Rekaman era kejayaan tambang batubara dan tragedi orang rantai di Sawahlunto terawat rapi hingga kini. Sebuah lubang tambang yang dinamai lubang Mbah Suro adalah sepenggal tragedi masa lampau yang masih tersisa. Misterinya pernah membuat sejumlah orang mengalami hal-hal yang aneh di dalam lubang tambang yang kini jadi objek wisata itu. Seperti apa?
Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Sawahlunto
MEMASUKI Kota Sawahlunto Sumatera Barat, dari Pekanbaru, hawa sejuk pagi hari menyapa kulit. Setelah melalui jalanan yang penuh lika-liku plus tanjakan dan turunan tajam, maka tampaklah Kota Tambang itu dikelilingi bukit yang menjulang tinggi. Kota seluas sekitar 274 Km2 ini dihuni sekitar 63 ribu penduduk. Kota ini unik, karena geografinya seperti kuali raksasa. Sebuah kota lama terletak bak di dasar kuali dan masih memelihara arsitektur Belanda abad 18.
Jika dari tengah kota kita melayangkan pandangan ke atas salah satu dari puncak bukit yang hijau ranau itu, sebuah tulisan huruf Sawahlunto dipasang di puncak bukit. Sepintas mirip tulisan Holywood yang terpahat pada sebuah bukit di wilayah pantai barat California di AS. Tepatnya di barat daya bagian barat Los Angeles. Hanya saja ukuran huruf Sawahlunto lebih kecil. Bersama 60-an orang anggota dan pengurus Asosiasi Travel and Tourism (Asita) Riau, Riau Pos berkesempatan melihat jejak kota tambang batubara itu dalam rangkaian program familiar trip Asita Riau, Sabtu-Ahad (6-7/5).
Di kota lama itu rombongan kami menginap terpencar di sejumlah wisma dan hotel. Guest House tempat saya bermalam adalah bagian dari Hotel Ombilin, dulunya rumah petinggi Belanda yang dibangun sejak 1918. Tegel keramiknya masih bagus dengan corak geometris. Kamarnya luas dengan loteng yang tinggi sehingga udara tetap sejuk. Gaya arsitektur khas Eropa itu pada bagian atap menggunakan gable dengan pentilasi yang menggunakan konstruksi rollage.
Setelah makan malam dan acara dialog dengan Pemkab Sawahlunto usai, saya dan dua teman seperjalanan sepakat jalan kaki keliling kota. Di malam hari keindahan kota lama makin eksotis. Mengingatkan saya pada Kota Malaka Malaysia yang ternyata keduanya pernah dicanangkan jadi kota kembar (twin city). Tulisan Sawahlunto memancarkan sinar listriknya dari atas perbukitan. Puluhan rumah mulai dari pinggang hingga kepala perbukitan juga memantulkan cahaya lampu warna-warni yang menarik. Jalan dalam kota amat bersih, tidak ada puntung rokok dan sampah yang dibuang sembarangan.
Fasilitas publik seperti kursi di letakkan di tempat yang memungkinkan warga untuk beristirahat sambil menikmati suasana malam. Kota ini memang unik, karena seperti kuali raksasa, jadi cukup dengan jalan kaki, kita sudah bisa keliling kota tanpa takut tersesat. Ketika itu malam minggu yang semarak. Aneka jajanan kuliner berjejer rapi di pedestrian jalan. Aroma masakan yang menggoda memancing selera makan.
Akibat Bergantung SDA
Kota Sawah Lunto adalah kota tambang yang kaya batubara sejak zaman kolonial. Seiring menipisnya persediaan batubara ditambah dengan kejadian pasca reformasi, ketergantungan daerah pada sumber daya alam itu tiba-tiba terputus. PAD Sawahlunto langsung anjlok. Akibatnya sungguh tragis. Ekonomi stagnan. “Banyak pun uang kita mau dibelanjakan di mana? Pedagang pun pada eksodus ketika itu,” kenang Kepala Dinas Pariwisata Sawah Lunto, Medi Iswandi.
Hal itu diungkapkannya dalam dialog bersama Ketua Asita Riau, Ibnu Masud, Sekretaris Muhammad Junaidi dan rombongan Asita Riau dari Pekanbaru di sela makan malam yang hangat di restoran guest house Ombilin. ”Dulu kota ini seperti kota mati,” ujarnya lagi. Lebih lanjut ia menuturkan pasca eksodus ribuan warga itu aktivitas kota 90 persen terhenti. Lepas magrib saja jalan-jalan protokol langsung kosong. Penduduk yang masih ada segera menutup rumahnya. Ruko sepanjang jalan tidak ada yang buka. Bahkan pedagang kaki lima yang biasa ramai dengan jajanan kulinernya juga seperti hilang di telan bumi.
”Suasana kota di malam hari sepi dan agak menakutkan. Tak ada aktivitas. Tak ada kendaraan yang lalu lalang. Semua orang bergegas menutup pintu dan tidur seolah mengharapkan malam segera berganti pagi,” ujarnya lagi. Berbeda dengan saat ini, di mana malamnya lebih semarak dari siang harinya. Menurutnya, pengalaman pahit ini jadi berharga. ”Bila suatu daerah tergantung pada SDA ketika SDA itu menipis atau habis maka daerah itu akan kehilangan tiang penopang ekonominya,” ujar Medi.
Bangun Pariwisata
Dalam keadaan galau itu diperlukan seorang pemimpin yang punya visi kuat membalik keadaan dari keterpurukan untuk bangkit kembali. Terpilihnya Wali Kota Amran Nur menjadi titik balik tersebut. Menurut Medi, langkah pertama dilakukan untuk mengembalikan PAD kota pasca mundurnya sektor tambang adalah investasi serius di sektor pariwisata. ”Latar belakang wali kota yang entrepreneur di Jakarta berperan banyak dalam mengubah paradigma sektor pariwisata daerah kami menjadi lebih profesional,” ujar Medi lagi.
Amran Nur bergerak cepat. Dalam delapan tahun terakhir ia berhasil menyulap “rongsokan” bekas peninggalan kota tambang menjadi museum hidup untuk wisata sejarah.
Tidak hanya fokus pada pembangunan sektor fisik, wali kota lewat Dinas Pariwisata juga merekrut SDM yang profesional. Sejumlah PNS yang bertugas di Dinas Pariwisata banyak berlatar belakang mantan owner ataupun karyawan travel. Dengan bekal pengalamannya mereka terbiasa membuat event-event besar yang mampu mendatangkan wisatawan dalam dan luar negeri. Satu di antara event menarik berupa kegiatan seni dan budaya yang diberi nama Sawahlunto Multicultural Festival.
Dalam event itu digelar beberapa kegiatan. Satu di antaranya adalah Sawahlunto Internasional Music Festival (Simfes). Kegiatan tersebut berupa pertunjukan musik etnik dari berbagai negara dan menarik pengunjung dari dalam dan luar negeri.
Terobosan-terobosan itu akhirnya menuai hasil. Kini sektor pariwisata memegang peranan penting sebagai primadona sumber pendapatan dan aktivitas perekonomian masyarakat. Sektor pariwisata yang dikembangkan secara serius oleh pemerintah Sawahlunto tersebut menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) lebih dari Rp6 miliar per tahun. Pendapatan tersebut memberi andil menurunkan angka kemiskinan, bahkan angka kemiskinan di Sawahlunto hanya 2,42 persen atau terendah kedua di Indonesia.
”Tujuan kita kemari memang dalam rangka banchmarking (pembanding, red) pengembangan pariwisata di tempat kita,” ujar Ketua Asita Riau, Ibnu Mas’ud. Menurutnya sektor pariwisata bila dikelola secara serius baik dari segi fisik maupun SDM ternyata mampu menjadi pilar ekonomi yang menguntungkan. ”Pengalaman dan masukan dari fam trip kita kali ini di Sawahlunto akan kita bagi dengan stakeholder pariwisata di Riau nantinya,” ujar Ibnu lagi.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada kesamaan Kota Sawahlunto dan Riau dalam hal ketergantungan akan sumber daya alam. ”Lewat fam trip ini kita ingin agar pikiran kita terbuka dalam menyiapkan langkah-langkah ke depan bila suatu saat nanti sumber migas kita tidak lagi dapat jadi andalan daerah,” ujarnya.
Jelajah Wisata
Kami diberi kesempatan Dinas Pariwisata kota untuk menjelajah objek wisata di kota tambang tersebut. Satu di antaranya mengunjungi resor wisata Kandi. Dengan areal hampir 400 hektare hanya berjarak 12 Km sebelah utara dari pusat kota lama.
Di dalam resor Kandi ini dibangun Taman Satwa Kandi (TSK) dengan luas sekitar 5 hektare. Taman satwa, danau wisata, out bond dan arena permainan anak dihadirkan dalam satu paket. Wisata air yang dapat dinikmati di danau wisata antara lain kereta air, banana boat, single-double kayak dan speed boat. Yang tak kalah menarik saat kami mengunjungi desa wisata Rantih. Di desa ini kami dijamu dengan makan bajamba di tengah sawah yang telah dipanen. Duduk bersila di bawah dangau beratap terpal biru, makan bajamba sungguh nikmat.
Lubang Mbah Suro
Yang paling seru saat jelajah wisata tambang. Salah satu peninggalan Belanda yang sekitar empat tahun lalu ditemukan dan langsung dibenahi demi meningkatkan wisata bekas kota tambang ini tak lain adalah Lubang Mbah Soero atau Lubang Mbah Suro. Sosok Mbah Suro kala itu dikenal sebagai mandor orang rantai. Beliau dari Jawa juga dikenal memiliki ilmu kanuragan dan kebathinan yang tinggi. Ia jadi panutan warga ketika itu. Tempat ini, sesuai namanya, tak lain adalah lubang bekas tambang batubara. Lubang ini merupakan lubang utama bekas tambang batubara yang ada di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.
Lebar lubang tambang ini dua meter dan ketinggiannya dua meter. Dulu lorong ini untuk mengangkut batubara dari lokasi penambangan di bawah Kota Sawahlunto. Lorong ini bahkan bisa tembus hingga Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang kini menjadi Masjid Raya yang berjarak 900 meter, namun baru dipugar 186 meter dengan kedalaman 15 meter dari permukaan tanah. Di sinilah berbagai tahanan Belanda dari seluruh nusantara dikerja paksakan yang terkenal dengan sebutan orang rantai. Mereka adalah ribuan pekerja yang didatangkan dari Jawa dan daerah lainnya.
Juru kunci lubang Mbah Suro bernama Wilison. Akrab dipanggil Pak Win. Pak Win, penjaga tempat ini dulunya supir truk pengangkut batubara di PTBA UPO dan terkena pensiun dini. Ia memimpin proyek pembukaan lubang tambang dan akhirnya menjadi ‘juru kunci’. “Jaga nawaitu (niat, red) kita. Anggaplah datang ke rumah kakek-nenek kita dan ucapkanlah salam,” ujarnya saat memandu kami yang akan masuk ke dalam. “Jangan takabur dan ada niat macam-macam,” ujarnya memberi peringatan.
Memasuki lubang Mbah Suro auranya memang beda. Bulu kuduk sempat meremang. Melangkah ke dalam seolah memasuki lorong waktu seperti di film The Time Tunnel yang melemparkan kita ke sepenggal tragedi orang rantai di masa lalu. Apalagi lubang tersebut telah ditutup Belanda sejak tahun 1932. Saat ditemukan 2007 akhir lubang ini penuh berisi air. Setelah dikeringkan amanat dari bagian purbakala RI tidak boleh dipugar kecuali yang mengalami rusak. Jadi yang kita lihat adalah benar-benar masih aslinya. Bahkan batubata yang digunakan sejak tahun 1898 terlihat masih utuh. Tidak rusak meskipun lubang itu pernah direndam air cukup lama.
Suasana dalam lubang tambang yang lembab dan basah oleh air yang mengalir menambah suasana magis. “Di sinilah asal mula sejarah orang rantai. Mereka adalah nenek moyang, datuk-datuk kita yang didatangkan kerja paksa ke mari,” ujarnya. Mereka, lanjutnya, terdiri dari beragam etnis mulai dari Jawa, Minang, Bugis, Cina, Ambon, Manado pun ada. Makin ke dalam makin terlihat panjangnya lubang tambang itu. Dinding lubang tambang itu seluruhnya batubara yang masih utuh dengan kalori 6.000-7.000.
Sejumlah pengunjung pernah mengalami kejadian aneh di dalam lubang tambang tersebut. Menurut penuturan pak Win, pernah belum lama ini sejumlah anak IAIN Padang KKN di daerah ini. Dalam sebuah kesempatan mereka masuk lubang ini ingin melihat-lihat dipandu pak Win. Sedang asyik menjelaskan bagian-bagian tertentu dari lubang tersebut tiba-tiba seorang siswa meledak tangisnya. Tak bisa dihentikan. Akhirnya diputuskan dibawa segera keluar dari lubang tambang tersebut.
Di luar lubang tambang tangisnya tidak juga reda. Setelah seorang ulama setempat membasuhkan air putih di kepalanya tak lama kemudian mahasiswi itu sadar. Setelah ditanya, siswi itu terdiam sejenak. Wajahnya masih tegang. Akhirnya ia menceritakan bahwa dirinya seperti melihat ratusan orang rantai dengan pandangan memelas kepada dirinya. ”Mereka hanya menggunakan cawat (celana pendek seadanya, red) tanpa baju dengan tatapan kosong. Kasihan sekali,” ujar siswi itu seperti dikutip pak Win.
Di lain waktu, seorang pengunjung tanpa etika, menurut pak Win, yang asyik bersenda gurau saat menyisir lubang tambang itu juga mengalami kejadian aneh. Di pintu keluar tiba-tiba merasa ditarik oleh sesuatu hingga tak bisa keluar. Ia bertahan dengan memegang pegangan tangga keluar. Setelah didoakan akhirnya tarikan itu baru lepas. Tepat di sebuah lekukan lubang dalam goa pak Win bercerita. ”Ini bagian yang unik dalam goa tambang ini. Kadang-kadang kita berbincang tanpa sadar berbahasa Jawa. Kadang-kadang terdengar instrumen kuda lumping, ada gamelan, klenongan. Saya pribadi sudah mengalami beberapa kali. Ini rumah bukan sembarang rumah,” ujarnya. Orang rantai memang sebuah tragedi kemanusiaan. Nisan mereka tak bernama, hanya nomor register mereka dulu di penjara. Misteri lubang tambang Mbah Suro di sisi lain jadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan***