KETIKA PRESIDEN RI BELI BOEING 737-800 BUSSINESS JET 2

Tiga Negara Gunakan Buatan PT Dirgantara

Feature | Selasa, 14 Februari 2012 - 10:53 WIB

Tiga Negara Gunakan Buatan PT Dirgantara
Pesawat CN-235 buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) digunakan untuk pesawat militer dan kepresiden di beberapa negara. (Foto: net)

Rencana pemerintah RI membeli Boeing 737-800 sebagai pesawat kepresidenan masih menimbulkan kontroversi di sejumlah kalangan. Sebagian melihat hal tersebut belum substansi. namun, sebagian lainnya berpikir mengapa Presidn RI yang menggunakan pesawat produksi dalam negeri?

Laporan JPNN, Jakarta

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

INDONESIA patut berbangga dengan PT Dirgantara Indonesia (DI). Sebab, 3 negara telah menggunakan CN-235, buatan perusahaan yang dulunya bernama Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) menjadi pesawat kepresidenan. Ketiganya adalah Malaysia, Korea Selatan, dan Pakistan.

Direktur Aircraft Service PT DI Rudi Wuraskito mengatakan, Malaysia dan Korea Selatan menggunakan 2 unit CN-235 sebagai pesawat kepresidenan. Sedangkan Pakistan hanya 1 unit. Sama dengan pesawat Boeing yang baru dibeli Sekretariat Negara untuk Presiden Republik Indonesia, CN-235 tersebut juga memiliki interior dan keamanan khusus.

‘’Harganya untuk bodi pesawat saja (pesawat kosong)18-19 juta dolar AS. Kalau ditambah interior tinggal menambah 4 juta dolar AS saja. Tapi itu interior yang standar untuk VVIP. Tapi ada juga yang meminta interior sangat mewah. Harganya  8 juta dolar AS,’’ papar Rudi kepada JPNN di Jakarta kemarin (10/2).

Menurut Rudi, alasan 3 negara tersebut membeli CN-235 karena luas daerahnya yang kecil. Sehingga tidak perlu pesawat besar untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Lama terbang pesawat tersebut sekitar 8-9 jam dan dapat mendarat di bandara yang mempunyai landasan hanya 1.200 meter.

‘’Lama terbang CN-235 beda dengan Boeing yang baru dibeli pemerintah. Kalau dengan CN-235 Jakarta-Papua ditempuh selama 5-6 jam. Tapi kalau pesawat jet hanya 3 jam. Kalau presiden terbang terlalu lama akan capai di perjalanan,’’ ujarnya.

Dikatakan Rudi, PT DI sudah pernah menawarkan CN-235 sebagai pesawat kepresidenan ke Sekretariat Negara. Namun, karena diprioritaskan pesawat yang mampu menempuh jarak jauh dengan waktu singkat, maka CN-235 tidak dipilih.

‘’Ada prioritas. Dipilih yang paling baik. Kalau berharap, jika presiden ke Surabaya cukup pakai CN-235 saja,’’ urai Rudi.

Untuk komponen pesawat, kata Rudi, sebagian besar memang harus impor. Karena, perseroan tidak memiliki lisensi untuk membuatnya. Untuk mesin dibeli dari GE, perlengkapan avionik dari Colin atau Universal.

‘’Kalau merakit dan merancang pesawat dari kita. Kalau harus membuat sendiri seluruh perlengkapan biayanya sangat mahal. Misalnya avionik. Harus ada pabrik khusus untuk membuatnya. Airbus dan Boeing saja tidak punya pabriknya. Mereka juga memesan komponen dari vendor, termasuk PT DI,’’ katanya.

Kata Rudi, sekitar 15 negara telah menggunakan pesawat CN-235. Di antaranya Amerika Serikat, Prancis, Spanyol, Malaysia, Thailand, Turki, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Arab Saudi. Total sudah ada 315 pesawat yang dibuat. Negara yang paling banyak menggunakan adalah Turki dengan 70 unit. Kebanyakan pesawat-pesawat tersebut dipakai untuk transportasi militer seperti membawa barang dan orang.

‘’Kita sedang mengusahakan tiap tahun ada pemesanan baru. Saat ini kita sedang menjajaki dengan Angkata Udara Indonesia dan ajukan penambahan ke Korea,’’ tutur Rudi.


Pro Kontra

Sekretaris Fraksi Hanura di DPR Saleh Husen menegaskan, tidak setuju dengan pengadaan pesawat kepresidenan yang menelan dana hampir Rp1 triliun dari APBN.

‘’Tidak mencerminkan keprihatinan perekonomian masyarakat yang masih terpuruk,’’ katanya, beberapa waktu lalu di Jakarta.

‘’Di tengah perekonomian dan moral masyarakat yang terpuruk, harus bermewah-mewah dengan pesawat yang hampir mencapai Rp1 triliun,’’ kata Anggota Komisi V DPR, itu.

Ia menegaskan, alangkah lebih baik dana itu dibantu untuk pengentasan kemiskinan di daerah.’’Daripada digunakan untuk  kepentingan seorang pejabat,’’ ujarnya.

Diakuinya, kalau pembelian itu didasari karena alasan untuk penghematan, maka tak masuk akal.’’Alasan lebih hemat tidak masuk akal. Kan ada pesawat dalam negeri yang bisa digunakan,’’ kritiknya.

Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin enggan mengomentari pembelian pesawat kepresidenan itu. Ditemui wartawan di halaman Gedung DPR, Jumat (10/2), Din mengaku baru pulang dari luar daerah dan belum tahu persoalan di pusat.

Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia membeli Boeing 737-800 buatan Amerika Serikat yang akan berfungsi sebagai pesawat kepresidenan. Pembelian pesawat itu menelan dana 91 juta dolar AS atau sekitar Rp900 miliar.

Boeing Bussiness Jet 2 Green Aircraft untuk presiden ini direncanakan  akan tiba di tanah air pada Agustus 2013. Pesawat kepresidenan ini dibeli dengan harga  berkisar 91,2 juta dolar Amerika atau sekitar Rp820 miliar, dengan rincian 58,6 juta dolar AS untuk badan pesawat,27 juta dolar  untuk interior kabin, 4,5 juta dolar untuk sistem keamanan, dan 1,1 juta dolar AS untuk biaya administrasi.

Situs perusahaan perakit pesawat terbesar dunia ini, Boeing.com menyebutkan, pesawat BBJ2 ini didesain untuk keperluan VIP. Yakni didisain dengan konfigurasi mewah dengan keberadaan kamar tidur utama, toilet yang dilengkapi dengan shower, ruang konferensi, ruang makan, dan ruang tamu.

Boeing BBJ2 ini memiliki panjang sekitar 39,5 meter, panjang sayap 35,8 meter, tinggi ekor 12,5 meter dan memiliki diameter 3,73 meter. Untuk interiornya, BBJ2 ini memiliki panjang 29,97 meter, dengan tinggi 2,16 meter dan lebar 3,53 meter.

Dengan daya tampung 39.539 liter bahan bakar, pesawat ini dapat terbang maksimal sejauh 10.334 kilometer. Namun jika pesawat berisi maksimal 50 orang, maka jarak tempuhnya mencapai 8.630 kilometer. Jarak tempuh itu bisa dilalui dengan kecepatan maksimal 871 kilometer per jam.(int/bud/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook