Produksi minyak bumi dunia terus turun, bahkan tidak seimbang dengan laju konsumsi. Begitu juga dengan produksi minyak Riau, yang dulunya terkategori daerah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia. Upaya pencarian cadangan baru terus dilakukan, termasuk di Riau. Disamping itu, gerakan menasionalisasi perusahaan Migas juga semakin membesar.
Laporan MUHAMMAD HAPIZ
UNTUK satu barel yang dihasilkan, diiringi empat barel minyak bumi yang dikonsumsi. Inilah kerisauan dunia, termasuk Indonesia saat ini dipaparkan Prof Ir Doddy Abdassah MSc PhD saat menjadi pemateri sosialisasi media SKK Migas Perwakilan Sumbagut, 3 Oktober lalu. Indonesia boleh berbangga dengan pancapaian produksi minyak bumi melebihi 600 juta barel pada tahun 1977. Kemudian pada tahun 1995, hampir mencapai 600 juta barel ditandai dengan puncak produksi lapangan minyak Duri, Provinsi Riau 1 juta barel/hari.
Tapi hampir sama seperti negara penghasil minyak dunia lainnya seperti Benua Amerika, produksi minyak bumi Indonesia terus menurun. Tahun 2000, pruduksi Indonesia menurun level 500 juta barel. Tahun 2006, 380 juta barel. Tahun 2008, 320 juta barel. ''Pada tahun 1956, King Hubbert meramalkan setelah terjadinya pucak produksi minyak dunia tahun 1970-an hingga tahun 2000, akan terjadi krisis energi dengan cadangan energi minyak bumi yang terkuras ditambah lagi meroketnya ongkos energi dan bahan bakar. Dan ini yang sedang terjadi di dunia, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2003, tidak ditemukan lagi lapangan minyak raksasa di belahan bumi manampun. Sejak 1983, kita menghabiskan minyak lebih cepat ketimbang menemukan minyak baru. Kita mengkonsummsi 4 barel minyak untuk setiap satu barel yang ditemukan,'' ujar Doddy.
Kondisi ini, paparnya, ditambah lagi dengan semakin mahalnya biaya ekplorasi. Tahun 2003, perusahaan minyak mengeluarkan biaya hingga 8 miliar dolar AS untuk ekplorasi dan menemukan 4 miliar dolar AS cadangan baru. ''Sejak tahun 2000, biaya untuk menemukan dan mengembangkan cadangan baru meningkat kurang lebih 15 persen per tahun. Produksi minyak dunia berasal dari lapangan-lapangan lelah dan tua yang telah berusia lebih dari 40 tahun,'' terangnya.
Untuk wilayah Asia Fasific, Indonesia saat ini berada di posisi lima setelah Australia, Brunai, Cina dan India memiliki cadangan minyak bumi. Jumlah cadangan Indonesia mencapai 4,4 miliar barel. Jumlah ini terus turun. SKK Migas menyebutkan angka 3,6 miliar barel cadangan yang tersisa dihitung pada tahun 2012. Jumlah ini jauh kalah bila dibandingkan dengan Venezuela yang cadangannya mencapai 300 miliar barel. Hingga tak heran jika Indonesia saat ini termasuk sebagai negara importir minyak untuk konsumsi dalam negeri.
Semakin habisnya cadangan minyak bumi dunia ini, diantisipasi dengan menemukan dan mengekplorasi energi bumi lainnya. Prof Doddy menyebutkan, energi gas, panas bumi dan hdyro karbon yang mempunyai potensi sangat besar sebagai energi dunia. Potensi ini juga banyak terdapat di Indonesia. ''Cadangan energi hydro dapat memenuhi energi dunia selama 3.000 tahun. Terdapat didalam bumi daratan dan lautan. Bahkan di beberapa lautan, hydrokarbon ini dengan mudah didapat dan sering tertangkap oleh jaringan nelayan berbentuk kristal-kristal es. Lainnya, Indonesia mempunyai sumberdaya shale gas yang cukup melimpah. Saat ini pemerintah sedang melakukan kajian potensi dan peraturannya,'' ucapnya.
Untuk cadangan minyak bumi Indonesia yang kini dihitung 3,6 miliar barel, jika diproduksi 800-900 ribu barel perhari, maka diperkirakan akan terkuras 12 tahun lagi. Angka ini didapati jika tidak ada kegiatan penemuan cadangan minyak baru dalam bentuk kegiatan ekplorasi dan eksploitasi. Namun angka pesimis itu, bukan berarti ''kiamat'' bagi minyak bumi. Sebab tahun 70-an lalu, Indonesia juga diprediksi mengalami habis cadangan minyak bumi, tapi malah meningkat drastis dengan produksi lapangan minyak Duri, Riau di tahun 1995 setelah ditemukannya teknologi injeksi uap panas untuk mencairkan minyak dalam bumi yang mengeras sehingga mudah dipompa ke permukaan. Saat ini produksi terus menurun dan ramalan itu muncul kembali dengan angka 12 tahun kedepan, jika tidak ada menemukan cadangan dan teknologi baru, tentu saja akan terjadi.
''Tapi upaya pencarian cadangan minyak baru terus dilakukan. Tapi tidak semudah itu. Usaha mencari minyak ini banyak orang menyebutnya gambling. Karena dari 10 kegiatan pengemboran, tingkat keberhasilannya 3-4 sumur baru, bahkan bisa nol sama sekali. Dan biaya untuk melakukan kegiatan eksploitasi ini tidaklah sedikit, triliunan. Makanya, lebih banyak perusahaan asing di Indonesia yang melakukan kegiatan eksplorasi, sebab modal mereka banyak, modal sendiri, tidak pinjaman. Kalau kita, Pertamina misalnya, dengan sistem perundang-undangan yang ada, untuk kegiatan pencarian ladang minyak baru, masih sulit dilakukan. Sebab resiko tinggi dan biaya yang besar itu. Kontraktor Migas yang melakukan pengeboran sumur minyak baru, jika gagal, maka resiko atau kerugian ditanggung sendiri. Kalau berhasil, 85 persen untuk negara Indonesia. Saat ini, Pertamina sebagai BUMN, banyak mengeksplorasi ladang minyak yang sudah ada, dan sebagian besarnya sudah tua. Tapi upaya produksi setinggi-tingginya terus dilakukan,'' kata Kepala Perwakilan SKK migas Wilayah Sumbagut, Ir Bahari Abbas MT.
Bahari Abbas yang menaungi wilayah Aceh, Sumut, Sumbar, Riau dan Kepulauan Riau ini menambahkan, produksi Migas adalah milik negara, SKK Migas memanajemen kendali Kontraktor Migas. Tahapan kegiatan usaha Hulu Migas memerlukan waktu panjang. 3-6 tahun, papar BAhari, merupakan kegiatan eksplorasi berupa seismic, eksplorasi driling dan studi-studi. Kemudian 1-2 tahun apraisal, 3-6 tahun pengembangan berupa komersialisasi, enggineering atau screenning, Amdal, Facility contruction, Development drilling, 10-20 tahun produksi berupa operation, pemeliharaan, up grade fasilitas dan produksi.
''KKKS Eksplorasi memiliki kegiatan eksplorasi selama 6 tahun (sejak ditandatangani kontrak) dan dapat diperpanjang untuk masa 4 tahun. Bila hingga masa 10 tahun ternyata tidak diperoleh cadangan/cadangan yang ditemukan tidak ekonomis untuk diproduksi maka resiko finansial ditanggung kontraktor.Dukungan DPRD, Pemerintah Daerah, Kepolisian, Angkatan Laut, Instansi Terkait, Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Setempat sangat diharapkan, agar proses kegiatan hulu migas dapat berjalan baik dan lancar untuk memperoleh hasil yang optimal bagi Pemerintah dan Daerah,'' papar Bahari.
Produksi Riau dan Nasionalisasi Migas
Bersamaan dengan semakin turunnya produksi Migas dunia, Indonesia, Riau khususnya juga mengalami hal serupa. Pernah berjaya dengan capaian produksi 1 miliar barel/hari, kini kisaran produksi 360 ribu barel/hari. Jumlah produksi terbesar masih dipegang lapangan minyak Duri dan Minas yang dilaksanakan ekpolrasinya oleh kontraktor PT Cevron Indonesia. Di Riau, dijelaskan Bahari, sebanyak 10 kontraktor yang tengah melaksanakan kegiatan ekplorasi yaitu PT Chevron Pacific Indonesia (Blok Siak dan Blok Rokan), BOB PT BSP-Pertamina Hulu, EMP Malacca Strait, EMP Bentu LTD, EMP Korinci Baru, PT Medco E&P Indonesia (Lirik), PT Pertamina EP Asset I Field Lirik, Petroselat LTD, PT Sarana Pembangunan Riau, PT Sumatera Persada Energi.
Sedangkan perusahaan yang melaksanakan ekplorasi PT Karya Inti Petrolium, Ranhill Pamai Taluk Energy PTE LTD, PT Northern Yamano Teknologi, Hexindo Gemilang Jaya, Puri Petroleum Resources, PAN Orient EAST Jabung, Konsorsium Texcal dan Indrillco South Lirik, Indon CBM LTD dan CBM Asia Hulu LTD.
Dari kerjasama yang sudah dilakukan, wilayah lapangan minyak Blok Siak yang dikuasai PT Chevron Pacifik Indonesia dan Lirik dikuasai PT Medco akan habis masa kontraknya. Mengemuka keinginan Provinsi Riau untuk dapat mengelola ladang minyak yang masih potensial tersebut. Apalagi mengemuka saat ini, keinginan besar Indonesia untuk menasionalisasi perusahaan Migas seperti yang diinginkan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Pengamat ekonomi Riau, Prof Dr Detri Karya berpendapat, sudah saatnya perusahaan asing kontraktor Migas diambil alih oleh perusahaan nasional atau BUMD. Kalau skala lokal Riau, ia berpedapat, sudah patut untuk mengelolanya sendiri. Persoalan jika nanti belum memiliki kesanggupan, baik dari sisi keuangan dan teknologi, katanya bisa menggandeng pihak swasta nasional. Artinya, hak pengelolaan ladang minyak diambil alih oleh Riau dan untuk kegiatan eksploitasinya tetap bisa dilakukan.
''Jika Riau mengelola ladang minyak sendiri, bukan hanya berkontribusi langsung kepada negara. Tapi akan langsung terasa bagi masyarakat Riau sendiri. Berapa banyak perputaran uang yang akan terjadi di Riau. Roda ekonomi akan berputar semakin kencang. Riau sudah lama menjadi penonton. Kalau sekarang ini regulasi sudah membolehkan Riau mengelola sendiri, kenapa tidak diberikan,'' papar Rektor Universitas Islam Riau ini.
Untuk mengambil alih kontrak ladang minyak yang sudah habis dikuasai asing, lanjut Detri, harus ada kesepahaman dan kesatupaduan masyarakat Riau. Artinya, tidak ada lagi keraguan bagi pemerintah pusat terhadap Riau jika diberikan hak mengelola ladang minyak. Jika ada kekurangan dari sisi teknologi, maka sebutnya, bisa menggandeng pihak ketiga namun hak pengelolaan tetap ada di tangan Riau. ''Harus direbut dan disuarakan oleh seluruh masyarakat Riau. Kita tunjukkan bahwa bisa,'' paparnya.
Walau begitu, Detri Karya mengingatkan Riau jangan terlalu terlena dengan sumber daya alam minyak bumi dan gas yang saat ini masih termasuk besar di Indonesia. Meningkatkan potensi sumber daya manusia masyarakat Riau, sebutnya sangat penting untuk dilakukan. Jika nanti cadangan minyak Riau benar-benar habis, SDM sudah kuat, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan akan semakin meningkat. Jika SDM meningkat, akan beriringan pula dengan peningkatan kreativitas. ''Jangan kita terlena dengan sumber daya alam yang dimiliki saat ini. Tingkat SDM dan pacu kreativitas. Bagaimanapun, Migas adalah anugerah tuhan yang terbatas sehingga bergantung kepadanya tidak akan baik,'' tuturnya.
Menanggapi kuatnya keinginan masyarakat Riau dan isu nasionalisasi Migas ini, Kepala SKK Migas Sumbagut Bahari menyampaikan bahwa kewenangan untuk mengalihkan atau tidak hak pengelolaan ladang minyak ke daerah ada di pemerintah pusat. Pemerintah, sebutnya, sebenarnya sangat berkeinginan menasionalisasi Migas. Namun masih banyak kendala yang mengganjal, terutama kesanggupan kontraktor Migas nasional dalam mengelolanya. ''Usaha Migas ini padat modal dengan resiko tinggi. Apakah kita sanggup untuk menerapkannya? Kedepan, secara berangsur-angsur, seluruh usaha Migas nasional akan dikuasai pula oleh perusahaan Migas Nasional. Sudah 50 persen lebih ladang minyak nasional saat ini dikuasai perusahaan nasional, Pertamina. Tapi untuk kegiatan penemuan ladang minyak baru, masih tergantung kepada asing. Karena mereka punya banyak modal cash,'' tutup Bahari.**