Ketika bus melewati gugusan bukit bernama Jabal Magnit, 30 Km dari Madinah, bus dapat bergerak sendiri tanpa digas. Bahkan kecepatannya bisa mencapai 120 Km per jam. Riau Pos merasakan langsung sensasinya saat berada di bus yang membawa rombongan jamaah umroh perdana bersama Galang Saudi Tourism Pekanbaru, Sabtu, (3/3).
Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Madinah
SALAT Subuh baru saja usai. Sejumlah orang asyik mengunyah cemilan dan sarapan di satu restoran. Tepatnya restoran di Wasel Reem Hotel yang letaknya persis di belakang Masjid Nabawi, Madinah. Makanan hangat, begitu juga ruangan. Di sini orang-orang bebas dari gigitan suhu sepuluh derajat, yang seringkali disertai angin kencang di luar hotel. Bulan Maret, bulan terdingin di Madinah tahun ini.
Kami berempat di meja makan restoran ketika itu. Saya, Margo, Sabri dan Harto. Margo berusia 40-an. Pembawaannya riang dan hangat. Gaya berbusananya santai. Ia seorang profesional muda di sebuah perusahaan swasta nasional di Riau. Sabri rekan kerja Margo. Sedangkan Harto seorang toke sawit dari Tapung, tak banyak komentar. Sesekali mengepulkan asap rokok. Topik pembicaraan kami meloncat-loncat seperti bajing, atau gasing, saking cepatnya topik yang satu bertukar ke topik yang lain.
‘’Ah, saya lupa bawa jaket padahal sudah diingatkan istri,’’ kata Margo. Kami bertiga yang mendengar sebenarnya bernasib sama dengan Margo juga tak bawa jaket.
Di meja seberang kami, ada seorang pria berusia 44 tahun terlihat serius membicarakan sesuatu. Tubuhnya sedang. Kulit sawo matang. Wajahnya bersih. Kopiah putih bertengger di kepala. Jaket hitam membungkus tubuhnya. Pagi itu dia banyak bicara. Berkali-kali dia terlihat memberi arahan. Namanya H Sarman Mirja. Santri lulusan Alwasliyah Medan ini jadi pembimbing rombongan umroh perdana Galang Saudi Pekanbaru. Dia dipanggil ustadz dan sering berceramah di berbagai tempat di Duri, Riau.
Nama Mirja itu ternyata singkatan yakni Minang-Riau-Jawa. ‘’Saya orang Jawa yang beristrikan orang Minang dan bekerja di Riau,’’ ujarnya terkekeh saat memberi manasik sebelum berangkat. Kami semua sebanyak 105 orang jamaah umroh perdana dari Galang Saudi Tourism yang buka cabang ke-13 di Riau. Tepatnya di Jalan Paus Ujung Nomor 8AA/13 Pekanbaru. Galang Saudi berpusat di Jakarta dan memiliki cabang tidak hanya di Indonesia, namun juga di mancanegara.
Subuh merayap pelan, tapi pasti berganti pagi. Jadwal kami hari itu tour (ziarah) ke tempat-tempat bersejarah di Madinah seperti Jabal Uhud dan makam para syuhadanya, Masjid Quba (masjid pertama yang dibangun Rasul), Masjid Kiblatain (masjid dua kubah), kebun kurma, tempat percetakan Alquran dan Jabal Magnit. Kali ini Jabal Magnit menjadi kunjungan yang paling ditunggu jamaah. Pasalnya ingin merasakan langsung sensasi tarikan magnit gugusan bukit yang mampu menarik mobil hingga bus sekalipun.
Tepat pukul 08.00 waktu setempat kami sudah bergerak dalam tiga bus besar berkonvoi meninggalkan hotel. Kepala rombongan H Suharto dari Duri baru terlihat santai setelah hilir-mudik mengatur jamaah asal Duri yang mencapai 77 orang memasuki bus. Hembusan penghangat di bus membuatnya mulai terangguk-angguk diganggu kantuk berat setelah bangun dinihari untuk berebut tempat salat di Masjid Nabawi. Saat bus memasuki daerah yang bernama Mantaoqotul baidho (areal gunung putih) tempat gugusan bukit magnit itu berada, pengeras suara di bus menyalak. Yang terkantuk pun terlonjak mendengarnya.
Muthowwif (pendamping) kami di Madinah seorang ustadz muda bernama M Yunus memberi tahu bahwa bus telah memasuki kawasan Jabal Magnit. M Yunus seorang remaja dari Madura dengan perawakan kecil tapi tampil modis. Rambut ditata berdiri gaya rambut mohawk dipadu kaca mata hitam mengingatkan pada gaya vokalis Radja Band, Iyan Kasela. Saat saya sapa dengan panggilan nama artis itu ternyata ia tidak marah malah kelihatan sedikit senang.
Dari jendela bus yang besar buatan Cina merek Huang Hai itu terlihat gugusan bukit magnit berjajar di sepanjang kiri-kanan jalan. Saat menuju ke hulu area Jabal Magnit, bus digas keras oleh supir agar bisa lebih cepat karena sudah mulai terjadi tarikan di bagian belakang bus. Kalau tidak digas atau posisi perseneling dinetralkan bisa-bisa bus ditarik mundur ke belakang meskipun sedang melewati jalan menurun. Meski gas ditekan habis kecepatan maksimal bus hanya 80 Km per jam meski di spido meter angka terakhir sampai 130 Km per jam. Sampai di hulu areal gunung putih jalan aspal pun buntu. Bus pun berhenti.
Saat kami membuka pintu bus angin dingin bertiup kencang. Sejumlah kardus di pinggir jalan terseret angin. Tiba-tiba Margo berteriak. ‘’Ya ampun, lihatlah kardus pun berlarian ditarik jabal magnit,’’ candanya.
Kami berempat pun tergelak sampai terpingkal-pingkal. Ustadz Sarman Mirja dan Suharto kembali larut dalam kesibukannya mengatur jamaah yang ramai. Mengumpulkan jamaah untuk foto bersama saja begitu susahnya. Seperti burung terbang bebas lepas dari sangkar saat pintu bus terbuka. Semua jamaah bertebaran mencari tempat untuk foto narsis diri sendiri. Rata-rata jamaah bawa kamera poket.
Muthowwif kami di bus lainnya bernama Ali Husin. Juga ustadz muda dari Madura, namun lebih serius orangnya. Santun dan kaya wawasan. Ia punya cerita begini, sejarah ditemukannya Jabal Magnit ini secara tidak sengaja. Ketika itu ada sebuah vila dibongkar di sekitar gugusan bukit tersebut. Bekas villa itu jadi ajang nongkrong anak muda Madinah yang ingin cari angin di luar Kota Madinah. Suatu kali saat mereka memarkir mobil dengan perseneling di posisi netral mobil itu ditarik bukit sehingga mundur sendiri sejauh hampir 7 Km.
Mereka pun geger dan berlarian mengejar mobil tanpa supir itu bak mengejar sapi korban yang ketakutan mau dipotong. Tentu saja mereka kalah cepat. Akhirnya mereka membiarkan hingga mobil itu berhenti sendiri di kawasan bukit yang tak lagi mengandung magnit. Kami lagi-lagi terpingkal-pingkal membayangkan betapa repotnya anak muda Arab itu harus mengejar mobil mereka dengan stelan jubah panjang mereka. Sedangkan pakai celana olahraga saja belum tentu bisa mengejar.
Saat kami kembali ke hilir dengan bus, barulah supir memperlihatkan fenomena ajaib tersebut. Dengan perseneling dinetralkan ia tak lagi menekan pedal gas dan hanya memegang stir dan sesekali menginjak rem untuk mengendalikan bus saat di tikungan. Bus berlari hingga 120 Km lebih per jamnya. Kejadian itu berjalan sepanjang 7 Km sebelum keluar dari areal gunung putih. Lepas dari itu barulah supir mulai menekan gas.
Jadi apa sebenarnya fakta ilmiahnya dari fenomena Jabal Magnit ini? Fisikawan Brock Weiss dari Universitas Negara Bagian Pennsylvania dalam jurnalnya pernah mengatakan, ‘’Kuncinya adalah lereng yang bentuknya sedemikian hingga memunculkan efek seolah anda menaiki tanjakan.’’
Pengukuran GPS yang dilakukan Weiss dan ilmuan lainnya menunjukkan kalau elevasi daerah dasar tanjakan, sesungguhnya lebih tinggi dari elevasi daerah puncak tanjakan. Jalan mendaki itu sesungguhnya menurun. Temuan fisikawan ini dibenarkan oleh pengukuran GPS, efek ini semata hanyalah ilusi. Ilusi yang disebabkan oleh lansekap. Ilusi ini serupa dengan ilusi kamar Ames, di mana bola dapat terlihat bergulir melawan gravitasi. Posisi pohon dan lereng di daerah sekitar, atau garis cakrawala yang melengkung, dapat menipu mata sehingga apa yang terlihat menaiki tanjakan sesungguhnya menuruni tanjakan.
Berdasarkan faktanya, memang tidak di seluruh bagian gunung yang mengalami kondisi ‘’ajaib’’ ini. Hanya pada titik tertentu, yang langka, yang kondisi-kondisi memungkinkan agar efek ini terjadi.
Menurut para ahli sains fenomena ini adalah keanehan pada persepsi manusia sendiri bukan pada alam. Fenomena yang mengesankan ini adalah efek keterbalikan gravitasi. Saat Anda jalan menurun, rasanya jadi sulit. Sebaliknya, saat Anda menanjak naik, kendaraan seolah bergerak begitu saja. Anda bahkan tidak perlu menekan pedal gas. Padahal seharusnya jalan menanjak lebih sulit karena melawan gravitasi, sementara turun sangat gampang, karena dibantu gravitasi.(bersambung)