MELIHAT AKTIVITAS PEMBUAT KAPAL POMPONG DI BULUHCINA

Tak Dapat Semaram, Leban pun Jadi

Feature | Minggu, 15 Januari 2012 - 08:23 WIB

Tak Dapat Semaram, Leban pun Jadi
Jasri sedang memasang baut pada gading-gading kapal pompong yang dibuatnya bersama Jubir. Foto diambil Rabu (11/1/2012) di Kampung Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. (Foto: GEMA SETARA/RIAUPOS)

Aktivitas pengrajin kapal motor kayu atau pompong di Desa Buluhcina Kabupaten Kampar mulai terancam. Pengrajin saat ini kesulitan memperoleh bahan baku pembuatan kapal pompong atau kapal motor kayu. Kalaupun ada, harga papan, gading-gading, lunas dan broti untuk tangkupnya cukup mahal dan didatangkan dari kabupaten lain di Riau.

Laporan ERWAN SANI, Buluhcina

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

DESINGAN mesin chainsaw dari seberang Sungai Kampar di seberang Kampung Buluhcina bertalu-talu dan teratur dengan irama memekakkan telinga. Bunyian mesin ini sesekali ditingkahi dengan bunyi pukulan palu pada papan dengan suara berdentum-dentum dan bunyinya sangat teratur. Begitu juga dengan bunyi mesin pengetam papan yang sesekali memekik mengupas kulit papan yang kasar dan berbulu akibat gesekan rantai chainsaw.

Bunyi alat-alat tukang yang moderen ini seakan mengajak setiap orang yang datang diperkampungan di bibir Sungai Kampar untuk mendekat dan ingin mengetahui lebih jauh apa yang terjadi. Begitu juga Riau Pos kala itu, berusaha mengetahui lebih dekat apa yang terjadi di seberang sungai yang airnya terus mengalir deras berwarna kekuning-kuningan tersebut.

‘’Itu bunyi mesin cainsaw dan ketam mesin orang buat pompong kayu di seberang,’’ ungkap Ria warga yang kala itu sama-sama berada di dermaga penyeberangan kapal di Kampung Buluhcina.

Dengan menggunakan kapal motor yang terbuat dari besi dengan panjang lebih kurang 12 meter dan lebar empat meter. Di kiri kanan dack disediakan tempat duduk yang terbuat dari besi kemudian diiringi dengan bunyi mesin domping 24 PK akhirnya dalam waktu 10 menit kapal besi bercat biru tua ini tiba di dermaga penyeberangan yang ada di perkampungan seberang.

Satu persatu sepeda motor milik warga yang kala itu berada di dalam kapal naik dengan suara sedikit memekik. Karena kondisi air agak surut sehingga dermaga bersandarnya kapal pompong besi agak tinggi. Sepeda motor harus mendaki untuk mencapai di daratan.

Setelah semua sepeda motor dan warga yang ada di dalam kapal pompong penyeberangan naik, Riau Pos pun meninggalkan kapal dan naik ke bibir sungai yang konon katanya lumbung pasir dan juga kerikil di Kabupaten Kampar dan Riau umumnya.

Untuk sampai ke lokasi pembuatan pompong berbahan baku kayu tersebut tak mudah. Bahkan harus melintasi dua tempat pembuatan kapal, yang tidak ada pekerjanya. Menurut warga setempat tukang pembuat pompong tersebut istirahat karena tak memiliki bahan baku.

Setelah berjalan sekitar 200 meter dari dermaga, dan melintasi anak sungai yang sedikit berlumpur dan saat itu harus membuka sepatu dan menaikkan kaki celana akhirnya tiba di lokasi yang dituju. Dengan senyum simpul dibibir, Jubir (38) menyambut kedatangan Riau Pos. Sambil memulai percakapan. ‘’Dari mana Pak,’’ ucap Jubir sambil terus menghisap sebatang rokok di antara jari tangannya.

Ditemani Jasri dan Zulkifli, tiga pengerajin atau pembuat pompong asal Dusun Kampung Baru, Buluh Cina ini terus melakukan aktivitasnya. Seperti Jasri saat itu terus memutar-mutar besi hidrolik atau disebut jek warga setempat. Kemudian memasukkan paku berukuran 2.5 inchi di antara papan-papan penghubung lambung kapal pompong. Sedangkan Zulkifli terus memotong gading-gading kapal sesuai dengan ukuran yang telah dibuat oleh kepala tukang Jubir.

‘’Dah dua pekan ini kita tak kerja, sebab air sungai naik. Hari ini baru hari keduo kito kerjo. Nasib tak elok listrik mati pula,’’ kata Jubir.

Jubir yang sudah tiga tahun menekuni sebagai pembuat kapal pompong dan merupakan buah hasil kepandaian turun temurun dari ayah dan abang-abangnya ini mengaku bukan permasalahan air sungai meluap saja mereka tidak bekerja. Akan tetapi ketersediaan bahan baku juga menjadi faktor utama.

Sehingga kapal yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat akan tetapi harus selesai lebih dari satu bulan. ‘’Kalau bahan baku tersedia sepuluh hari satu kapal pompong siap kita kerjakan. Kalau tak ado bahan satu tahun pun tak siap,’’ ucap Jubir sambil terus mengemasi kabel listrik yang menghubungi mesin pengetam papan yang berserakan di pinggir meja tempat dia bekerja.

Mendapat bahan baku seperti papan, gading-gading, lunas dan tangkup  atau kayu bloti berukuran 8x8 inchi sebagai kerangka kapal diakuinya sangat sulit didapatkan. Pada umumnya bahan baku untuk papan merupakan kayu Meranti, sedangkan untuk gading-gading, lunas kapal, tangkup kapal biasanya digunakan kayu Semaram, Kuras atau Kempas, dan paling serendah-rendahnya kayu leban. ‘’Namun kayu-kayu ini tak bisa kita dapatkan di kampung ini lagi. Kalaupun didapatkan dari Kabupaten Pelalawan atau dari Langgam,’’ jelasnya.

‘’Kita tahu di kampung sini kayu hutan tak boleh ditebang,’’ lanjut Jubir sambil menunjuk papan ukuran lebar 10 inci tebal dua inci dan panjang 12 meter yang berjejer rapat terjemur. Papan-papan inilah menjadi bahan dasar pembuatan pompong di Kampung Buluhcina.

Begitu juga untuk gading-gading kapal pompong, jika tak ada kayu semaram, kempas mereka menggantikannya dengan kayu yang lain. ‘’Kalau tak ado semaram, kayu leban pun jadi,’’ ucapnya.

Para pengerajin pembuat kapal pompong yang terdapat enam tempat di Buluh Cina tersebut semuanya mendambakan bahan baku papan, gading-gading, lunas dan tangkup kapal pompong dari daerah Langgam. ‘’Kalau tak ado dari Langgam payahlah kito nak membuek kapal pompong lagi,’’ lanjutnya.

Bahan Baku Mahal

Membuat kapal pompong dengan mendapatkan bahan baku jauh dari lokasi pembuatan tentu menjadi kendala besar. Bahkan bisa terkena imbas biaya tinggi, sehingga para pengrajin kapal pompong di Buluhcina mendapat upah cukup makan saja. Karena biaya untuk mendapatkan bahan baku lebih besar dari upah yang didapatkan.

Dikatakan Jubir, untuk satu keping gading-gading kapal berukuran 1x30 centimeter per keping dirinya harus meronggoh kocek sebesar Rp25 ribu. Sedangkan dalam satu kapal pompong terdapat ratusan gading-gading mulai dari kerangka bawah hingga di dack kapal.

Begitu juga dengan papan untuk membuat lambung kapal pompong ukuran 18 centimeter kali 12 meter per kepingnya dirinya harus membayar sebesar Rp150 ribu. Satu pompong bisa memakai papan sebanyak 24-26 keping papan. ‘’Jadi kerjo ko hanya lopeh makan ajo,’’ ucap Jubir merupakan salah satu pemilik bangsal pembuat kapal dari enam tempat yang ada di Kampung Buluh Cina mengeluh. Menurutnya, per hari paling tinggi bergaji Rp80-100 ribu, itu kalau selesainya dalam waktu 10 hari.

‘’Tengoklah tempat lain tak ado yang karajo, sebab putus bahan baku. Kemudian mahal pulo sekarang ini,’’ lanjutnya lagi.

Terputusnya bahan baku karena jauh lokasi penghasil papan, gading-gading dan material lainnya. Bukan bahan baku kayu saja, untuk material lainnya seperti paku, baut dan lain-lain juga terus melonjak naik. Untuk satu pompong menurutnya bisa memakai material baut berukuran  panjang ratusan batang. ‘’Kali aja 15 ribu sebatang,’’ tegasnya.

Agar tak ada pihak dirugikan, kata Jubir, para pekerja yang dibawanya tak merasa dirugikan dirinya biasanya melakukan hitung borongan. Dalam hal ini hitung segala biaya pengeluaran pembuatan kapal, kemudian lebih dari biaya tersebut baru dibagi rata. ‘’Keluarkan semua biaya bahan baku baru dihitung gaji. Kapal kecil lebihnya ya kecillah gaji didapatkan dalam waktu 10 hari itu,’’ ucapnya lagi.

Pemesan Lumayan, Bahan Baku Terbatas

 Satu unit kapal pompong yang lambung kiri kanannya sembilan papan dan panjang 12 meter dijual seharga Rp12,5 juta. Untuk naik sembilan papan ini mampu mengangkat barang seberat 4 ton. Sedangkan untuk  yang naik 10 papan dan panjang 12 meter biasanya diharga Rp13,5 juta sampai dengan Rp14 juta.

‘’Harga relatif rendah. Karena kita hanya membuat kapal pompong kosong saja, sedangkan mesin pemesan memasang sendiri,’’ kata Jubir dan diiakan Jasri saat itu.

Dalam satu bulan untuk pemesan kapal pompong lumayan banyak. Bahkan dirinya dalam bulan Januari ini sudah ada tiga pemesan kapal pompong. Akan tetapi keterbatasan bahan baku maka dirinya hanya  berani membuat satu kapal pompong. Jubir menegaskan, bukan tak mau mengambil pesanan banyak, akan tetapi takut kapal tak selesai karena tak ada bahan baku. ‘’Awak tak mau ngambil resiko. Makanya bulan ini kita berani ambil satu kapal saja,’’ jelasnya.

Rata-rata pemesan kapal berasal dari daerah Kampung Lubuksiam, Teratakbuluh, Airtiris dan daerah lainnya bahkan sampai ke Pelalawan. ‘’Pada umumnya untuk angkutan material kerikil dan pasir. Ada juga satu-satu untuk transportasi penunjang untuk menangkap ikan,’’ jelasnya.

Dari pantauan lapangan Riau Pos, memang tidak begitu banyak lagi produksi kapal motor kayu khususnya di Kampung Buluhcina. Bahkan banyak kapal motor kayu yang pekerjaan terkesan terbengkalai atau belum siap dikerjakan karena bahan yang terputus.

Kalau kondisinya seperti ini, imbasnya cukup besar. ‘’Karena bukan saja pengrajin kapalnya yang terancam periuknya, akan  tetapi para penambang pasir, kerikil dan nelayan juga akan terancam. Masalahnya semua kapal motor itu 50 persen untuk keperluan armada tambang pasir dan kerikil, sedangkan selebihnya juga diperlukan para petani,” terang Jasri.

Menurut dia, kalau kondisinya selalu seperti ini otomatis pesanan kapal motor akan menurun. Sekarang ini saja pesanan kayu hingga kini belum juga datang,” ujarnya lagi.

 Dia menambahkan, dengan adanya keluhan pengrajin selama ini paling tidak pemerintah dapat melakukan solusi agar, bahan kayu yang selama ini sulit didapatkan dapat teratasi. Sebab tidak hanya berlaku pada dirinya  saja sebagai pengrajin kapal motor. ‘’Tapi ini juga berlaku kepada warga yang ada di Buluhcina. Apalagi bangunan milik warga disini rata–rata bangunan kayu,” pungkasnya.

Warga Takut Tebang Kayu

Menurut Zulkifli warga setempat, perlakuan aparat terhadap masyarakat dinilai kurang adil dalam menerapkan hukum. Sejauh ini berdasar UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, sudah banyak warga yang dijerat hukum gara-gara menebang pohon. Padahal kayu kayu itu diproses hanya untuk kepentingan rumah tangga seperti membangun rumah dan pembuatan kapal pompong. Tapi para pengusaha dan pemodal yang jelas jelas menebangi pohon di hutan dalam jumlah besar malah tidak ditangkap.

“Kita berharap pemerintah setempat membangun komunikasi dua arah dengan pejabat penegak hukum tentang regulasi aturan yang diperbolehkan dan melanggar dari ketentuan illegal loging di Riau” harapnya.

Berharap pemberlakuan Undang Undang No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan jangan sampai masyakat juga dilarang menebang pohon.  Mereka yang tinggal di perkampungan sebagian berprofesi sebagai tukang kayu. Jubir mengakui, kalau masalah pembuatan kapal tak dipermasalahkan pihak aparat, akan tetapi dirinya yakin para penebang kayu tetap ketakutan.

Agar tak mati para pengrajin pembuat kapal pompong di Buluh Cina tentu diharapkan suplai kayu tak jadi kendala. Dan diharapkan para penegak hukum juga memperhatikan kepentingan perut masyarakat di kampung-kampung yang penghasilannya benar-benar dari hasil hutan.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook