Untuk mengetahui hari pertama Ramadan, informasi resmi menunggu pesan elektronik dari Kedubes RI untuk Swiss. Untuk berbuka dan sahur, hanya mengandalkan aplikasi azan di ponsel pintar. Jangan bayangkan kolak, gorengan, dan beragam takjil saat berbuka, apalagi air tebu dingin nan segar pelepas dahaga ketika durasi puasa lebih lama dari biasanya.
Laporan Eka G Putra, Pekanbaru
Waktu rata-rata umat muslim di Indonesia untuk berpuasa, sekitar 13,5-14 jam per hari selama menyambut bulan Ramadan. Namun, ternyata lama waktu berpuasa ini tidak sama di berbagai belahan negara lain. Seperti salah satunya di Bern, Swiss. Pemeluk Islam sebagai minoritas di sana bisa berpuasa sampai 19 jam.
“Pernah Imsak itu pukul 3 dini hari. Jadi harus makan pukul 2 dinihari, dan bukanya nanti sudah pukul 10 malam,” kata Ciro Damiano, warga negara Italia, seorang mualaf yang menetap di Swiss.
Ciro, sapaan akrabnya dalam perbincangan ringan dengan Riau Pos via Skype pada pertengahan Ramadan 1444 hijriah ini mengakui, pada awal-awal berpuasa sebagai muslim memang diakuinya berat.
Karena, saat itu sedang musim panas dan matahari terbit lebih lama dibanding musim dingin atau musim salju. Ditambah, aktivitas juga harus dilakukan seperti biasa untuk rutinitas bekerja sehari-hari.
“Saya protes ke istri. Ngapain kita harus makan saat orang-orang tertidur. Dan memang awal-awal menjalani itu sampai sakit perut,” tawanya bercerita dalam bahasa Inggris.
Saat berkomunikasi via Skype dengan Riau Pos, Bern saat itu dikatakan Ciro baru pukul 10.00 waktu setempat dan Pekanbaru sudah pukul 14.00 WIB, atau bakda Jumat.
Tentunya cobaan sebagai mualaf terasa begitu berat bagi Ciro. Sebab, selain baru belajar berpuasa, ia juga harus menahan lapar dan dahaga dengan rentang waktu di atas 15 jam, di atas rata-rata manusia menjalankan ibadah puasa biasanya. Bahkan pada awal ia berpuasa, sudah harus berjuang dari Imsak hingga berbuka puasa sampai 19 jam per hari.
Namun, Ciro tak menyerah. Meskipun pada awalnya harus sakit perut. Dan sempat berpuasa setengah hari dulu, kemudian keesokannya dilebihkan satu jam untuk beberapa hari. Hingga baru benar-benar penuh berpuasa, melengkapi syarat rukun Islam sebagai agama yang dianutnya.
Kini, Ciro sudah rutin berpuasa. Bahkan, ia mengakui banyak hal positif dari menahan lapar dan menahan hawa nafsu sebagai bagian ibadah. “Bisa mengelola emosi ya, lebih sabar. Terus juga bisa merasakan derita mereka yang tidak dapat makan di setiap waktu makan. Yang terpenting bagi saya, ternyata manusia itu selama ini makan lebih banyak dari keperluan tubuhnya. Karena terbukti, saat berpuasa, ternyata bisa saja untuk menahan,” kisahnya.
Muslim di Swiss, berjumlah sekitar 5 persen dari jumlah penduduk berdasarkan data yang dirangkum Riau Pos dari wikipedia. Atau sekitar hampir 400 ribu pada 2020 lalu. Total jumlah penduduknya sekitar 8,5 juta dari luas wilayah sekitar 41.000 km per segi.
Swiss diapit oleh negara besar. Jerman, Prancis dan Italia. Bern, ibu kota Swiss terlalu mempesona bagi penikmatnya. Kota-kota di Swiss juga barangkali kerap ditemukan keindahannya melalui literasi gambar yang bisa ditemukan dalam mesin pencarian Google maupun pada kartu pos dan lainnya.
Untuk negara yang relatif kecil dan terkurung daratan, Swiss mengandung sejumlah besar keindahan alam dan keragaman budaya dengan empat bahasa resmi dan semua varietas yang mereka wakili.
Masjid di Kompleks Maison des Religions atau House of Religions atau Rumah Agama di Kota Bern, Swiss terlihat sepi.
Penelusuran Riau Pos, terdapat 10 hal yang tersebar di seluruh negeri ini menunjukkan yang terbaik yang ditawarkan Swiss dalam hal pemandangan gunung yang spektakuler, jalan-jalan alam berbunga-bunga, keindahan tepi danau, dan pusat-pusat bersejarah yang indah.
Selain Bern, sebut saja Zurich, Guarda, Interlaken, Lucerne, Montreux, Morcote, Coglio, Stein Am Rhein, Wengen, Zermat. Dan tentunya Jenewa yang juga tak kalah indah dan kaya sejarah, yang menjadi markas berbagai organisasi dunia.
Kini, Ciro berpuasa sehari sekitar 15 jam. Seperti waktu rata-rata normal umat Islam dunia berpuasa. Namun, tentu lebih lama dari umat Islam di Indonesia, dan Pekanbaru khususnya.
Sebab, pada penghujung Maret dan awal April ini, waktu Imsak di Bern, Swiss pada pukul 04.30 WIB dan berbuka puasa sekitar pukul 20.10 WIB. Bahkan, hingga ujung puasa, jelang Idulfitri nanti. Umat muslim di Bern berbuka puasa sekitar pukul 21.00 WIB.
“Karena saya pernah ke Jakarta dan Pekanbaru saat puasa. Itu paling ingat itu ada tebu yang digiling. Air tebu pakai es itu segarnya luar biasa. Sudah bertahun-tahun saya cari di sini tidak pernah jumpa. Termasuk yang dalam kemasan juga tidak ada. Selain rindu air tebu, juga rindu air kelapa,” kata Ciro saat video call via Skype dengan Riau Pos tengah didampingi istrinya.
Ciro Damiano paham benar dengan Indonesia. Bahkan pernah menyicipi air tebu. Ya, sebab sang istri, Malikah Amril, yang membuatnya menjadi mualaf. Adalah warga Pekanbaru, Riau. Mereka sudah berkeluarga sejak enam tahun terakhir dan menetap di Swiss.
Malikah Amril, hingga Desember 2022 lalu bertugas di UNEP, PBB. Setelah sebelumnya di UNDP, juga salah satu badan organisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Namun mengawali 2023 ini, ia bekerja di Kantor Pusat Palang Merah Internasional. “Ya, jelang komitmen berkeluarga, suami saya mualaf,” kata Malikah.
Diakuinya, saat awal berpuasa sang suami sampai tidak terima dibangunkan sahur. Sebab mereka harus makan berat pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Suatu kebiasaan yang tidak dibuat bangsa Eropa. Makan berat di saat manusia terlelap.
“Harus dijelaskan, perlu waktu dan proses kan. Dan alhamdulillah sampai sekarang kami berpuasa di negeri orang,” sambung Malikah.
Memang, ketika Ciro bercerita, berikut Malikah mentranskripkan beberapa kalimat ke dalam bahasa Indonesia. Pembahasan seputar menu berbuka puasa menjadi sangat menarik. Karena kerinduan keduanya dengan takjil dan makanan berbuka di Tanah Air bak pelepas dahaga di tengah Gurun Sahara.
Namun, seiring waktu dan kebiasaan berpuasa di negeri orang. Menurut Malikah, ia juga menyadari ternyata untuk berbuka puasa dan sahur sekalipun, tidak perlu makanan yang terlalu banyak.
“Ya, menu sahur seperti roti, sayuran, dan jus misalnya. Terus berbuka juga sesuai menu halal yang ada di sini (Bern, red). Saya juga tidak masak yang berat-berat, baik untuk berbuka maupun sahur,” kisahnya.
Diakui Malikah, berpuasa di Swiss, sebagai salah satu negara minoritas muslim. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Apalagi di Pekanbaru, Riau. Juga dibenarkannya, jangan membayangkan adanya ngabuburit jelang berbuka, mencari takjil, berbuka puasa bersama kerabat dan keluarga atau lampu colok nan indah.
“Azan (magrib, red) saja kami tunggu di aplikasi. Karena masjid tidak ada di sini (Bern, red). Ada, tapi jauh, harus naik kereta,” jelas anak pasangan Amril Noor dan Zaitun Amril ini.
Malikah menghabiskan masa kecilnya di Pekanbaru. Sekolah di SD Pasar Senapelan atau sekolah dasar di sebelah Pasar Kodim, Jalan Teratai, Pekanbaru. Kemudian masa SMP dihabiskan di SMPN 1 Pekanbaru dan melanjutkan sekolah di MAN 1 Pekanbaru, Jalan Bandeng.
Sementara itu, masa-masa kuliah, dihabiskan Malikah di Panam, dengan mengambil jurusan Agronomi di Fakultas Pertanian, Universitas Riau. Melanjutkan S2 di Negeri Kincir Angin, Belanda hingga kini menetap di Swiss.
Disinggung mengenai momen Salat Tarawih dan malam takbiran menyambut Idulfitri, menurut Malikah memang ada hal-hal yang dirasakan hilang atas kebiasaan beribadah seperti di kampung halaman.
Namun demikian, untuk buka puasa bersama maupun Salat Tarawih berjemaah dan Salat Idulfitri, menurutnya pada beberapa tempat di Swiss yang melaksanakan. “Seperti di kediaman Dubes RI untuk Swiss, itu ada buka bersama dan Salat Ied. Kemudian di Maison des Religions juga ada,” kata Ika, sapaan akrabnya.
Maison des Religions dalam bahasa Prancis, atau House of Religions dalam bahasa Inggris, bermakna Rumah Agama. Adalah lembaga antaragama di Kota Bern, Swiss yang menyediakan delapan rumah ibadah umat pemeluk agama dalam satu bangunan tunggal.
Berikut juga ada rumah budaya, pertokoan, apartemen dan perkantoran. Gedung ini dibangun sekitar tahun 2.000-an. Di mana bagi komunitas muslim diwakili oleh Muslimischer Verein, memerlukan sekitar 500 meter per segi sebagai komunitas terbesar kedua.
Masjid ini terletak di dua lantai, ruang salat untuk pria dan wanita yang saling terhubung. “Selamat berpuasa dan selamat menyambut Idulfitri,” ujar Malikah.(das)