Pesta Pantai di Desa Tanjung Pisang, Kecamatan Tasik Putri Puyu, Kepulauan Meranti usai sudah pekan lalu. Tak sekadar beriang gembira, tapi juga memperkenalkan keseharian masyarakat di sana dalam memanfaatkan laut sebagai sumber mata pencaharian. Seperti apa pestanya?
Laporan AHMAD YULIAR, Tanjung Pisang
Pagi itu, Sabtu (7/12), di Desa Pantai Tanjung Pisang, matahari baru menampakkan sinar violetnya. Samsinar (40) bertumpu di atas selembar papan (biasa disebut tongkah), meluncur di atas pantai berlumpur.
Pagi itu masih terasa dingin. Bau anyir terasa menusuk di hidung. Dia tak peduli, tangannya dengan cekatan mencuil lubang-lubang kecil di lumpur.
Sesekali dia mengganti kaki kanan bertumpu di papan dan giliran kaki kiri mendorong. Lalu dalam hitungan menit, kerang dan jenis binatang laut sudah berpindah ke dalam ember yang diletakkan di bagian depan papan tongkahnya.
Biasanya menongkah ini dilakukannya jelang air pasang. Jika masih kuat, dia akan kembali turun ke pantai pada petang hari saat air laut kembali surut.
‘’Sejak umur 8 tahun saya belajar ikut menongkah,’’ tutur Samsinar yang sudah akrab di pantai berlumpur itu sejak kecil.
Aktivitas Samsinar kali ini sedikit beda. Dia menjadi salah seorang peserta lomba menongkah dalam acara pesta pantai. Tak heran, semangat untuk turun ke pantai sedikit berbeda.
‘’Kalau dulu saat saya masih berumur 8 tahun, satu kilogram kerang hanya Rp50 saja. Tapi sekarang, walaupun lebih besar rupiah yang dihasilkan, tapi tetap saja bernilai lebih kecil. Sebab 1 kilogram kerang hanya dihargai Rp10 ribu,’’ tutur Samsinar.
Menongkah, kata Samsinar, waktu kecil dia lakukan untuk bermain. Selain asyik, dia juga ingin membantu orangtuanya memenuhi keperluan pokok sehari-hari.
Menurutnya, saat lomba kemarin ia keluar sebagai juara pertama. Menongkah menurutnya lebih banyak dilakukan kaum ibu untuk membantu meningkatkan penghasilan keluarga. Sedangkan suami biasanya menjadi nelayan di laut.
Meski begitu, tak jarang juga kaum bapak juga mencari kerang dengan mendongkah. Terutama saat laut sangat pelit untuk memberikan ikannya kepada nelayan Tanjung Pisang.
Setiap hari aktivitas menongkah dilakukan di pagi atau petang hari saat air laut surut. Ketika pasang, menongkah tak bisa dilakukan, karena lumpur pantai digenangi air laut.
Zizamzul, contohnya. Dalam pengakuannya yang ditemui di Tanjung Pisang, ia akan menongkah jika hasil tangkapan di laut berkurang.
Di Tanjung Pisang dikenal ada musim melaut dan musim tak melaut. Pada saat tak melaut, aktivitas menongkah menjadi pilihan warga kaum bapak.
‘’Menongkah jadi kebiasaan masyarakat kami di kampung ini. Bukan hanya kerang didapati di dalam lumpur, tapi juga jenis lainnya seperti sepipih, sepahat, sepapan, sepanggau, senteng, udang temban, siput pantai, dan lain sebagainya,’’ ujarnya.
Pria yang dipercaya masyarakat Tanjung Pisang sebagai Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) itu menilai, aktivitas menongkah itu terlihat asyik, namun cukup sulit dilakukan.
Termasuk hasil yang didapatkan, jika dibandingkan melaut yang menjadi kesehariannya, maka masih di bawah.
Meski begitu, lanjutnya, menongkah akan tetap dilakukan jika kegiatan melaut lagi sepi ikan. Sebab jika memaksa melaut tidak akan memberikan keuntungan.
Bahkan di saat musim tidak melaut dipaksakan warga melaut, tak jarang merugi karena tak mendapatkan tangkapan.
Makanya, aktivitas mendongkah dapat membantu. Sebab walaupun tidak sebanyak mencari ikan di laut, namun hasilnya cukup menjadi santapan selama sehari.
‘’Menongkah seperti sebuah kebiasaan atau tradisi panjang yang tidak bisa ditinggalkan,’’ ucapnya.
***
Menongkah menjadi salah satu lomba yang mengawali pesta pantai, Sabtu (7/12) lalu itu. Lomba sengaja dimulai pukul 07.00 WIB pagi, ketika air laut masih surut dan tak menutupi pantai yang sebagian besar berlumpur di Desa Tanjung Pisang.
Menongkah adalah kegiatan mencari kerang dan sejenisnya di pantai berlumpur. Menggunakan selembar papan, dimana papan dibikin seperti papan selancar.
Tapi papan itu tak memiliki sirip di bawahnya seperti papan selancar. Karena tak dipakai di atas air, tapi di lumpur.
Jika di papan selancar mengarungi ombak. Papan tongkah melintasi lumpur yang kedalamannya mencapai 50 sampai 80 centimeter.
Jika di atas papan selancar orang harus berdiri tegak, di papan tongkah hanya berlutut. Salah satu kaki dengan lutut ditekuk di atas papan, dan satu kaki lainnya sebagai pendayung dengan mendorong sambil menghentakkan lumpur hingga papan tongkah berjalan.
Posisi tangan yang memegang bagian depan papan tongkah berguna untuk menjaga keseimbangan dan membantu mengarahkan tujuan lajunya papan melintasi pantai berlumpur itu.
Selain media promosi, lomba mendongkah itu punya potensi dijadikan iven tahunan. Selain tradisi itu sudah ada sejak dulu sebagai sarana mencari nafkah sehari-hari.
Melalui tongkah itu menjadi alas agar penongkah (orang yang menongkah) dapat menyusuri pantai berlumpur, mengais kerang dan sejenisnya di sepanjang pantai di Desa Tanjung Pisang itu yang berhadapan dengan Selat Malaka.
Dorongan kaki sebelah kiri atau kanan menjadi kekuatan untuk meluncur di atas lumpur.
Saat Riau Pos menjajal tongkah itu, ternyata tak semudah yang disaksikan. Dengan meluncur cepat, para penongkah dengan gesit mencuil lubang kerang di lumpur.
Selain sulit mengarahkan arah tongkah, Riau Pos juga kesulitan menentukan lubang kerang berikut dengan pola mencuil lubang kerang sehingga dapat diambil.
Dalam mencuil lubang, agar mendapatkan kerang atau sejenisnya memerlukan feeling dan teknik tersendiri. Hasilnya, tak sebiji kerangpun didapatkan Riau Pos.
Angkat Kearifan Lokal
Sebagai upaya menjaga kearifan lokal dan mengangkat aktivitas masyarakat mencari nafkah itulah menjadi awal Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kepulauan Meranti membuat lomba menongkah.
Apalagi kegiatan ini sangat menarik dan jangka panjang bisa dijual untuk menarik minat wisatawan.
‘’Ini sangat menarik. Memang bagi masyarakat desa biasa saja, tapi tidak bagi orang luar yang baru pertama kali melihat menongkah. Apalagi di Meranti tidak memiliki potensi wisata yang sudah siap pakai dan jual, seperti pantai berpasir putih dan sejenisnya. Makanya, kearifan lokal ini yang menjadi sasaran kita untuk dijual. Apalagi kegiatan seperti ini cukup menyenangkan bagi wisatawan yang baru pertama kali menyaksikannya untuk dicoba,’’ kata Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kepulauan Meranti, Drs M Arif MN MPdi.
Berangkat dari sana juga lomba menongkah itu diharap menjadi agenda tahunan di Desa Tanjung Pisang. Memang untuk tahap awal Dinas Pariwisata mendukungnya, sehingga menjadi pemicu nantinya agar pelaksanaan itu bisa terus dilaksanakan masyarakat Desa Tanjung Pisang.
Bahkan jika benar-benar dapat diminati oleh wisatawan akan menjadi salah satu tujuan wisata yang akan terus dipromosikan nantinya.
Apalagi Kepulauan Meranti tidak memiliki pantai pasir putih yang biasanya jadi daya tarik wisatawan. Oleh karena itu, pantai berlumpur di Kepulauan Meranti ini akan digarap potensinya secara maksimal.
Apalagi setelah melihat kebiasaan menongkah cukup menjadi daya tarik bagi siapa saja yang menyaksikannya dan ingin mencobanya. Apalagi bisa dilombakan layaknya pacuan kuda ataupun karapan sapi.
Berangkat dari sanalah Disparpora mulai merangsang masyarakat melaksanakannya.
‘’Kita hanya mendorong masyarakat untuk membuatnya. Memang untuk kali perdana kita danai. Namun selanjutnya bisa menjadi agenda milik masyarakat,’’ kata Kepala Disparpora Drs M Arif MN MPd didampingi Sekretarisnya Drs H Ismail Arsyad MSi.
Adapan pesta pantai sendiri, sejumlah perlombaan dilakukan. Selain menongkah yang menjadi perlombaan utama, juga dilaksanakan panjat pinang di atas pantai, pukul bantal di atas laut dan perlombaan lainnya.
Pesta pantai inilah diharapkan menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengangkat segala kearifan lokal yang siap untuk dijual nantinya.
Ketua Sanggar Bathin Galang Kepulauan Meranti, Sopandi, menilai Kepulauan Meranti tidak punya pantai yang indah dan berpasir, tidak punya gunung yang tinggi, tidak punya air terjun yang indah.
Meranti hanya punya kearifan lokal yang layak dijadikan objek wisata untuk layak dijual sebagai komoditi pariwisata yang menjanjikan.
‘’Kearifan lokal tersebut warisan nenek moyang kita yang sangat potensial dijadikan suatu objek, agar bisa menjadi sebuah objek yang bernilai jual yang tinggi, seperti menongkah selain ada di Meranti, juga ada di Tembilahan dan pesisir Riau,’’ katanya.
Ia mengatakan ini sama juga dengan lomba lari tual sagu. Lari ini merupakan proses menghitung sagu yang dijadikan sebuah lomba lari di atas air yang menggunakan objek tual sagu. Ini juga merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Meranti, namun sangat baru bagi masyarakat di luar itu.
‘’Banyak lagi kearifan lokal yang banyak tersimpan di daerah Meranti, seperti yang kami buat di pesta Sungai Bokor kemarin, mancing senepak, ngolek tual sagu, lomba ngujah ghame, lomba nyocuk atap, lomba cari siput, dan banyak lagi yang harus dibukukan dan patut dipromosikan ke tingkat nasional maupun internasional,’’ terangnya.
Hal itu diamini Ketua LAMR Kepulauan Meranti H Ridwan Hasan Sag. Ia menilai sangat banyak kearifan lokal Meranti yang patut diperjuangkan untuk mengangkat citra Kepulauan Meranti.
‘’Negeri kita sangat kaya akan kearifan lokalnya. Hanya saja belum diketahui banyak orang. Kearifan lokal itu sendiri cukup potensial untuk dipromosikan dalam rangka membantu memajukan Kepulauan Meranti sehingga lebih maju dan bermartabat,’’ katanya.
Senada dengan itu, Ketua Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia (FORMI) Kepulauan Meranti, Zubiarsyah optimis aktivitas kebiasaan masyarakat di Kepulauan Meranti dapat menjadi sebuah olahraga masyarakat yang bermuara kepada semakin banyaknya peminat yang ingin mencoba atau hanya sekadar menikmatinya.
‘’Lomba mendongkah patut menjadi jualan Meranti dalam mengembangkan sektor pariwisata. Sehingga Meranti menjadi daerah tujuan wisata nantinya,’’ ungkap mantan Sekda Kepulauan Meranti itu.***