EBI DAN UDANG PEPAI DI PULAU HALANG

Harga Tinggi, Udang Sulit Didapat

Feature | Minggu, 15 April 2012 - 07:47 WIB

Harga Tinggi, Udang Sulit Didapat
Para buruh bangliau menyerak udang rebus untuk dikeringkan menjadi ebi di atas petia (tempat jemuran terbuat dari papan. (Foto: ERWAN SANI/RIAU POS)

Daerah penghasil ikan terbesar di Bagansiapi-api terdapat di tiga daerah. Yakni Pulau Halang, Panipahan dan Sinaboi. Meskipun Panipahan dikatakan daerah penghasil ikan terbesar, tapi untuk penghasilan udang tentu lebih terkenal Pulau Halang.

Laporan ERWAN SANI

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pulau Halang yang termasuk wilayah Kecamatan Kubu Babusalam ini terkenal sebagai penghasil utama udang merah maupun putih. Selain itu cukup terkenal dengan udang pepai dan ekau (masih sejenis lobster).

Untuk mencapai Pulau Halang menggunakan speedboat hanya 30 menit. Namun menggunakan kapal kayu bisa memakan waktu cukup lama dan kisaran 2,5 jam dari Bagansiapi-api.

Untuk kapal menuju Pulau Halang ini hanya ada satu kali sehari dari Bagansiapi-api pada pagi hari dan sore dari Pulau Halang. Biaya kapal kayu maupun speedboat tiketnya seharga  Rp52 ribu per orang.

Seperti umumnya daerah-daerah pesisir di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Pulau Halang juga mayoritas dihuni warga Tionghoa. Itu tak lain karena Bagansiapi-api memang punya ikatan yang sangat erat dengan warga Tionghoa.

Beruntung bagi Riau Pos, Kamis (12/3) lalu, pasalnya untuk berangkat bisa menumpang speedboat milik Dinas Perikanan dan Kelautan yang membawa rombongan menuju Kota Panipahan. Namun untuk pulang ke Bagansiapi-api harus menggunakan kapal penumpang yang berangkat dari Pulau Halang pukul 13.30 WIB.

Sekitar pukul 07.40 WIB, speedboat yang dikemudikan menuju jembatan kayu yang tak jauh dari ujung tanjung di pulau tersebut. Deretan bangliau (gudang penyimpanan ikan) terus terlihat di Pulau Halang bagian depan. Puluhan bangliau di kiri kanan beton jembatan yang merupakan jalan bagi warga pesisir pantai.

Dari kejauhan tampak buruh angkat dan penjemur udang keluar masuk bangliau, sedangkan di petia (tempat penjemuran ikan dan udang), tangan dan jari lentik para ibu-ibu sibuk menjemur dan merapikan udang dan ikan.

‘’Ginilah kerje para ibu-ibu di sini. Ikut mengais rezeki membantu suaminya mengambil upah menjemur ikan dan menjemur udang,’’ jelas Asiong pemilik bangliau dan petia udang.

Asiong saat itu tampak sibuk menyeret boks atau peti ikan yang berisikan udang yang sudah direbus. Parno (33) sambil membawa garu terbuat dari kayu mulai mengisai dan menyerakkan udang yang sudah direbus agar terkena panas.

‘’Kalau panas kuat satu hari udang rebus ini kering. Jadi setelah itu bisa dipisahkan kulit, kepala dan isinya,’’ jelas Asiong, penampung udang di Pulau Halang.

Sambil memisahkan udang-udang merah berukuran besar dari dalam kotak, Asiong terus berbicara. ‘’Udang-udang ini dijual ke Bagansiapi-api saja. Baik yang basah maupun yang kering,’’ kata pria yang merupakan satu dari 3.000 penduduk Pulau Halang  ini pada Riau Pos.

Untuk harga udang, dirinya mengambil dari kapal-kapal nelayan  dengan harga bervariasi. Untuk ukuran A berkisar Rp25-30 ribu. Sedangkan ukuran B per kilonya Rp15-18 ribu. ‘’Kalau banjir  udang harga bisa turun, kalau tak ada bisa melambung tinggi,’’  lanjutnya.

Asiong merupakan satu-satunya penampung udang berukuran besar dari kapal-kapal bubu milik warga Pulau Halang. Jadi hampir  setiap hari dirinya kebagian udang besar dan ukuran sedang.

‘’Kalau udang besar dan sedang kita jual ke Asiong. Karena untuk  udang besar atau membuat ebi hanya dia di Pulau Halang ini,’’ jelas Kie Lap, salah seorang pengepul.

Menurut dia, untuk penghasilan pas-pasan saja.Pasalnya untuk menjadikan udang hingga menjadi ebi memakan biaya. Pertama menurut dia harus mengupah orang untuk memilah udang yang kecil sedang atau besar. Untuk memilih ini ibu-ibu diberi upah per kilonya Rp500-700 per kilonya.  Sedangkan untuk bagi penjemur digaji per bulan. Berkisar Rp1.500.000 per bulan dan makan ditanggung.

Pemasaran Ebi hingga ke Jakarta

Sambil menyerakkan udang menggunakan garu kayu, Asiong menjelaskan kalau ebi dan udang pepai (cepai bahasa warga Pulau Halang) dijual ke Bagan, Pekanbaru, Jambi, Palembang hingga Jakarta.

‘’Yang jelas ebi ini untuk lokal dan tidak ekspor,’’ kata Asiong yang saat itu didampingi anak buahnya yang terus menyerak kepala udang kering.   

Untuk harga udang kering cukup mahal saat sekarang ini. Untuk katagori A yang besarnya mencapai sebesar kelingking orang dewasa per kilonya Rp110.000 sedangkan untuk ukuran kecil atau kategori B berkisar Rp90.000. Sedangkan untuk udang pepai harganya berkisar Rp8-12.000 ribu. ‘’Ebi ini sampingan saja, tapi kita fokus ke udang basah,’’ jelasnya.

Dulunya udang basah tersebut dibawa ke luar negeri akan tetapi sekarang tak bisa lagi. Jadi pasaran udang basah hanya untuk daerah Tanjung Balai Asahan, Dumai, Bagansiapi-api dan Pekanbaru.  ‘’Dulu bisalah dibawa ke Malaysia. Tapi isu formalin membuat udang-udang dari tempat kita ni di-stop. Padahal bukan di sini berbuat macam itu,’’ jelasnya.

Penghasilan Udang Terus Menurun

Keberadaan udang yang dulunya per hari bisa mencapai ratusan kilo saat sekarang per harinya hanya puluhan kilo. Seperti disampaikan Kepala Cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Pulau Halang Edi Amran, dulu udang mecapai 100-200 kilo udang basah per hari.

‘’Sekarang mencari udang kasar satu pungkis atau bakul saja payah,’’ jelas Edi Amran. Makanya bagi warga pengumpul udang basah dan juga ebi pada umumnya mereka mengumpul udang untuk beberapa hari kemudian baru dikirim ke Tanjung Balai Asahan, Jambi, Pekanbaru, Palembang dan Jakarta.

‘’Jadi tak seperti dulu, satu hari bisa kirim langsung ke tempat tujuan tauke di kota-kota besar,’’ jelasnya.

Diakuinya, dulu udang di daerah Pulau Halang diekspor ke Malaysia dan Singapura. Tapi saat sekarang sudah tak jalan lagi karena terjadi berbagai isu tak enak terutama berkenaan penggunaan formalin. ‘’Padahal di daerah kita terutama di Pulau Halang ini tak ada warga menggunakan formalin. Tapi sampai saat sekarang permintaan Malaysia tak ada lagi, jadi jual ke lokal saja,’’ jelasnya.

Begitu juga dengan ebi dan pepai juga di jual untuk dalam negeri dan tidak luar negeri. Diakuinya untuk enam bulan terakhir di tahun 2011 lalu para nelayan kesulitan besar. Pendapatan udang sangat minim. ‘’Tahun 2012 inilah baru mulai, itupun sejak bulan Februari, Maret dan April ini. Kita berharap musim udang ini terus berlanjut,’’ harap dia.

Ekau dan Kepiting  Jadi Idola     

Berkunjung ke Pulau Halang jika tak merasakan ekau (sejenis lobster) berukuran besar tentu dianggap belum pernah tiba di pulau penghasil udang tersebut. Selain bentuknya khas juga rasanya sangat membangkit selera.

‘’Ekau sebutan bangsa lobster itu menjadi rebutan orang. Makanya jika ada dapat yang besar langsung diambil orang, jadi nasib-nasib jumpanya,’’ kata Edi Amran.

Untuk udang ekau tersebut per ekornya belum masak berkisar Rp15.000-20.000. Kemudian ekau tersebut menjadi incaran bagi pengunjung yang ada di Pulau Halang ini, dan berusaha berjumpa nelayan yang pulang dari mengangkat bubu tiangnya.

Menurutnya, bukan ekau saja, namun makanan khas lainnya berupa kepiting batu. Untuk kepiting batu atau bakau harganya juga mahal. Per kilonya mencapai Rp45-50 ribu per kilonya. Tapi untuk saat sekarang jumlah tangkapannya jauh menurun.

Seperti tadilah, kata Edi Amran, dalam satu hari paling tinggi dapat satu sampai dua ekor saja. ‘’Untuk dapat berkilo-kilo sulit sekarang. Apalagi sekarang warga banyak memilih mencari udang ketimbang mencari kepiting,’’ lanjutnya.

Untuk di Pulau Halang hanya terdapat ekau dan kepiting. Jadi kalah dengan daerah Panipahan dengan berbagai macam bentuk makanan seafood-nya. Seperti kerang, kemudi kapal, lokan, kepah dan lainnya. ‘’Tapi masalah udang Panipahan kalah dengan Pulau Halang ini,’’ belanya.

Semoga keberadaan udang tak pernah berkurang. Jika berkurang maka semerbak udang kering tak lagi dibawa warga dari Pulau Halang menuju Bagansiapi-api.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook