagai lembaga intelijen untuk direkrut.
‘’Semua saya tolak. Baik dari Indonesia, BIN, polisi, TNI, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, red), maupun dari Australia. Memang ada tawaran, tapi saya tidak mau,’’ tegasnya.
Meski begitu, dia mengakui bahwa hubungan dirinya dengan ‘’para perayu’’ tetap baik. ‘’Kita nafsi-nafsi (sendiri-sendiri, red). Silakan kalian begitu, saya memilih keliling ke masjid-masjid saja,’’ katanya.
Risikonya memang berat. Maklum, sebagai orang yang berketerampilan unik (baca: bisa membuat bom), tentu tidak gampang mendapat pekerjaan mulai nol.
‘’Jamaah sudah tidak melindungi saya, sedangkan saya juga menolak fasilitas apa pun. Bismillah, saya berjualan donat dan kue pastel keliling ke masjid-masjid,’’ ujarnya. (*/c5/oki)