RESENSI BUKU EVERYONE CAN LEAD

Tips Memimpin dari Sang Ahli

Feature | Kamis, 14 November 2013 - 15:03 WIB

Tips Memimpin dari Sang Ahli

“Kamu boleh merasa biasa saja. Namun, pada dasarnya semua orang punya talenta. Jika tahu cara mengasahnya, kamu bisa menjadi luar biasa...” (hal 4).

Kutipan di atas, memang, cenderung biasa saja jika dipahami sekilas. Tetapi, jika pahami mendalam, apa yang dikatakan Hasnul Suhaimi, CEO PT XL Axiata Tbk, dalam buku Everyone Can Lead (B first, Juni 2013),  adalah sebuah lecutan yang sangat dahsyat. Di dalamnya menjelaskan tentang optimisme, kepercayaan diri, sebuah cara dan strategi, tentang sebuah harapan yang dikejar dengan kerja keras dan diyakini akan menghasilkan sesuatu yang besar.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Paling tidak, itu sudah dibuktikan sendiri oleh sang penulisnya. Hasnul yang lahir di Ampek Angkek, sebuah kawasan di pinggir Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 23 April 1957, merasa dirinya adalah sosok yang “biasa saja”, meski dari SD hingga menamatkan SLTA di SMA 1 Bukittinggi –sebuah sekolah SLTA paling bergengsi di kota itu, waktu itu--  hampir selalu menjadi juara umum. Berhasil masuk Institut Teknologi Bandung (ITB), kemudian bekerja di perusahaan-perusahaan besar, meski memulai dari bawah sebagai “montir” di  Schlumberger,  pindah ke PT Indosat, masuk ke Telkomsel (jabatan terakhir sebagai Direktur Niaga pada 1998-2000), kemudian membidani kelahiran IM3, salah satu brand milik Indosat sampai menjadi Direktur Utama (2001-2002), dan akhirnya menduduki jabatan paling tinggi di Indosat sebagai Direktur Utama (2005-2006) .

Setelah itu, Hasnul menjadi pusat perhatian dunia industri telekomunikasi di Indonesia, bahkan di kawasan yang lebih luas di Asia Tenggara dan Asia, ketika mengubah XL --yang sebelumnya dipandang sebelah mata meski terlahir sebagai operator seluler swasta pertama di Indonesia-- menjadi perusahaan yang sangat berpengaruh. Di tangannya, XL menjadi operator terbesar kedua di Indonesia, dihitung dari sisi nilai perusahaan, laba, dan pendapatan khusus seluler.  Hasnul mengubah paradigma dunia telekomunikasi yang sebelum dikenal mahal, menjadi teknologi yang murah, bahkan termurah di dunia, tanpa harus mengurangi kualitas layanan. Yang terjadi, di tangannya, XL berhasil menaikkan pelanggannya berlipat-lipat, pendapatan perusahaan naik signifikan –jika tak boleh disebut luar biasa— hanya dalam waktu empat tahun.

Semua itu didapatkan Hasnul dari kerja keras bersama timnya di XL yang membuatnya mendapatkan segudang penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Tahun 2013 Hasnul menjadi CEO Idaman Indonesia dalam Top 20 Most Admired CEO (Majalah Warta Ekonomi, 2013), Best CEO of the Year (Selular Award tiga tahun berturut-turut, 2011-2013), Indonesia Marketing Champion (MarkPlus Inc., 2012), Telecom Asia CEO of the Year (2011) dan sekian penghargaan bergensi lainnya.

Dalam buku ini, Hasnul menceritakan bagaimana dia membangun dirinya menjadi seorang pekerja dan sekaligus leader yang tangguh, yang tak hanya terpaku pada satu posisi, satu keahlian, tetapi juga memahami posisi dan keahlian lain meski sebelumnya sangat asing baginya. Proses transisi itu terjadi di akhir tahun 1980-an (hal. 8), ketika dia tersadar bahwa penghargaan terhadap dunia teknik yang selama ini diyakininya, mendadak menghilang karena dunia bisnis telekomunikasi “mendadak” sangat berpihak pada marketing, sales, dan keuangan (finance). Berdasarkan saran dari seorang konsultan, dia kemudian mempelajari dunia “baru” itu dengan mengambil kuliah  master of business administration (MBA) di University of Hawaii at Manoa (AS) selama dua tahun.

Setelah kembali dari sekolahnya, Hasnul benar-benar bertempur di dunia marketing dan sales, juga finance, dan merasakan bagaimana persaingan luar biasa di sana. Hingga tahun 1998 ketika menjadi Direktur Niaga Telkomsel  --saat itu Telkomsel masih jadi anak perusahaan Indosat— Hasnul terus menempa dirinya untuk memahami, mendalami, dan mempraktikkan ilmu di bangku kuliah dengan realitas bisnis di lapangan.

Hasnul menjadi paham, bahwa  “mengelola” pasar berbeda jauh dengan mengelola mesin. Tak bisa mengandalkan teori, karena kadang teori berjauhan jaraknya dengan praktik.  Hasnul mempelajari segala hal yang berhubungan dengan bagaimana berhubungan dengan pelanggan. Satu hal yang kemudian dicatatnya, dan menjadi kutipan penting dalam buku ini yang didapat dari pengalamannya adalah: “Jangan cuma lobby, tetapi nggak ada deal karena tiak ada artinya buat perusahaan. Jangan pula sales doang tanpa lobby karena akan bikin pelanggan merasa bosan dan tak terhubung...” (hal 35).

