Perjalanan KRI Dewaruci dari Belawan, Medan ke Jakarta melewati Penang, Malaysia. Di kota pelabuhan itu, Dewaruci pernah mencatat sejarah, yakni menjadi lokasi syuting film Hollywood.
Laporan SURYO EKO PRASETYO
MALAM itu, (6/10) cuaca di sekitar KRI Dewaruci yang sedang melintasi Selat Melaka tampak begitu cerah. Efek gelombang laut yang mengenai lambung kapal tak terlalu berasa. Angin sepoi-sepoi yang bertiup di geladak atas terasa menyejukkan. Kelap-kelip jutaan bintang menghiasi langit cakrawala.
Suasana itu beda dari dua hari sebelumnya. Hujan deras mengguyur laut yang dilalui Dewaruci sepanjang siang hingga menjelang maghrib setelah kapal tiang tinggi itu meninggalkan dermaga Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) I Belawan. Tebalnya kabut pada pagi dan malam membuat jarak pandang jadi terbatas. Selat itu termasuk alur pelayaran terpadat untuk jalur keluar-masuk wilayah Indonesia. Kapal besar yang melewati selat tersebut direkomendasikan untuk lebih mendekati perairan Malaysia.
‘’Perairan yang mendekati wilayah Malaysia lebih dalam dibanding di perairan Sumatera. Karena itu, kapal besar diarahkan ke perairan internasional yang dekat Malaysia,’’ tutur Juru Navigasi Dewaruci Serma Nav Loka Gumilang. Tak sampai ujung cakrawala (12 mil) dari lambung kiri Dewaruci, terlihat daratan dengan sinar lampu terang yang memanjang. Daerah itu, menurut bintara yang baru naik pangkat satu setrip tersebut, adalah wilayah Penang, Negara Bagian Perlis, Malaysia.
Kota pelabuhan di pantai barat laut Malaysia itu tak bisa dilepaskan dari sejarah Dewaruci yang pernah meramaikan industri perfilman Hollywood. Awal 1999, sebelum kapal legendaris itu berlayar keliling Amerika pada April-September, Dewaruci dipilih studio Fox 2000 Pictures sebagai salah satu lokasi film Anna and The King yang disutradarai Andy Tennant. Film yang dibintangi Jodie Foster dan Chow Yun Fat itu masuk nominasi Academy Awards 2000 untuk kategori Best Art Direction dan Best Costume Design.
Dalam film itu, Dewaruci didesain jadi kapal layar abad ke-18 milik Inggris. Kebetulan kapal latih TNI-AL yang kini menapaki umur 60 tahun itu merupakan kapal layar tiga tiang tinggi jenis barquentine yang banyak dipakai pelaut-pelaut Eropa dan Amerika. Jenis barquentine merupakan kapal layar tiga tiang atau lebih yang memiliki layar persegi di tiang depan.
Atas izin Mabes TNI-AL, Dewaruci yang bermarkas di bawah Satuan Kapal Bantu Komando Armada RI Kawasan Timur (Satban Koarmatim) meminjamkan Dewaruci untuk syuting film yang menelan biaya sekitar 75 juta dolar AS tersebut. Ketika itu komandan kapal dijabat Letkol Laut (P) Darwanto (sekarang kepala Staf Koarmatim berpangkat laksamana pertama).
‘’Saat itu 70 awak kapal berada di Penang selama dua mingguan untuk mengikuti syuting tersebut. Sebagian tampil sebagai figuran,’’ kenang Bintara Dinas Dalam Kopda Ttg Johan Safri. Tentara dari Palembang itu merupakan salah seorang saksi yang turut dalam produksi film tersebut. Untuk keperluan syuting film AS itu, badan Dewaruci terpaksa dicat hitam semua. Warna hitam pada lambung dan tiang dibutuhkan untuk menggambarkan kapal yang sudah tua. Dua kanopi Dewaruci dari besi yang menghubungkan ke geladak tengah ‘diganti’ dengan kayu untuk menyesuaikan dengan zaman. Cerobong mesin dan peralatan navigasi yang ada di kapal itu seperti antena radio, satelit, dan radar untuk sementara dilepas.
Railing besi yang mengitari lambung ditutup kain cokelat menyerupai kayu untuk maksud yang sama. Tulisan Dewaruci di lambung kiri dan kanan diganti tulisan Newcastle. Sementara itu, bendera merah putih yang berkibar di buritan diganti bendera Britania Raya. Yang tersisa hanya logo Akademi Angkatan Laut di bagian belakang bawah tiang bendera. ‘’Yang mengganti properti di geladak atas dan mengecat kapal, ya pihak produser. Kami sebatas supervisi,’’ ujar Asisten Bostman B (penanggung jawab tiang belakang) Dewaruci Koptu Bah Kiran.
Selesai syuting, kapal berdimensi 58,3 x 9,5 meter itu dicat seperti warna semula, putih. Selama dua minggu syuting, kru yang tak terlibat dalam film beraktivitas seperti biasa di geladak tengah dan bawah. Mereka dilarang nongol dalam gambar saat syuting kapal sedang berlayar di Selat Melaka hingga sandar di Penang dan Ipoh. ‘’Meski hanya jadi figuran, rasanya tersiksa karena syutingnya diulang-ulang. Saya pernah mengulang sampai lima kali dalam satu adegan,’’ kenangnya. Kiran bangga walau hanya jadi pemain figuran. Para kru film juga sangat mengagumi Dewaruci. ‘’Ada kru film yang memeluk tiang sambil menangis ketika kapal akan meninggalkan Penang,’’ ujarnya.***