CATATAN AKHIR PEKAN

Tersesat di Jalan yang Terang

Feature | Minggu, 13 Maret 2016 - 11:38 WIB

Tersesat di Jalan yang Terang
HELFIZON ASSYAFEI

BAGIKAN



BACA JUGA


Sebuah diskusi ‘bergizi’ ditaja di ruang redaksi Riau Pos, Sabtu (12/3). Diskusi yang ditaja Lembaga Pengkajian Islam dan Peradaban (LPIP) itu menghadirkan sederetan professor, doktor, master, tokoh masyarakat, peneliti dan mahasiswa. Diskusi bertajuk awas aliran sesat yang dibawakan Dr Iskandar Arnel yang diinisiasi oleh Prof Dr Alaidin Koto itu berlangsung hangat.

Ketika pakar psikologi UIN, Dr Harmaini diberi kesempatan menanggapi makalah pemateri. “Saya tersesat di jalan yang terang,” ujarnya berseloroh disambut gerr oleh hadirin. Sebab, lanjutnya, ia menyangka hanya diskusi biasa tetapi justru yang hadir di majelis itu sarat dengan pakar berbagai bidang tersebut. Secara sederhana Dr Harmaini menilai berkembangnya aliran sesat itu karena pengikutnya minimal memiliki tiga kecenderungan menurut tinjauan psikologis.

Pertama, frustasi yakni menginginkan sesuatu tetapi tidak kunjung mendapatkannya. Kedua, stres suatu tekanan psikologis karena kehilangan sesuatu yang telah didapatkan. Ketiga, depresi tekanan psikologis terus menerus tanpa jeda dan tak bisa diatasi sendiri oleh penderita. Nah, kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh para petualang untuk memanfaatkan mereka entah dalam sebuah organisasi sosial  seperti Gafatar ataupun aksi teror.

Diskusinya masih panjang. Tapi yang menarik bagi saya adalah frasa kata tersesat di jalan yang terang itu tadi. Normalnya orang yang tersesat tentu kehilangan arah yang akan dituju. Tapi jika dia tahu dia tersesat di jalan yang terang artinya dia tahu dia sebenarnya tidak tersesat tetapi justru mencapai tempat tujuan yang lebih baik.

Tentu yang berbahaya adalah ketika setiap orang yang tersesat kemudian merasa tersesat di jalan yang terang. Faktanya memang seperti ini. Jika ditanya eks Gafatar mereka merasa tidak sesat. Begitu juga para teroris yang berhasil ditahan polisi misalnya tidak semua merasa tersesat meski mereka harus dihadapkan di depan regu tembak.

Puncak dari diskusi itu sebenarnya bagaimana menyadarkan orang yang tersesat bahwa dia benar-benar tersesat dan bukan tersesat di jalan yang terang. Ternyata memang tidak mudah. Pasalnya, ada faktor tak kasat mata (iblis) yang bermain dalam hal ini.  Hal ini diungkap oleh Rony Candra seorang penliti aliran sesat di Riau. Mengutip Quran  yang artinya; mereka menjadikan syetan-syetan sebagai pelindung selain Allah. Mereka mengira mereka mendapat petunjuk. (Al A’raf 30).

Jadi orang sesat itu seperti orang mabuk yang tak sadar bahwa dia mabuk. Di dalam kesesatannya itulah justru ia merasa di atas jalan petunjuk. Itu sebabnya, kata Rony, aliran sesat itu terus ada tidak habis-habisnya. Maka untuk tahu apakah kita ini ada dalam kesesatan atau tidak, kita harus memiliki pedoman standar yakni Alquran dan Sunnah dalam Islam.

Meski standarnya ada tetapi cara pandang terhadap standar itu juga bisa melahirkan perbedaan-perbedaan penafsiran. Di situlah peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi yang terdepan menyelesaikan munculnya perbedaan pandangan yang tidak sampai pada perpecahan. Ketua Fatwa MUI Riau, Dr Mustofa Umar telah coba melakukannya. Hasilnya, ia malah diancam bunuh oleh mereka yang senang dengan perpecahan. Astaghfirullah.

HELFIZON ASSYAFEI, (Pemred Xpresi Megazine)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook