Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di negeri orang. Belasan tahun memiliki karir sukses di perusahaan-perusahaan komunikasi internasional di banyak negara, Wempy Dyoca Koto akrab dengan sejumlah brand ternama seperti Samsung, Microsoft, Adidas, hingga Sony. Namun, kecintaannya kepada tanah air belum luntur. Dia kini ganti membantu merek-merek lokal Indonesia untuk go international.
SEKARING RATRI A., Jakarta
DARI penampilan fisik, Wempy sangat "Indonesia". Kulitnya sawo matang dengan postur tubuh umumnya orang negeri sendiri. Yang berbeda hanya logat bahasa Indonesianya yang kagok, tidak luwes. Dia kerap menyelipkan kata-kata bahasa Inggris dalam omongannya. Dia juga tidak bisa melafalkan R dengan tepat.
Sebagian besar hidup pria 37 tahun itu memang dihabiskan di negeri orang. Dia lama tinggal di Australia. Tapi kemudian melanglang buana ke Amerika, Eropa, dan Asia.
"Waktu masih TK, saya dan kedua kakak saya mengikuti orang tua yang pindah ke Australia," jelas Wempy saat ditemui di Menara Citicon, Jakarta, pekan lalu.
Bungsu di antara tiga bersaudara tersebut menempuh pendidikan dari SD hingga kuliah di Sydney, Australia. Sejak sekolah hingga kuliah, Wempy dikenal sebagai murid yang pintar dan berprestasi. Saat lulus dari Vaucluse High School Sydney, Wempy memperoleh Governor Arthur Phillip Award dari pemerintah Australia karena meraih peringkat pertama di berbagai disiplin ilmu di sekolah tersebut. "Saya orangnya akademis banget. Saya suka belajar supaya dapat nilai bagus," ujarnya.
Wempy lantas melanjutkan kuliah di University of Technology Sydney dengan mengambil jurusan komunikasi. Belum lulus, dia sudah menyambi jadi analis pasar di American Express. Begitu lulus, dia mendapatkan beasiswa program magister dari perusahaan tempatnya bekerja. Pada 1999 Wempy meraih gelar master of international studies dari Fakultas Ekonomi University of Sydney. "Waktu itu usia saya masih awal 20-an. Masih muda sekali," kenangnya.
Pada usia semuda itu, Wempy seolah tak ingin membuang waktu. Dia kembali berkarir di American Express dan dipindah ke Singapura. Tapi, tak lama kemudian, Wempy pindah ke salah satu perusahaan advertising terbesar di dunia, WPP Group. Di WPP Group dia ditempatkan di Wunderman dan OgilvyOne Worldwide. Sejumlah brand internasional ternama seperti Adidas, Microsoft, Citigroup, Sony, Nikon, British Petroleum, Palm, hingga Samsung pernah ditanganinya.
Karena tuntutan pekerjaan, Wempy pun kerap melanglang buana ke banyak negara. Kadang dia menetap di suatu negara untuk sementara waktu. Kadang dia hanya meninjau situasi pasar dalam waktu singkat. Jabatan yang diembannya cukup bergengsi. Wempy pernah menjadi regional account director pada 2006. Saat itu dia menetap di London, Inggris. Dia bertanggung jawab untuk wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Dia meraih puncak karirnya saat menjabat global business director.
Sebagai global business director, Wempy harus memantau pasar dunia. Saat itu dia berbasis di San Francisco, Amerika Serikat. Namun, di tengah masa keemasannya, krisis global melanda pada 2008. Untung, karir Wempy masih aman-aman saja. "Waktu itu ekonomi sedang kolaps. Tapi alhamdulillah, kerjaan saya aman," ujarnya.
Saat berada di San Francisco, Wempy berteman dengan pengusaha bernama Baz. Dia menyewa kantor di dekat kantor Wempy. Meski menyandang status pengusaha, Baz kerap kesulitan untuk membayar uang sewa apartemennya. Namun, Wempy melihat semangat kawannya tersebut untuk terus bertahan di tengah krisis global.
"Dia menginspirasi saya. Dia bilang kamu sudah 12 tahun kerja di bidang marketing advertising dan komunikasi, kok belum buka perusahaan sendiri. Awalnya saya cueki, tapi lama-lama kepikiran juga," ujarnya.
Akhirnya Wempy terpacu untuk membuka usaha sendiri. Pada 2009 dia terbang ke kantor pusat WPP di London untuk mengajukan surat pengunduran diri, tapi ditolak atasannya. Atasannya menganggap Wempy "gila" karena berniat keluar dari pekerjaan pada saat krisis global. Nyali Wempy kembali ciut.
"Saya akui saya masih weak saat itu. Saya belum punya sense of risk. Jadi, setelah ditolak, saya balik lagi ke San Francisco," kenangnya.
Tapi, pikiran untuk mendirikan perusahaan sendiri terus tebersit di benak Wempy. Akhirnya, delapan bulan kemudian, dia memberanikan diri untuk kembali mengajukan pengunduran diri. Kali ini atasannya tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak lama kemudian Wempy mendirikan perusahaan konsultan pengembangan bisnis sendiri yang diberi nama Wardour and Oxford.
Kenapa dinamakan Wardour and Oxford" Sebab, kantor tersebut terletak di sudut jalan yang bernama sama. Perusahaan itu bergerak di bidang jasa, yakni membantu para pengusaha dan perusahaan meluncurkan bisnis, merek, serta produk secara internasional. Yang menarik, mantan atasannya di WPP Group menjadi klien pertamanya.
Keputusan sang bos tersebut cukup membantu roda perekonomian perusahaan baru Wempy. Efeknya mirip snow ball. Setelah bosnya, klien-klien lain berdatangan. Namun, pria kelahiran Padang Panjang tersebut harus menyadari bahwa segala sesuatunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan ketika dirinya masih menjabat global business director, khususnya dari segi income.
"Waktu saya masih jadi direktur, rate gaji saya bisa dibilang tertinggi untuk ukuran London dan sekitarnya. Tapi, setelah buka perusahaan sendiri, income saya menyusut tajam. Meski begitu, saya tidak akan menjual aset-aset saya seperti rumah untuk membantu perusahaan. Kalau perusahaan ini ada, ya karena ada income. Saya nggak mau ngandelin kredit bank atau semacamnya," jelas pengusaha yang memiliki aset rumah mewah di Darling Point, Sydney, tersebut.
Akhirnya perusahaan Wempy pun mulai berkembang. Hingga kini perusahaannya sudah menangani perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Fortune 1000. Kliennya tersebar di Inggris, Timur Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika. Wempy telah membawahkan sekitar 20 perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia.
Kapasitas Wempy di bidang entrepreneurship pun sudah diakui secara internasional. Tahun ini dia berhasil meraih penghargaan Asia Pacific Entrepreneurship Award 2013 dengan predikat "Most Promising Entrepreneur". Wempy bahkan termasuk dalam daftar The World"s 120th Most Social CEO di urutan ke-120, sebuah penghargaan yang diberikan agensi komunikasi Strategic Objective. Dialah satu-satunya CEO asal Indonesia yang berada dalam daftar itu. CEO lainnya adalah Oprah Winfrey, Richard Branson, Donald J. Trump, Rupert Murdoch, Warren Buffett, Tony Fernandes, dan Marissa Mayer.
Prestasi itu belum memuaskan hidup Wempy. Dia merasakan masih ada yang kurang, yakni kontribusi terhadap negaranya sendiri. Wempy menuturkan, karena dibesarkan di negeri orang, dirinya hampir tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Rasa nasionalismenya waktu muda juga belum cukup kuat. Meski demikian, semua itu berubah ketika dia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia dan Indonesia untuk magang selama sekitar delapan minggu di Universitas Indonesia.
Di situ Wempy benar-benar mengalami cultural shocked. Dua minggu pertama cukup berat bagi dia. Selain tidak terbiasa dengan kehidupan di asrama mahasiswa, Wempy kesulitan untuk berbahasa Indonesia. Dosen di kelas berulang-ulang mengingatkan Wempy untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Saya berkali-kali disuruh bilang "ular melingkar di atas pagar" karena saya nggak bisa bilang R. Pokoknya, pada awalnya sulit sekali menyesuaikan," kenangnya.
Namun, kehidupan mahasiswa di Indonesia cukup membuka mata Wempy akan asal usulnya. Dia bertemu dengan teman-teman dari berbagai suku dan daerah. Dia pun jatuh cinta pada keanekaragaman tersebut. "Kalau di Aussie orangnya kebanyakan individual. Kalau di sini senang bersama-sama. Saya pun merasa inilah akar saya," ujarnya.
Karena itu, meski sudah sukses di negeri orang, Wempy tidak melupakan tanah airnya. Sekitar tiga tahun lalu dia membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk go international. Namun, baru setahun yang lalu dia memutuskan pindah ke Indonesia. Merek-merek lokal yang sudah berhasil dibawa ke pasar internasional antara lain Kebab Turki Baba Rafi, Ayam Bakar Mas Mono, dan Sour Sally. Merek lokal terkini yang diperkenalkan ke mancanegara adalah Keripik Pedas Maicih.
Menurut Wempy, brand lokal kerap gagal go international karena strategi yang salah. "Mereka mikirnya kalau mau go international kayak memasarkan ke Depok, Bekasi, atau sekitarnya. Padahal tidak semudah itu," tuturnya.
Berkat pengalamannya selama belasan tahun di dunia pemasaran internasional, Wempy percaya diri bahwa merek-merek lokal bisa dipasarkan ke mancanegara. Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan Wempy sebelum akhirnya memasarkan brand tersebut ke luar negeri. Di antaranya adalah mencari investor, bernegosiasi dengan investor, mengurus legalitas dan saluran distribusi, sampai memonitor kebijakan suatu negara yang tidak memperbolehkan suatu barang masuk ke negaranya. "Kalau dijabarkan step-stepnya ke klien, pasti mereka pusing sendiri. Jadi, ya itu biar jadi tugas kami saja," katanya.
Bukan hanya itu, sebelum memutuskan untuk menangani brand lokal tertentu, Wempy harus paham betul brand tersebut. Dia teliti pengusaha dan perusahaannya terlebih dahulu. Dia tidak memungkiri bahwa sebaiknya brand tersebut sudah populer di Indonesia dan memiliki kualitas ekspor. "Dan untuk kuliner, misalnya, saya harus membuktikan bahwa rasanya benar-benar enak," kata pria yang masih betah melajang tersebut.
Di samping itu, Wempy harus melakukan sejumlah penyesuaian. Dia mencontohkan brand Keripik Pedas Maicih. Meski sudah sangat terkenal di negeri sendiri, rasa pedas Keripik Maicih terlalu keras. Karena itu, harus dikurangi kadar kepedasannya. Begitu juga nama brand, Wempy memutuskan untuk mengganti nama brand Maicih menjadi Spicy Granny. "Tujuannya supaya lebih bisa diterima di luar negeri," papar penghobi surfing tersebut. "
Saat ini Spicy Granny sudah diekspor ke Singapura. Dalam waktu dekat brand itu berekspansi ke Amerika, Eropa, dan Australia. "Saya bangga melihat merek-merek Indonesia bisa go international."Saya berkomitmen akan membangun negara berdasar kemampuan dan kapabilitas yang saya punya, termasuk dengan berbagi ilmu," tandasnya. (*/c9/ari)