PARA PAKAR NUKLIR BICARA POTENSI PEMBANGUNAN PLTN DI INDONESIA

Di Tanah Air, Image Nuklir Masih Menyeramkan

Feature | Rabu, 13 Juni 2012 - 13:53 WIB

Di Tanah Air, Image Nuklir Masih Menyeramkan
Kepala BATAN Dr Hudi Hastowo saat di Hotel Kaiser Franz Joseph Wina, Austria pekan lalu. (Foto: Ahmad Reza Khomaini/indo pos)

Di saat sebagian negara-negara di dunia memanfaatkan tenaga nuklir untuk mengatasi krisis energi, Indonesia justru sebaliknya. Nuklir masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat tanah air. Bagaimana menyikapi kendala tersebut?

Laporan JPNN, Wina

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PEMBANGUNAN Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mulai menjamur di Eropa. Masyarakat di benua biru ini sadar akan pentingnya sumber energi alternatif yang tidak memakan banyak biaya. Nuklir adalah salah satu pilihannya. Di Eropa Barat, negara-negara seperti Belgia, Prancis, Belanda, Spanyol, Inggris Raya, dan Jerman, minimal memiliki satu PLTN.

Di Eropa Tengah dan Timur, Swiss, Slovenia, Slovakia, Ukraina, Rusia, Swedia, Finlandia, Hongaria, hingga Bulgaria juga telah membangun PLTN dengan jumlah yang beragam. Total ada 186 PLTN yang beroperasi di benua biru dengan net capacity MWe 162,317. Jumlah itu masih bisa bertambah seiring dengan adanya beberapa pembangunan PLTN yang belum rampung atau under construction

Di Asia, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Pakistan, India, Iran, dan Cina sudah melangkah dalam mengatasi krisis energi dengan mengoperasikan PLTN. Bahkan negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, juga berencana membangun PLTN. Pemerintah UEA sudah menunjukkan keinginannya tersebut dengan mengoperasikan 4 reaktor nuklir di negaranya. Semua ini dilakukan untuk satu tujuan: energi alternatif.

di sejumlah negara Eropa.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak era Presiden RI Soekarno hingga saat ini, Indonesia baru sebatas memiliki reaktor nuklir. Ada tiga lokasi yang dijadikan tempat reaktor nuklir yang kini dikelola Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan dalam pengawasan Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (Bapeten) RI. Di Jogjakarta bernama Kartini reaktor nuklir research, MPR RSG-GA Siwabessy di Serpong, Banten, dan Triga Mark III di Bandung, Jawa Barat.

Dr Hudi Hastowo, selaku Kepala BATAN mengatakan, persoalan pembangunan PLTN di Indonesia sangat bergantung kepada masyarakat. Menurut dia, masyarakat Indonesia masih melihat nuklir sebagai sesuatu yang bahaya dan tidak ada untungnya sama sekali.

‘’Kalau niat untuk membangun PLTN itu sudah sejak tahun 1972. Tapi untuk merealisasikannya tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Semua tergantung masyarakatnya. Kalau masyarakatnya sudah merasa memerlukan nuklir untuk energi listrik dan lain-lainnya, baru bisa terwujud,’’ terang Hudi kepada JPNN di distrik 19 Wina, Austria, pekan lalu.

Kenapa bergantung kepada masyarakat? Hudi menjelaskan, masyarakat Indonesia harus benar-benar ‘’jatuh’’ terlebih dahulu agar bisa tersadar akan pentingnya energi alternatif. Sejauh ini, pemikiran masyarakat terhadap nuklir selalu pragmatis. Nuklir itu berbahaya, nuklir itu menyeramkan, nuklir itu tidak menyehatkan. Nuklir adalah sebuah kata yang selalu menakutkan bagi setiap orang.

Tentu benar, jika hal ini dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada Perang Dunia II. Dua kota, Hiroshima dan Nagasaki di Jepang menjadi korban bom nuklir oleh Amerika Serikat. Sehingga sejak itu negara-negara pemenang dalam Perang Dunia II berlomba untuk mengembangkan senjata pemusnah masal tersebut sampai saat ini. Wajar, jika masyarakat dunia selalu dihantui ketakutan yang besar dengan penggunaan nuklir yang tidak untuk tujuan damai.

Lain halnya jika nuklir dimanfaatkan untuk kesehatan, baik untuk diagnosa maupun untuk pengobatan atau terapi. Masyarakat kedokteran menggunakan radioisotop Radium ini untuk pengobatan kanker, dan dikenal dengan Brakiterapi. Meskipun kemudian banyak ditemukan radioisotop yang lebih menjanjikan untuk brakiterapi, sehingga Radium sudah tidak direkomendasikan lagi untuk digunakan.

‘’Kalau masyarakat belum sadar akan hal ini, saya rasa sulit untuk membangun PLTN. Setidaknya dalam waktu 5 tahun ke depan ini tidak akan ada rencana pembangunan PLTN,’’ ucap Hudi.

Selain pemikiran masyarakat, situasi politik di tanah air juga sedikit banyak memengaruhi rencana pembangunan PLTN.

Menurut Hudi, harus ada keinginan tinggi antara pemerintah dan pihak eksekutif untuk sama-sama mengatasi krisis energi, khususnya listrik, yang saat ini terus meninggi kebutuhannya. Selain itu juga, kata Hudi, seandainya PLTN dioperasikan itu secara langsung bisa mengurangi pengeluaran sumber energi lainnya. Batubara, misalnya.

‘’Kalau mau buat PLTN yang 1.000 Mega saja bisa menghemat sekitar 3,5 juta ton batubara. Nah kalau batubaranya tidak digunakan kan bisa ada pihak yang rugi? Ini juga bisa menjadi kendala. Karena batubara kan sudah menjadi komoditi,’’ ujar Hudi.

Hudi lantas mencontohkan Austria. Negara berpenduduk 8,6 juta jiwa ini masih bisa ditutupi kebutuhan energinya. Meski bukan negara yang mengoperasikan PLTN, namun pemerintah Austria membeli suplai listriknya dari PLTN Prancis.

‘’Tidak heran kalau listrik di Austria tidak byarpet (nyala-mati). Mereka bisa membeli dari negara-negara tetangga energinya. Salah satunya dari Prancis. Austria juga membuat PLTA (pembangkit listrik tenaga angin) untuk menutupi kebutuhan energi listriknya. Tapi yang paling besar dari nuklir,’’ ucap Hudi.

Untuk saat ini, kata Hudi, lebih baik langkah untuk membangun PLTN di Indonesia dikesampingkan dahulu. Fokus utama BATAN, sesuai dengan amanat yang diberikan Presiden RI, adalah melaksanakan dan mengembangkan program FEWH (food, energy, water, and health).

‘’Kita sosialisasikan saja nuklir untuk kesehatan, pangan, dan air ke masyarakat. Biar masyarakat tidak takut dengan yang namanya nuklir. Biar masyarakat tahu manfaat dari nuklir tersebut. Soal pembangunan PLTN, biar waktu saja menjawab,’’ pesan Hudi.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook