Gerai makan dan minum Labuai City Walk yang terdapat di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya bersebelahan dengan kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji-Purna MTQ bagaikan lampu redup kekurangan daya.
Laporan LISMAR SUMIRAT, Pekanbaru
‘’Kadang hidup, kadang padam,’’ kata Idris, salah seorang pedagang di sana. Tampak hidup karena masih ada juga aktivitas penjualan dan para pelanggan setia yang memilih untuk makan dan minum di sana. Dikatakan padam karena kondisi yang ada bagaikan sebuah kota yang sudah sekian lama ditinggalkan penghuninya.
Di depan gerbang pintu masuk terpampang sebuah tulisan ‘’Gerai makan dan minum Labuai City Walk’’.
Tulisan yang mulai lusuh ini mewakili sambutan selamat datang kepada para pengunjung yang panjangnya terbentang selebar jalan.
Dengan ditopang dua buah gapura besar mengisyaratkan pula kepada pengunjung akan memasuki gerai makan minum yang dapat memuaskan selera.
Diapit sebelah kanan sebuah tulisan berupa plang, bertuliskan K3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban). Sementara itu di sebelah kirinya, dalam bentuk yang serupa bertuliskan Tuah Sekata Payung Negeri.
Begitu kaki melangkah setapak saja, maka kesan yang tergambar di hanya hampa begitu saja. Sejauh mata memandang, kita akan menyaksikan deretan gerai yang tak terurus, porak-poranda kursi di sana-sini, tiang-tiang gerai berupa rangka besi karat tak beratap, semak samun di sepanjang belakang gerai, pakaian cuci yang diampai sana-sini, retak-retak lantai batu dan bangunan, tampalan baliho-baliho bekas, ranting-ranting kering terjungkal di sana-sini.
Segala fasilitas yang tersedia tak dapat lagi dipergunakan semestinya. Sebuah kubah tempat berteduh yang terdapat di tengah-tengah menjadi bangunan besi karat tanpa atap yang menyerupai rangka-rangka tua.
Musala bagaikan ruangan kumuh tempat sampah dan barang bekas tertumpuk.
Dalam keadaan semrawut seperti itu, belasan gerai masih bertahan dalam kondisi yang serba memungkinkan. Mereka mencoba menata kursi dan meja layaknya sebuah gerai makan dan minum umumnya. Namun penataan sebagaimana pun rapinya tak mampu mengalahkan kesemrawutan yang memang lebih nyata di pandangan mata.
Age, salah seorang pedagang menyebutkan beginilah kondisi yang ada. Ia tetap bertahan karena masih banyak pelanggan setianya yang berkunjung pada saat-saat tertentu terutama malam Ahad.
‘’Masih ramai berkunjung ke gerai saya ini, apalagi kalau malam Ahad. Tapi memang disayangkan juga. Gerai Labuai inikan letaknya sangat strategis tapi kondisinya parah sudah tidak terurus hampir samalah nasibnya dengan kawasan di sebelah, ‘’kata Mas Age sambil tangannya menunjukkan kawasan Purna MTQ.
Ditanyai terkait dengan pengelola, Mas Age mengatakan tak tahu persis siapa pengelola kawasan gerai di Labuay saat ini. Yang jelas katanya, pedagang saat ini tidak lagi dipungut biaya.
Hanya membayar uang listrik itu pun dilakukan sendiri-sendiri. ‘’Ya, kami Cuma bayar listrik dan air. Bayarnya sendiri-sendiri saja, ‘’ katanya lagi.
Idris, pedagang lainnya, juga mengakui kesemrawutan gerai makan Labuay tersebut. Namun katanya pada 2014 ini ada kabar yang didapat akan direhab dan dipugar kembali.
Pedagang-pedagang jagung yang berada di luar (Jalan Jenderal Sudirman depan MTQ akan dipindahkan ke dalam semua.
‘’Itu yang saya dengar. Moga secepatnyalah terlaksana karena sayang sekalikan. Tempat strategis, apalagi letaknya kan masih termasuk areal perkotaan, ‘’ ucap Idris.
Sebagai pedagang yang sudah berjualan sejak gerai dibuka 12 tahun yang lalu, Idris berharap kalau pun direhab kembali hendakya pihak terkait memikirkan dengan tepat di mana letak parkir kendaraan. Karena hal itulah yang menjadi persoalan selama ini.
Diceritakannya setahun berjalan dulu, parkirlah yang menjadi kendala. Kendaraan banyak parkir di depan gerai sementara pengunjung di satu gerai itu ramai, terpaksa parkir di depan gerai orang lain.(*6)