DENDAM KEMISKINAN OMBAK SEKANAK (2-HABIS)

Menangis saat Makan Nasi Bungkus

Feature | Sabtu, 12 Oktober 2013 - 08:34 WIB

Oleh: Oktavio Bintana

Saya dipercaya teman-teman sebagai Ketua Umum Gerakan Sejuta Melayu (GSM). Sementara Alfan Suheiri sebagai Ketua Harian dan Muhammad Natsir Tahar sebagai Sekretaris.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kepercayaan ini merupakan tanggung jawab moral yang harus dituntaskan demi terwujudnya cita-cita organisasi dan masyarakat Kepulauan Riau (Kepri).

Walaupun dalam perjalanan pembentukan pondasi GSM memerlukan waktu yang panjang dan penuh lika-liku, namun itu bukan halangan. Dan tentu saja tak membuat kami menyerah.

Cibiran berbau pesimis kami hadapi dengan semangat. Itu kami jadikan cambuk untuk sampai pada titik awal memulai perjuangan ini. Namun demikian, sebagai manusia normal, saya juga merasa miris.

Ketika tengah sibuk-sibuknya membangun kekuatan, muncul beberapa pemikiran melemahkan dari kawan-kawan yang bergabung.

Seharusnya, dengan menamakan diri sebagai organisasi Melayu, semua harus berani berkorban. Sebab, gerakan ini bukan semata euforia, namun demi masa depan dan warisan sejarah.

Beberapa di antaranya, jangankan menyumbang jiwa raga, menyumbang untuk bayar MC acara deklarasi saja tidak mau.

Ada juga kawan yang sebelum deklarasi berakhir sudah memburu untuk membayar tranportasi massa. Mengalami itu semua, saat makan nasi bungkus saya menangis.

Bagaimana kita ingin mengubah ekonomi Melayu jika semuanya diukur dan harus mendapat imbalan. Namun sudahlah, itu masalah mental dan mungkin hanya segelintir saja yang bersikap seperti itu. Saya yakin, di luar itu masih banyak yang mau berkorban demi masa depan.

Kini, syukur alhamdulillah. Pondasi Gerakan Sejuta Melayu sudah dibangun sebagaimana harapan sang pencetus, Rida K Liamsi.

Ditandai dukungan penuh dari berbagai unsur masyarakat Kepri. Tapi ini baru pondasi. Apakah kita ingin membangun suatu rumah cukup dengan pondasi saja? Tentu tidak.

Beberapa perangkat lainnya juga harus kita bangun dan menjadi tempat bernaung bagi putra-putri terbaik Kepri untuk berbuat.

Semuanya itu tidak segampang seperti membalikkan telapak tangan, serta tidak sedikit biayanya. Namun jika semuanya dilakukan dengan rasa ikhlas dan tulus, saya yakin pondasi Gerakan Sejuta Melayu akan menjadi lokomotif penggerak perubahan.

GSM Harus Menembus Mitos

Mitos. Sebuah kata tidak asing kita dengar yang dapat diartikan sesuatu yang mustahil tercapai atau terjadi. Perlu perjuangan dan konsistensi untuk menjadikannya nyata. Namun, bagi seorang Rida K Liamsi, mitos bukanlah sesuatu yang mustahil. Bersama rekan-rekannya ia berjuang menembus mitos itu.

Dimulai dari mimpi bagaimana Riau harus mempunyai koran harian. Selama lima tahun berjuang —yang tentu saja penuh cobaan, tantangan dan halangan— akhirnya apa yang diimpikan itu menjadi kenyataan sebagaimana kita saksikan hari ini, dengan nama Harian Pagi Riau Pos.

Riau Pos yang dibangun dengan penuh pengorbanan ikhlas itu terus bertahan sampai detik ini dan semakin tumbuh besar.

Mitos yang ditembus Rida K Liamsi dan rekan-rekan bukan hanya di Riau. Sayap-sayap dilebarkan pula di Medan (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Batam (Kepulauan Riau) dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAS). Di Kepri, sampai detik ini sudah belasan anak perusahaan yang tumbuh melalui Batam Pos Group. Bermula dari Riau Pos, jaringan media yang dibangun Rida K Liamsi menjadi sangat terkenal di Sumatera.

Saya teringat saat masih kelas tiga SMP. Waktu itu saya harus pindah ke Pekanbaru mengikuti Ayah, panggilan saya kepada Pak Rida K Liamsi.

Saya pindah karena pihak sekolah angkat tangan atas kebandelan saya. Kepindahan ini merupakan yang pertama sebelum semua keluarga pindah ke Pekanbaru. Saya melihat sendiri bagaimana seorang Rida K Liamsi berjuang di kantor. Di lantai dua yang sempit daerah Pasar Pusat Pekanbaru, ia fokus mengembangkan Riau Pos.

Lalu pindah ke Jalan Cempaka yang dahulunya dikenal dengan Pasar Kodim dan pindah lagi ke Jalan Kuantan, satu gedung dengan percetakan. Hingga akhirnya membangun sebuah gedung megah di jalan lintas Pekanbaru-Bangkinang KM 10,5, kini bernama Jalan HR Soebrantas.

Dari semua perjuangan yang beliau lalui, timbul pertanyaan. Apakah Gerakan Sejuta Melayu (GSM) tidak bisa mengembangkan diri menjadi suatu holding yang fokus di bidang ekonomi dan pada akhirnya bermuara mengubah kehidupan masyarakat Melayu di Kepri?

Saya meyakinkan diri, kita harus bisa. Walaupun tidak sehebat Riau Pos Group, namun sekurang-kurangya kita bisa berbuat lebih untuk masyarakat Kepri.

Perjuangan beliau dapat kita tarik menjadi spirit untuk mencapai cita-cita yang telah kita sepakati bersama demi kemajuan Melayu. Ada satu puisi beliau yang menurut saya sangat inspiratif bagi perjuangan yang kita lakukan. Saya kutip utuh semoga dapat kita resapi menjadi jalan menuju harapan.

TANGAN

(Kepada Melayu)

Jangan bilang punya tangan

Kalau cuma bisa tadah

cuma bisa garuk

cuma bisa raba

cuma bisa kocok

Sebab tangan barulah Tangan

kalau bisa jadi TANGAN

bisa tangkap

bisa tepis

bisa sepak

bisa tumbuk

bisa tampar

Sebab Tangan barulah Tangan

Kalau tidak jadi t-a-n-g-a-n

Sebab tangan barulah tangan

Kalau malu pada Tuhan

Sebab Tuhan tak tegah

Tangan jadi parang asal tak sembarang tetak

jadi pedang asal tak sembarang tikam

jadi besi asal tak sembarang keras

Sebab Tuhan sudah Phuah!

Sebab Tuhan sudah bilang Nah!

Sebab Tangan adalah Anugerah

Maka jangan sembarang Ah!

Melayu harus bangun. Jangan lagi mau ditidur-tidurkan. Jangan terlena dengan mimpi-mimpi semu. Saatnya buka mata dan melihat apa yang terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Mari Bersatu menjadi tuan di negeri sendiri. Lewat GSM, mari kita terjemahkan dengan cara kita, cara budak Melayu menjadi bagian terhadap azzam Hang Tuah, ‘’Tak Melayu Hilang di Bumi’’. Semoga. Amin.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook