DILEMA PELESTARIAN VS PEMBUKAAN LAHAN PERKEBUNAN

Pakai Alat Tangkap Tradisional Agar Sungai Tak Rusak

Feature | Minggu, 14 Oktober 2012 - 08:40 WIB

Pakai Alat Tangkap Tradisional Agar Sungai Tak Rusak
Salah seorang nelayan perempuan mengayuh sampan kolek melawan derasnya arus Sungai Siak Kecil. Tampak rimbunan rasau menjadi tempat berteduh bagi nelayan dan terlihat asri di sepanjang alur sungai yang hulunya hingga ke Tasik Serai tersebut. (Foto: GEMA SETARA/RIAU POS)

Sungai Siak Kecil jadi sumber kehidupan bagi banyak orang terutama nelayan. Berbagai tantangan dan rintangan mempertahankan keasrian sungai sudah dirasakan dengan berkembangnya perkebunan dan rusaknya hutan di kiri kanan sungai dan anak-anak sungai.

Laporan ERWAN SANI, Siak Kecil

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

HITAMNYA air Sungai Siak Kecil yang di dalamnya berdiam berbagai jenis ikan air tawar menjadi harapan besar ratusan nelayan dari  Dusun Sungai Nibung Desa Teluk Kelambu dan dusun-dusun yang ada di sepanjang aliran sungai.  Dengan berbekalkan alat tangkap tradisional berupa lukah, tajur dan joran pancing siap tinggal berbulan-bulan di anak-anak sungai, tasik, suak dan ceruk  di sepanjang Sungai Siak Kecil agar dapur di rumah tetap berasap.

Berbekal tradisi mencari ikan alami yang diterapkan secara turun-temurun hingga sekarang membuat alur sungai tetap asri, sehingga ikan yang diinginkan masih tetap ada walaupun jauh menurun jika dibandingkan era 1980 dan 1990-an. ‘’Lukah, tajur dan kail sumber kehidupan kami,’’ ucap Jamal (67) sambil tangannya terus meraut buluh yang sudah dibelah-belahnya untuk dijadikan lukah dengan menggunakan pisau lojes.

Selain alat-alat tradisional tersebut, sampan kolek menjadi alat transportasi untuk meretas anak sungai, ceruk dan suak yang diyakini menjadi tempat berteduh dan berkembang. ‘’Sampan kolek dan dua dayung ini menjadi alat memperpanjang langkah kami. Ke mana mau dituju, kolek ini jadi sahabat kami di tengah ataupun tepi alur sungai,’’ ucapnya.

Mencari ikan zaman 1990-an tak sama seperti sekarang, kata M Kahar, dulu tak jauh dari perkampungan sudah bisa mendapatkan berbagai jenis ikan. Mulai dari ikan selais, baung, patin dan tapah. Namun sekarang untuk mendapatkan ikan harus membuat pondok dan tinggal berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. ‘’Bahkan tak jarang kami memberi gelar pengulu kepada nelayan-nelayan yang lama tinggal di  hulu sungai dan tasik di Sungai Siak Kecil ini. Termasuk Pak Jamal, sempat mendapat gelar itu,’’ ucap Kahar sambil duduk memangku lutut di kursi panjang terbuat dari kayu di pondok tempat dia berteduh dari panas dan hujan dan tempat tidur di waktu malam selama mencari ikan.

Meskipun sulit untuk mendapatkan ikan dan harus empat atau lima jam perjalanan menggunakan pompong baru sampai lokasi ikan, tak membuat para nelayan putus asa dan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan ikan banyak atau kesenangan sesaat. ‘’Kami tak pernah menggunakan tube atau putas. Jadi kami menggunakan lukah dan tajur dan kaillah untuk mendapatkan ikan,’’ jelas Kahar lagi.

Cobalah tengok sepanjang Sungai Siak Kecil ini, kata Kahar. Mulai dari Paket J, Dusun Naning, Dusun Sungai Saraf, Muara Dua, Bandar Jaya, Sungai Bakong, Teluk Cina, Sungai Antan, Sungai Pagar hingga Pesingin, yang terlihat hanyalah tajur dan lukah di pepak batang rasau. ‘’Tradisi menjaga sungai ini kami lakukan betul, jadi kalau ada nelayan menggunakan tube atau putas dikenakan sanksi dari nelayan-nelayan,’’ kata Kahar.

Bukan itu saja, kata Agus yang menjadi kapten pompong mengingatkan, ketahuan ada orang merusak tajur atau lukah juga dikenakan denda. ‘’Jangan sampai kono lukah orang pak kito belabuh kat tepi sungai ko. Kono dondo kito,’’ cegah Agus menggunakan bahasa tempatan ketika Riau Pos sempat menepi dan mau mengikat tali pompong di salah satu pohon kayu di bibir Sungai Siak Kecil.     

Meskipun kemajuan teknolongi untuk menangkap ikan terus berkembang tak membuat nelayan-nelayan yang ada di sepanjang Sungai Siak Kecil langsung berubah drastis. Bahkan untuk melihat nelayan menggunakan jaring apung atau jaring dasar di sepanjang sungai tak ada.

‘’Nelayan di sini tak menggunakan jaring. Alasannya banyak kayu, kalau jaring apung tentu tak dapat ikan-ikan dasar sungai. Makanya kami memilih lukah dan pancing,’’ kata Kahar yang sudah tiga tahun terakhir jadi nelayan, setelah usaha kedai nasinya di Desa Mekar Jaya atau Paket J tak menjanjikan.

Kemudian para nelayan juga benar-benar tak merusak pepohonan rasau atau batang kayu yang ada di bibir sungai. ‘’Suak-suak di celah rasau itulah tempat lompong dan baung bermain. Tengok tu ibu-ibu mancing di celah rasau,’’ ucap Agus sambil memalingkan wajahnya kea rah ibu-ibu yang tengah serius melihat joran pancingnya di celah-celah rasau.

Antara Kelestarian Alam dan Keperluan Hidup

Keperluan akan hidup dan majunya teknologi pertanian dan perkebunan, sehingga banyak menyulap hutan-hutan lebat di Riau berubah menjadi perkebunan produktif yang notabene memberikan penghidupan yang menjanjikan. Salah satu perkebunan produktif dan bernilai ekonomi tinggi yaitu perkebunan sawit.

Tak sedikit masyarakat Riau saat sekarang tergiur dengan perkebunan sawit dan dinyatakan berhasil dan mampu menghidupi keluarga menjadi keluarga yang mapan. Hal ini jugalah mengubah pemikiran dari masyarakat tempatan dan juga masyarakat dari berbagai daerah berlomba untuk membuat perkebunan sawit. Perkembangan perkebunan sawit ini juga mempengaruhi cara pikir masyarakat nelayan yang dulunya menggantungkan sepenuhnya dari hasil tangkapan ikan.

Pengaruh itu akhirnya menjalar dan memberikan peluang kepada masyarakat luas untuk membuka lahan baru untuk perkebunan. ‘’Jujur, sepanjang sungai ini hutan tak lebat lagi. Bahkan sepanjang sungai ini lahannya sudah ada pemilik,’’ ucap Agus sambil terus memegang tangkai kemudi pompong yang terbuat dari kayu.

Minimal seorang pemilik lahan memiliki 4-10 hektare. ‘’Saya juga pernah punya lahan sepuluh hektare. Tapi akhirnya kami jual karena desakan ekonomi,’’ jelasnya.

Murahnya dan masih tersedianya lahan di sepanjang kiri kanan Sungai Siak Kecil memberikan dampak atau motivasi bagi warga untuk terus membuat kebun. Ini terbukti di beberapa pohon kayu di bibir sungai dengan nama pemilik lahan. Walaupun lahan tersebut masih ditumbuhi kayu hutan kisaran diameter 10-20 Cm.

Diakui Hasan, warga Teluk Kelambu kepada Riau Pos, sejak dua tahun belakangan ini pendapatan nelayan jauh menurun. ‘’Tangkapan nelayan jauh betol turun. Ini terjadi dua tahun belakangan ini, sejak orang banyak membuka lahan perkebunan. Mungkin dah banyak suak, anak sungai dan rawe dah tertutup agaknyo,’’ jelasnya.

Masyarakat yang membuka lahan tersebut tak sepenuhnya para nelayan yang menyempatkan diri untuk menyambil membuka lahan. Akan tetapi masyarakat dari berbagai desa dan dusun di sepanjang Sungai Siak Kecil sudah memeta-meta lahan yang ada. ‘’Jadi seberapa mampu mereka buka lahan untuk perkebunan,’’ jelasnya.

Seperti dilakukan Kahar, selain mencari ikan dirinya juga telah membuka lahan untuk perkebunan karet dan sawit. ‘’Baru-baru ini membuat kebun sawit dan karet. Itupun kalau jadi, karena banyak hama babi dan tikus yang memakan bibit sawit dan karet yang kita tanam,’’ jelasnya.

Upaya untuk membuka lahan perkebunan ini termotivasi karena banyak masyarakat yang berhasil dari berkebun. ‘’Tak mungkin kita diam sajo. Orang bukan lahan untuk kebun. Tapi kito sikit ajo lahannyo,’’ jelas Kahar yang mengaku memiliki lahan tak jauh dari Sungai Antan.

Diakuinya pemilik lahan pada umumnya bukan saja masyarakat desa-desa yang ada di Siak Kecil, akan tetapi berbagai daerah. Bahkan ada dari Sumatera Utara (Sumut) dan daerah kabupaten/kota lainnya di Riau.

Diskanlut Ajak Warga Jaga Sungai

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, Prof DR Irwan Effendi MSc mengajak masyarakat untuk tetap menjaga keasrian lingkungan yang ada di sepanjang Sungai Siak Kecil. Menurut dia, paling tidak kisaran 50-100 meter bibir Sungai Siak Kecil jangan ditebang pohonnya.

Dari sekian banyak sungai besar di Riau, pada umumnya hutan-hutan di bibir sungai sudah habis. Sehingga habitat tempat ikan-ikan melakukan pemijahan tak adalagi. ‘’Ini realita di lapangan, ketika hutan habis dan anak-anak sungai banyak yang tetutup ikan di sungai itupun punah dan mencari satu ekor pun susah,’’ jelas Irwan Effendi.

Rusaknya habitat sungai sejalan dengan rusaknya hutan-hutan yang dibuka menjadi lahan perkebunan. Tapi Diskanlut tak bisa berbuat apa-apa karena ranah perkebunan dan pertanian bukan lingkupnya. ‘’Kita hanya kosentrasi menjaga aliran sungai dan habitat di dalamnya. Tapi tak bisa mencegah orang untuk membuat perkebunan atau lainnya,’’ kata Irwan Effendi yang sedang berusaha merubah pola pikir nelayan dari mencari ikan di laut, sungai dan danau berpindah memelihara ikan.

Puluhan ribu nelayan di Riau saat sekarang sangat kesulitan untuk memenuhi keperluan hidupnya dari penghasilan mencari ikan. ‘’Jadi semuanya harus sejalan. Agar nelayan tetap bisa mencari ikan mari semua pihak jaga garis sepadan sungai agar hutannya tak dirusak,’’ harapnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook