Sekilas orang mungkin akan berpikiran bahwa Infinite Framework Studio (IFS) yang telah banyak melahirkan film animasi dan live-shoot berkelas internasional ini adalah milik orang asing. Namun siapa sangka pemiliknya adalah warga negara indonesia, Mike Wiluan, putra dari pengusaha yang sukses bergerak di bidang minyak, kimia, dan makanan.
FENNY AMBARATIH, Batam
Mike memakai baju batik berwarna merah gelap saat ia memasuki ruangan. Wajahnya yang terlihat letih tetap memberikan senyuman tipis. Hari itu ia memang terlihat super sibuk. Hajatan yang baru saja digelarnya telah menguras energinya.
Tidak sia-sia, "studio touring" yang ia lakukan menuai decak kagum para tamu. Tak tangugung-tanggung, yang berkunjung adalah Simon Crean, Menteri Kesenian Australia, dan Mari E Pangestu Menteri Pariwisata dan Perekonomian Kreatif serta kolega-kolega bisnis lainnya.
Pria bermata sipit ini memang memiliki bisnis usaha unik yang belum pernah ada di Indonesia. Memiliki passion terhadap seni kreatif yang tinggi, ia mungkin saja dianggap "gila" oleh pengusaha lainnya karena investasi yang ia tanam tidak main-main. "Usaha ini memang berbeda dengan yang lain, bisa dibilang, ini adalah "pabrik mimpi" karena yang kita olah bukan sesuatu yang memiliki wujud," ujarnya dengan serius.
Awalnya, Mike membangun Infinite Framework Studio (IFW) dari sebuah rumah produksi yang berbasis di Singapura. Rumah produksi ini mengerjakan pos produksi untuk visual efek iklan TV, film, serial TV, film dokumenter dan animasi. Namun karena ongkos produksi untuk sebuah film sangat mahal, maka terpikirkan olehnya untuk membuat sebuah studio film yang bisa dipakai berkali-kali.
"Cost produksi film di Singapura sangat mahal, sedangkan jika dibuat di Indonesia akan jauh lebih murah," tuturnya. Ia pun menjadikan lahan 10 hektare di kawasan Hang Lekiu, Nongsa Batam untuk dijadikan studio film terlengkap. Dengan pertimbangan investasi jangka panjang, ia pun mengeluarkan modal yang tidak sedikit.
Tidak hanya segi biaya produksi yang menjadi pertimbangannya, demi mencari sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, Mike melakukan usaha ekstra. Akhirnya pria yang berlatar pendidikan di film production di London ini merekrut para kawakan animator yang telah punya nama, salah satunya adalah Daniel Haryanto. Daniel dan kawan-kawan pun dimintanya untuk mengkoordinir studio di Batam ini.
Film Sing to The Dawn (animasi) dan Dead Mine (live shoot) adalah jebolah IFW yang berhasil menarik para investor asing. Bermula dari film-film itulah Mike akhirnya bisa memikat banyak pihak untuk menaruh kepercayaan dalam pengerjaan proyek di studionya.
"Semua ini bermodalkan trust, orang luar yang tadinya tidak percaya bahwa Indonesia bisa bikin film bagus, akhirnya tertarik dengan kualitas film-film kami," imbuhnya.
Passion atau gairah akan suatu nilai kreatifitas memang tidak murah. Itulah yang dirasakan oleh Mike. Meskipun studio tersebut telah mengeluarkan banyak produk-produk yang sempat mengguncang dunia perfilman, bisnisnya bahkan belum meraih Break Event Point (BEP), alias balik modal.
"Feed back yang saya dapatkan mungkin belum seberapa. Namun usaha ini telah memiliki brand, dan orang telah percaya dengan kualitas kami," ujarnya dengan optimis.
Menurutnya IFW kini telah menjadi salah satu target tempat mengembangkan TV content dari banyak pihak luar. Serangoon Road adalah salah satu contohnya.
Serangoon Road adalah drama serial yang kini tengah dikerjakan di IFW. Film yang berlatar belakang Singapura pada tahun 1960-an ini adalah proyek pertama HBO dalam pembuatan film drama seri. Film ini memiliki 10 episode. Dalam pengerjaannya, IFW juga menggandeng kerjasama dengan ABC TV, Screen West, Singapore"s Media Development Authority.
Konon, lembaga pemerintah australia, Export Finance and Insurance Corporation (EFIC) telah mengucurkan dana sekitar 682 ribu dolar Australia atau Rp7 miliar untuk pembuatan film ini.
"Saya sangat senang dengan kolaborasi antara Indonesia dengan Australia, studio ini memang mengagumkan," ujar Simon Crean.***