Aliran pipa paralon terpasang kokoh di atas perbukitan, tepatnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Muara Fajar. Panjang pipa ini sekitar 20 meter. Pada ujung pipa terdapat dua buah keran air. Tapi, jangan salah pipa ini bukan mengalirkan air bersih melainkan gas metan. Gas metan yang dihasilkan dari pembusukan sampah ternyata dapat diolah menjadi bahan bakar gas.
--------------------------------------
Laporan, MASHURI KURNIAWAN, Pekanbaru
--------------------------------------
Begitu memasuki pintu gerbang TPA Muara Fajar, di Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai ini sudah bisa tercium bau busuk menyengat. Bila tidak tahan dengan aroma yang dikeuarkan sampah pengnjungnya bisa muntah. Di luas lahan 5 hektare inilah setiap hari menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat Kota Pekanbaru. Dalam satu hari jumlah sampah yang dibuang sebanyak 300 ton.
Truk pengangkut sampah terlihat lalu lalang, ketika Riau Pos, Kamis (12/4) mengunjungi lokasi tersebut. Dibawah terik matahari siang yang menyengat kulit, mobil truk ini masuk ke dalam TPA secara bergantian membuang sampah yang diangkutnya. Mobil truk itu pada dindingnya bertuliskan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Pekanbaru.
Dua unit ekskavator sibuk maju dan mundur meratakan sampah yang dibuang truk pengangkut. Raungan eksavator ini begitu keras terdengar ditelinga. Setelah meratakan sampah dengan tanah. Eksavator tersebut menutupi dengan tanah timbun berwarna kuning yang memang sudah ada di lokasi itu.
Ditemani seorang security bernama Agus, Riau Pos berkeliling di lokasi TPA. Dengan ramah dan selalu tersenyum Agus mengantarkan perjalanan menuju lokasi gas metan yang dihasilkan dari sampah ini. Panas terik matahari terasa berada tepat diatas kepala. Untuk menuju lokasi pipa memang tidak begitu jauh dari pintu gerbang hanya berjarak 100 meter.
Namun, harus melewati jalan tanah kuning perbukitan kecil yang mendaki. Jalan dilewati saat itu tidaklah rata. Bila ingin menuju pipa harus melalui tumpukan sampah yang sudah didatarkan dan ditimbun tanah kuning. Disisi kanan jalan saat itu terlihat pembuatan drainase selebar sekitar empat meter.
‘’Bila hujan tiba, jalan menuju pipa suit dilalui dek. Harus hati-hati sekali bila tidak ingin tergelincir,’’ kata Agus kepada Riau Pos sambil terus berjalan.
Dalam drainase yang memang belum jadi 100 persen itu air berwarna kecoklatan mengalir. Disekitar pipa ditanam pohon pelindung. Rerumputan juga ditanam agar lokasi terlihat hijau dan indah. Bila musim penghujan tiba, lokasi pipa gas sangat sulit dilalui karena lembek dan becek. Ditambah lagi genangan air sedalam mata kaki orang dewasa.
Waktu menunjukan pukul 11.20 WIB, saat berada diatas perbukitan dimana lokasi aliran pipa gas metan, seluruh baju yang dikenakan basah karena keringat. Walaupun demikian rasa lelah untuk mencapai pipa tidak bisa terupakan. Kami berdiri tepat di atas bukit curam. Pemandangan hamparan hijau pepohonan sawit dan karet milik masyarakat sekitar begitu jelas terihat.
Disisi barat terlihat kolam berwarna hijau yang dijadikan petugas kebersihan dan penduduk sekitar memancing. Sedangkan pemandangan dibawah bukit, tumpukan sampah yang mirip dengan bukit kecil itu puluhan pemulung sibuk mengais sampah yang dibuang truk pengangkut DKP Kota Pekanbaru.
‘’Mereka pemulung ada dari penduduk sekitar dan sebagian agi dari luar,’’ kata Agus seraya menunjuk ke arah pemulung yang memang sedang bekerja mengais sampah.
Sebelumnya Selasa (11/4)lalu, saat ditemui Riau Pos, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Pekanbaru, Syafril menyebutkan, lahan lima hektare memang sudah tidak aktif lagi. Sampah sudah ditimbun. Awal mula dirancangnya memanfaatkan sampah menjadi gas metan karena dari pendataan sampah yang dihasilkan setiap hari cukup banyak.
Dari pelajaran ke Solo, ceritanya ternyata sampah yang dihasilkan di daerah tempat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi tersebut sampah diolah menjadi nilai ekonomis tinggi. Salah satunya pengolahan sampah menjadi gas metan. Melihat itu, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru berencana melakukannya di kota bertuah.
‘’Setelah kita pelajari ternyata Kota Pekanbaru juga mampu memproduksi gas metan. Maka itu kita buat saluran pipa di lokasi TPA Muara Fajar. Dan kita bisa ihat sekarang gas sudah bisa diproduksi. Sambil berjalan, lelang kita masukan karena ada anggaranya. Rencananya kita juga akan salurkan ke rumah-rumah warga disekitar TPA,’’ ungkap Syafril.
Bila sudah berjalan dengan baik, gas metan yang dihasilkan sementara ini hanya bisa dinikmati masyarakat sekitar TPA Muara Fajar. Hanya dengan membayar membayar Rp10.000 per bulan, masyarakat sudah bisa menikmati gas yang ramah lingkungan tersebut.
Diakui Syafril memang saluran gas metan yang dihasilkan sementara masih belum dimaksimalkan. Namun cerobong sudah mulai dikerjakan. Gas metan ini juga mampu menjadi Bahan Bakar MInyak (BBM) yang aman digunakan. Untuk menggunakan gas metan akan ada kompor khusus yang sudah dimodifikasi.
‘’Bertahap, tapi pasti kita mencoba agar gas metan ini bisa menjadi pembangkit listrik. Paling tidak untuk penerangan TPA Muara Fajar terlebih dahulu. Dengan begitu, sampah yang masuk bisa berguna untuk operasional DKP di TPA sendiri maupun komersil,’’ terangnya.
Kepala Bagian Pengelola Gas Metan TPA Muara Fajar, menambahkan, bila berbicara mengenai sampah yang ada di Kota Pekanbaru, satu kepala keluarga memproduksi 0,8 kg-1 kg sampah setiap harinya. Apabila dikalikan dengan jumlah masyarakat Kota Pekanbaru sekarang ini maka, sekitar 1000 ton sampah seharinya.Dari data DKP Kota Pekanbaru, sambungnya, sampah yang sampai ke TPA ada sebanyak 300 ton perharinya.
Terkait mengenai proses sampah menjadi gas metan, Zulkaimar menjelaskan, untuk proses pembuatan gas metan ini memang memerlukan tenaga teknis yang terampil dibidang ini. Caranya tidaklah mudah. Sampah terlebih dahulu dibiarkan membusuk dalam sebuah wadah yang tertutp rapat tepat berada dalam tanah. Kemudian, sampah tersebut dibiarkan membusuk dalam tanah.
Diatas wadah tersebut dibuat aliran pipa. Hasil pembusukan sampah ini akan menghasikan gas metan. Gas inilah yang dialirkan melalui pipa tersebut. Saat ini sambungnya, TPA Muara Fajar memang bisa memproduksi gas , akan tetapi hanya bertahan selama dua bulan saja.
‘’Insya Allah tenaga teknis dari Kota Solo akan datang langsung ke Pekanbaru untuk memaksimalkan pengelolaan gas, sehingga bisa bertahan selama 2-4 tahun lamanya,’’ sebut Zulkaimar.
‘’Bagi masyarakat yang ingin mengolah sampah menjadi gas metan sendiri bisa dilakukan pengendapan dengan menggunakan drum tertutup rapat.Kami akan membatu masyarakat yang akan memproduksi gas metan ini dirumah-rumah mereka,” tambah Zukaimar
Berbicara tentang manfaat dari gas metan ini Zulkaimar memaparkan, gas metan yang digunakan sementara ini untuk memasak. Apabila kapasitas jumlah sampah cukup banyak, barulah bisa digunakan untuk energi listrik,’’ ujarnya.
Usai melihat secara langsung pengolahan sampah menjadi gas metan, Riau Pos berpamitan dengan Agus melanjutkan perjalanan menuju tempat pemulung mengais sampah.’’Kami pamit dahulu pak Agus. Terimakasih sudah menemani,’’ ucap Riau Pos kepada Agus. Seraya bersalaman Agus juga mengucapkan terimakasih atas kunjungan tersebut.
Menemani Ayah Mencari Rezeki dari Sampah
Setelah melihat secara langsung pengolahan sampah menjadi gas metan, Riau Pos menuju tempat pembuangan sampah lainnya yang masih berada di kawasan tanah TPA Muara Fajar. Jaraknya tidak terlalu jauh hanya sekitar 50 meter. Untuk menuju lokasi tempat pemulung mengais sampah, harus melalui jalan menurun yang memang sudah beraspal hotmix.
Bau lebih busuk dari tempat pengolahan sampah menjadi gas metan, terasa begitu menyengat hidung. Namun bagi pemulung sampah busuk inilah mata pencaharian mereka. Di lokasi tersebut puluhan pemulung terlihat sibuk bekerja mencari sampah yang bisa dijual kepada agen pengumpul. Panas terik matahari siang itu tidak membuat para pemulung berhenti untuk mencari sampah. Tumpukan sampah dibongkar hanya dengan menggunakan tangan mereka.
Sampah seperti plastik kresek, plastik wadah gula, botol minuman kemasan, gelas plastik kemasan, sepatu bekas, kardus, dan jenis plastik lainnya diambil dimasukan kedalam karung goni. Saat memungut sampah tersebut para pemulung sangat tertib. Tidak ada yang saling berebutan. Dikarenakan tempat tersebut dijaga oleh dua orang secuirity, untuk mengawasi pemulung agar tidak berebut sampah.
Diantara pemulung tampak seorang anak berusia lima tahun juga sibuk mengumpulkan sampah pastik. Hengki nama anak tersebut. Tidak sedikitpun rawut wajahnya terlihat lelah walaupun panas matahari sangat terik ketika itu. Dengan penuh semangat dia menuju tumpukan sampah. Tangannya yang kecil, dengan sorotan mata yang tajam melihat sampah.
Ditemani ayahnya Asrul, anak yang seharusnya belajar dibangku sekolah ini harus bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Wajahnya lusuh, tapi tetap bersemangat. Menggunakan baju kaos berwarna putih dipadu celana pendek berwarna hitam sesekali dia mengelap keringat yang yang mengcur dikeningnya.
Dengan tangan telanjang, tanpa alas, Hengki seakan tidak ingin kehilangan kesempatan memilih sampah yang dapat ditukar dengan uang ribuan. Sejak pukul 07.00 WIB, ia sudah datang ke lokasi pembuangan sampah. Baru pulang ke rumah pukul 16.30 WIB. Hal itu dilakukan setiap hari dari tahun 2011 lalu. Di usianya yang sangat muda Hengki harus bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga bersama sang ayah.
Setelah mengumpulkan sampah plastik dan meletakannya ke dalam karung, sekitar 13.12 WIB Hengki beristirahat sejenak, berteduh dibawah payung yang memang sengaja dibawa dari rumah, disamping sang ayah. Hengki terlihat mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Satu botol plastik berisikan air putih dikeuarkan. Iapun langsung meminum air putih tersebut untuk menghilangkan rasa haus.
Melihat itu Riau Pos sengaja mendekati Hengki, untuk mengetahui lebih jauh apa yang sudah dilakukannya ditumpukan sampah. Saat didekati Hengki hanya diam saja. Ia terlihat malu. Berindung dibeakang sang ayah, Hengki tidak ingin bercerita banyak dengan Riau Pos.
‘’Anak saya memang pemalu dek,’’ kata Asrul serasa mengusap kepala Hengki.
Dari penuturan Asrul, dari sampah inilah mereka berdua bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Sampah plastik yang dipilih dikumpulkan terebihdahulu. Setelah itu barulah dijual kepada penampung. Untuk 1 Kilogram botol plastik minuman kemasan dihargai Rp3.000. Sementara untuk gelas plastik kemasan dihargai Rp5.000 per kilogram. Khusus gelas plastik kemasan harus penutupnya dibuka sampai habis.
Sementara itu untuk plastik bening pembungkus gula dan berwarna di hagai Rp1.500 per kilogram. Berbeda dengan tapak sepatu, harganya jauh lebih mahal. Bila kondisi tapak bagus bisa Rp6.000 satu buah tapak.
‘’Mau kerja apalagi dek. Sampah inilah tempat kami mencari rezeki. Lumayanlah dapat Rp75.000 per hari. Buat beli beras sudah lebih dari cukup,’’ ungkapnya.
Hengki hanya diam saja melihat ayahnya bercerita. ‘’Anak saya ini (Hengki, red) tidak ada yang mengajaknya untuk membantu saya. Tapi, dia yang mau membantu saya. Sebenarnya, tidak sampai hati. Kasihan dia,’’ katanya seraya mengusap kepala anaknya untuk ke dua kalinya.
Setelah melakukan perbincangan tersebut, sekitar pukul 13.50 WIB tanpa dikomandoi ayahnya, Hengki beranjak kembali bekerja. Satu unit truk pengangkut sampah kiranya datang saat itu. Sutrisno juga beranjak dari tempat duduknya menuju truk pembuangan sampah tersebut. ’’Saya kerja lagi ya dek,’’ ucapnya meninggalkan Riau Pos.
Berinteraksi dengan Sampah
Pengamat Lingkungan Riau, Drs Tengku Ariful Amri MS mengatakan, berbicara masalah sampah harusnya manusia bisa berintraksi dengan benda mati tersebut. Berintraksi dengan sampah itu tergantung dari bagaimana cara manusia menanganinya.
Tengku memaparkan, sebagai makhluk hidup, manusia dalam sehari-hari akan menghasilkan sampah. Baik itu dalam bentuk padat, cair, dan gas. ‘’Manusia dalam perkembangannya membutuhkan makan dan minum yang berujung menghasilkan akan sampah. Nah, tentunya wajib sekali dilakukan pengelolaan sampah ini secara maksimal. Jangan sampai merusak bumi,’’ ungapknya kepada Riau Pos.
Dalam kehidupan sehari-hari, ceritanya, sampah dibagi dalam dua macam. Pertama, sampah organik. Sampah organik sangat mudah dikelola dibuat kompos, biogas serta berbagai macam olahannya.
Kedua, sampah anorganik. Khusus sampah an organik memang sangat sulit untuk dikelola. Tapi, bisa saja setiap masyarakat bisa mengumpulkan dan dilakukan daur ulang. Kemudian diolah menjadi bahan material baru.
Menurut Dosen Universitas Riau ini, sampah juga harus dikelola supaya tidak menjadi sumber peyakit. “Dalam mengelola sampah itu harus ada pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat. Harus ada juga mekanisme penanganan sampah mulai dari pengumpulan, pemindahan ke TPA, dan diolah menjadi bahan olahan yag bernilai ekonomis. Kalau organik dijadikan pupuk dan dijadikan gas metana” jelasnya.
Dari pengamaatannya, Kota Pekanbaru dalam perkembangannya sangat pesat. Pertumbuhan penduduk dan dari luar daerah yang menetap pastilah menghasilkan sampah. Dalam mengatasi hal itu, harus ada peran pemerintah daerah dalam mewujudkan penyadaran akan sampah tersebut. “Selama ini pemeritah daerah sudah membuat kebijakan tetapi longgar. Selama ini Kota Pekanbaru mendapat piala adipura bukan keberhasilan pemerintah dalam melakukan penyadaran terhadapa masyarakat tetapi keberhasilan pasukan kuning yang bekerja membersihkan sampah,” tegas beliau.
Terkait dengan produktivitas pembuatan gas metan, Tengku menyebutkan, kegiatan itu sangat baik karena sebagai sumber energi masa depan masyarakat. Apalagi sekarang mengalami krisis energi. ‘’Kesempatan Kota Pekanbaru memproduksi gas metan dari sampah sangat besar,’’ pungkasnya.***