Di bagian lain, Hasnul bicara tentang  leadership. Dia terkesan pada sosok Napoleon Bonaparte, salah seorang pemimpin besar dunia yang pernah memimpin Prancis, meski tangan besinya dikenal penuh darah, tetapi dalam banyak hal, Napoleon patut dicontoh. Salah satu hal yang dicatat Hasnul adalah bagaimana Napoleon memobilisasi anak-anak muda dalam membangun pasukan maupun menciptakan gerak budaya. Namun, menurut Napoleon, yang juga diyakini Hasnul, bahwa “sesungguhnya memobilisasi bukan bagian penting dalam mengelola pasukan. Strateginya adalah mengontrol tim dalam jumlah kecil” (hal 38). Strategi perang Napoleon ini benar-benar ditiru oleh Hasnul dalam mengembangkan XL dengan terus melakukan terobosan-terobosan dengan lincah, inovatif, tak kenal menyerah, penuh dedikasi, dan terus meyakinkan pasar dengan bahasa marketing yang mudah dipahami dan kongrit.

Memahami potensi diri, seperti yang dijelaskan di awal tadi, adalah hal yang harus terus-menurus dilakukan, termasuk ketika sudah berada pada fase “keberhasilan”.  Ketika karir seseorang terus menanjak, dia tidak boleh melupakan bahwa belajar adalah sesuatu yang harus terus dilakukan. Dalam hal ini, Hasnul belajar banyak dari apa yang dilakukan almarhum Cacuk Sudarijanto, mantan  Dirut Telkom. Ketika akan diangkat menjadi Dirut Telkom, Cacuk belajar segala hal yang berhubungan dengan Telkom sehingga ketika diangkat menjadi direktur utama, Cacuk sudah benar-benar siap, tahu isi dan kulit perusahaan, dan tahu mau diapakan dan dikemanakan Telkom olehnya.

Hal yang sama juga dilakukan Hasnul. Ketika ditawari memegang kendali tertinggi XL saat dirinya masih di Indosat, dia belajar segala hal tentang XL. Ketika benar-benar menjadi bos XL, Hasnul paham bahwa XL punya karakter yang berbeda dari perusahaan yang sebelumnya dia pimpin. Menurut Hasnul, beberapa hal yang perlu dipahami seorang pemimpin antara lain memiliki creating vision. Dalam hal ini, seorang pemimpin mestinya memiliki visi yang jelas, ke mana perusahaan akan dibawa (hal 103-106). Kemudian, harus memiliki sound strategy. Dalam hal ini, kasarnya, seorang pemimpin harus tahu “jeroan” perusahaannya, dan kemudian bisa “menguliti” kompetitornya (hal 106-112).  Kemudian, seorang pemimpin harus ditopang oleh building support yang kuat di belakangnya agar bisa menghadapi persaingan berat di depannya (hal 112-115). Kemudian, dia harus memiliki rock solid team, sebuah tim kerja yang kuat, yang mendukung semua ide dan keinginannya (hal 115-122).

Di luar itu, harus ada job distribution and temwork yang kuat. Menurut Hasnul, teamwork itu adalah kerja sama secara fisik dan hati, di luar saling membantu, di hati saling mendukung (hal 122-130). Kemudian harus memiliki kemampuan  motivate your team, yakni kemampuan memotivasi tim kerja agar tetap kuat, solid, penuh gairah, hingga mendapatkan hasil yang maksimal. Kata Hasnul: berikan apresiasi sewajarnya, tepat sasaran, dan jika hasil kerja anggota tim benar-benar layak untuk diberi penghargaan (hal 131-134). Lalu, harus memahami strong culture and mindset, yang intinya, kata Hasnul, menerima perubahan adalah juga bersedia untuk mengubah langkah, mengubah sikap dan mindset, tetapi tak menggeser arah (hal 134-139). Selain itu, juga harus memiliki kemampuan relentless innovation, yakni kemampuan berkoloborasi dan melakukan eksekusi. Di sini, seorang pemimpin dituntut memahami timnya, termasuk ide-idenya, dan tak perlu merasa direndahkan ketika ide anggota lebih bernas dari dirinya. Hasnul menyebut ini sebagai “demokrasi di dalam perusahaan” (hal 139-142).

Dua hal lagi yang penting dimiliki adalah excellent execution dan be communicative. Yang pertama adalah kemampuan memutuskan sesuatu yang sesuai dengan perencanaan matang yang telah disusun. Sedangkan yang kedua adalah kemampuan berkomunikasi dengan pihak manapun, baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, jelas, adalah para karyawan dengan segala tingkatan jabatannya. Ke luar, dan ini sangat penting, adalah komunikasi dengan regulator, masyarakat umum, institusi akademis, dan media massa. Jika komunikasi ke dalam dan ke luar ini terjadi dengan baik, maka seorang pemimpin tak akan kesulitan dalam mengembangkan ide-idenya.

Masih banyak hal yang dijelaskan Hasnul Suhaimi dalam buku ini, yang semuanya kebanyakan adalah pengalamannya lebih 30 tahun bekerja di bidang komunikasi. Ketajaman visi dan kemampuannya mengembangkan diri dan semua perusahaan yang dipimpinnya menjadi maju dan kuat, adalah bukti bahwa Hasnul bukan hanya sekadar bicara dalam bukunya. Maka,  apa yang ditulis oleh Hermawan Kertajaya, pendiri dan CEO MarkPlus Inc, perlu kita apresiasi. Kata Hermawan: “Buku ini menunjukkan bahwa Hasnul Suhaimi adalah LEADER 3.0! Buku wajib untuk siapapun yang akan menjadi LEADER 3.0.”

Sebuah buku yang menarik tentang bagaimana menjadi seorang pemimpin, enak dibaca, bahasanya ringan, mudah dipahami, dan besar kontribusinya dalam melahirkan CEO-CEO masa depan yang tangguh.***

Hary B Kori’un

Wakil Pemimpin Redaksi Harian Riau Pos.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook