Laporan Raja Isyam Azwar, Kuala Patah Parang
Patah Parang
Secorak dengan kantong-kantong Komunitas Adat Terpencil Suku Duanu lainnya, di Patah Parang, Orang Duanu juga hidup miskin dan masih banyak yang tak berpendidikan. Sedikitnya ada sekitar 175 KK orang Duanu yang hidup di sini. Mayoritas mereka juga adalah nelayan tradisional dengan cara menongkah kerang. ‘’Dapat disebut, seratus persen mereka mencari nafkah dengan menongkah,’’ ujar Kepala Desa Patah Parang Azhari HS.
Namun begitu, tak semua Duanu di sini tenggelam dalam kemiskinan. Marcu (45), misalnya. Tokoh Duanu Patah Parang yang memiliki 5 anak ini sudah cukup berhasil. Dua anaknya, Aswaldi dan Nur, kuliah di STAI Tembilahan.
Lelaki bertubuh sedang ini mengaku, ia bukan hanya bekerja dengan menongkah, melainkan juga berperan sebagai tauke dari 20-an penongkah Duanu lainnya. Secara ekonomi, dengan memiliki sebuah pompong bermesin ‘’dumpeng’’, nasib Marcu memang lebih baik dari warga Duanu lain. Dengan menjadi penampung kerang, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. ‘’Anak saya sekolah semua. Meski kami orang susah, tapi harus sekolah macam orang Melayu,’’ katanya saat ditemui di rumahnya.
Yang menarik, seperti beberapa orang Duanu di Kuala Selat, keberhasilan ekonomi Marcu ternyata karena ia juga berkebun di sela-sela aktivitas melautnya. Kini ia memiliki 4 hektare kebun kelapa, yang juga ditanaminya dengan pisang dan tanaman muda lainnya. ‘’Masa hanya orang Bugis dan orang Melayu yang bisa berhasil berkebun. Kita orang Duanu, mestilah bisa juga. Apalagi, saat sudah tua, tak mungkin lagi bisa ke laut terus,’’ ujar lelaki yang mengaku mendapatkan penghasilan Rp700 ribu per dua pekan, hasil dari memanen pisang dari kebunnya itu.
Kesadaran memperbaiki ekonomi keluarga dengan beralih ke darat ini bukan hanya terjadi pada diri Marcu. Warga Patah Parang lain, Leman (55) dan istrinya, Nurimah (50) juga telah beralih orientasi. Kamis petang (31/7/12), sekitar pukul 18.00 WIB, saat pulang berladang --usai memanen kacang panjang dan cabai di kebun yang berjarak sekitar 1 Km dari pemukiman mereka—, Leman dan Nurimah yang lelah dan basah oleh peluh, tetap ramah dan tersenyum.
Tak lama kemudian, kisah tentang peralihan kebiasaan orang laut, menjadi orang ‘’darat’’ pun mengalir lancar dari mulut Nur. Leman sengaja menunjuk istrinya menjadi juru cerita. Ia lebih memilih mendengar dan memperhatikan. ‘’Dia tak ada bakat kerja di laut. Bahkan, waktu dulu menjaring, hasilnya sering tak cukup untuk kami anak-beranak. Tak bisa beli cukup beras,’’ jawab Nur, memandang sang suami.
Tersebab rezeki bergantung pada laut teramat sulit, apalagi untuk membesarkan dan menyekolahkan kelima anak mereka, akhirnya Leman dan Nur bertekad mencari jalan berbeda. Jalan yang sama sekali berbeda dari kebiasaan turun-temurun orang-orang kuala yang telah bersebati hidup dengan laut.
Apalagi ketika anak pertama dan kedua mereka meninggal karena sakit, tekad untuk memperbaiki ekonomi keluarga pun makin kuat. Laut dan gelombang pun mereka tinggalkan. ‘’Tak ingat bila mulainya, yang jelas Abang lalu berdagang ikan kering (ikan asin, red), berbelok ke Tembilahan dan Tanjungbatu. Berbekal pinjaman Rp10 juta dari BNI 46 di Kuala Enok, kami mulai mencari rezeki sedikit-demi sedikit,’’ kata Nur.
Meski peruntungannya tak terlalu bersinar, lambat laut Leman dan Nur sudah bisa mengangsur pinjaman untuk menebus surat tanah yang tergadai. Lalu, sedikit demi sedikit, tahun demi tahun, ujung peruntungan, mereka tabung untuk cita-cita yang lebih besar, punya kebun.
Mengapa ingin punya kebun? ‘’Kami tengok orang berhasil dengan berkebun. Hidup lebih baik. Kenapa kami tidak? Itu sebabnya, kami ikut membeli kebun 4 hektare ini. Akan kami tanam kelapa nantinya. Tapi, sekarang belum ada duit membeli bibit, jadi kami tanam dengan tumbuhan muda,’’ ujar Nur.
Nur memandang sayur-mayur yang baru mereka panen yang diletak di lantai rumah beralaskan karung plastik. ‘’Besok baru dijual. Hasilnya memang tak banyak, tapi cukuplah untuk mengangsur membeli anak pisang dan bibit pinang,’’ suaranya ringan.
Boleh minta nomor hape (handphone), mana tahu nanti ada hal-hal yang ingin ditanyakan Bu? Nur malah tertawa lepas. ‘’Manalah ada hape Pak. Kalau beli hape, tak dapat pulak beli anak pisang dan bibit pinang. Kalau nak telepon, lewat Pak Wali (Kades) sajalah,’’ ujarnya ringan sambil memandang ke Kades Patah Parang Azhari HS.
Di kawasan Kuala Patah Parang, meski tradisi Duanu tetaplah pada laut, namun jumlah yang berkeinginan untuk mengubah nasib dengan berkebun, semakin bertambah. Selain Marcu dan Nur, masih ada lagi Nusi, Sinar, Budi, Masdar dan Seman. Meski tetap menongkah, membelat dan menjaring untuk menafkahi hidup, mereka juga kini sudah berkebun kelapa dan pisang. Rata-rata 4 hektare.
Sinergis dan Khusus
Dari 4 desa yang ditelusuri Riau Pos di 4 kecamatan berbeda di Kabupaten Indragiri Hilir, secara umum, Orang Duanu yang masih tertinggal dan miskin itu, memang bergantung hidup pada laut. Hanya sebagian kecil keluarga yang berhasil keluar dari problem klasik kemiskinan turun-temurun ke anak cucu itu. Rata-rata, yang berhasil hidup lebih baik dari kerabatnya itu, adalah karena tingkat pendidikan dan akulturasi budaya.
‘’Memang, ada berubah nasib dengan berkebun, tapi rata-rata mereka bukan lagi asli Duanu, tapi sudah berbancuh dengan suku lain melalui perkawinan. Ada pula yang berubah nasib karena keterampilan dan memiliki skil, menjadi tukang perahu dan kapal. Ada pula yang keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya karena berpendidikan lebih baik. Tapi, jumlahnya masih sangat kecil. Sebagian besar Orang Duanu, justru masih miskin, tertinggal, tak berpendidikan dan terjebak dalam budaya hidup konsumtif, tak punya rencana masa depan. Kemiskinan kami Orang Duanu, telah diwariskan turun-temurun,’’ ujar Ketua Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Duanu (KKBMD) Provinsi Riau, Sarpan Firmansyah SPi di Desa Tanah Merah, Kuala Enok, Rabu (1/8/12) lalu.
Dijelaskan Sarpan, beberapa Orang Duanu telah berhasil mencapai pendidikan level master (S2) seperti Haryono (dosen Universitas Riau), Suhaimi SH MH (dosen Universitas Islam Indragiri), Harmawi SAg MM (KPUD Inhil) dan Dani Sartika (Kepala SMK di Kuala Selat). Selain itu, selain dirinya, ada enam Duanu lain yang berpendidikan sarjana. ‘’Tapi, keberadaan kami tidak memberi pengaruh yang kentara bagi Duanu lain,’’ ujar Sarpan.
Populasi Duanu yang terus bertambah, berbanding terbalik dengan daya dukung alam yang terus tergerus akibat tingginya aktivitasi eksploitasi laut. Tingginya kerusakan habitat yang disebabkan pengambilan ikan yang berlebihan yang terus menerus dari nelayan tangkap modern –trol dan pukat—, membuat nelayan Duanu yang masih tradisional, semakin terjepit.
Kini, sedikitnya ada 10 ribu populasi Orang Duanu yang tersebar di 7 kecamatan dan 13 desa di Indragiri Hilir yakni Kuala Selat, Concong Luar, Sungai Belah, Tanjung Kusir, Belaras, Bekawan, Tanah Merah, Patah Parang, Pulau Ruku, Perigi Raja dan Panglima Raja.
‘’Problem kami Orang Duanu adalah semakin turunnya daya dukung pantai dan laut. Pantai lumpur tempat kerang dan udang bersarang dan berkembang biak, semakin lama semakin rusak. Jumlah tangkapan semakin turun. Sementara, jumlah Duanu yang bergantung hidup sebagai nelayan tradisional semakin bertambah. Apalagi, bantuan yang diberi pemerintah selama ini belum mampu membantu kerabat kami keluar dari kemiskinan dan ketertinggalan,’’ ujar Sarpan.
Memang, pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos) RI, sudah merespon problem ketertinggalan Orang Duanu. Bahkan Direktur Pemberdayaan KAT Kemensos, Hartati Solehah, Rabu (25/7/12) lalu, menjelaskan selain bantuan perumahan dan bahan konsumsi yang sudah diberikan, Suku Duanu masih tetap berpeluang menerima bantuan dari Kemensos melalui Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan. ‘’Kepala Desa, Dinas Sosial Kabupaten dan Provinsi tinggal mengajukan proposal,’’ ujarnya.
Hartati bahkan menekankan, persoalan Suku Duanu dan KAT lainnya, bukan semata-mata tugas Kemensos. Daerah memiliki keterkaitan erat dan diwajibkan memiliki program yang berkesinambungan agar KAT dapat terbebas dari problem keterasingan di segala aspek kehidupannya. ‘’Akar persoalannya adalah keterisoliran, ketertinggalan pendidikan dan kesehatan. Jadi, harus semua pihak terlibat,’’ ujarnya sambil mengatakan bahwa direktorat yang dipimpinnya dihadapkan pada keterbatasan anggaran sehingga program bantuan KAT untuk Inhil, sudah dianggap selesai dan dihentikan pada tahun 2012 ini.
Dinas Sosial Provinsi Riau pula, seperti yang dijelaskan Kasi Pemberdayaan Fakir Miskin dan KAT Deli Darmawan, masih berorientasi pada program pemberdayaan, seperti yang diarahkan pemerintah pusat. Ironisnya, meski mengiyakan bahwa pemberdayaan Duanu harus dilakukan secara serius, tapi Deli mengakui bahwa tahun 2012 ini justru bantuan kepada Orang Duanu justru tak ada dianggarkan, baik untuk pemukiman, sarana maupun prasarana lain.
Begitu pula dengan Pemkab Inhil, tak memiliki program khusus bagi populasi Duanu ini, baik itu program pemberdayaan, budi daya maupun program proteksi terhadap ekosistem laut di sepanjang pesisir pantai Indragiri Hilir itu. Meski Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Inhil Ir Saripek menyatakan ia sangat setuju dengan program perlindungan wilayah pesisir pantai dan budi daya kerang bagi para penongkah Suku Duanu, namun itu baru sebatas wacana.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, seperti yang diakui Kepala Dinasnya, Prof Dr Irwan Effendi MSc juga senada. Hingga kini, program budi daya dan proteksi ekosistem pantai baru sebatas wacana. Meski pernah melakukan uji coba budi daya bibit kerang untuk ditabur di habitatnya, namun uji coba itu gagal dan tak dilanjutkan. ‘’Perlu dibuat petak-petak dari besi dan biayanya sangat mahal. Ini tidak seimbang dengan hasil yang didapat, dibanding besarnya biaya untuk membuat petakan budi daya kerang itu,’’ katanya.
Sementara itu, ditanya tentang masalah ini, Dr Agusnimar, Direktur Lembaga Penelitian (LP) Universitas Islam Riau (UIR), mengatakan apa yang sudah dilakukan pemerintah masih jauh dari ideal. Problem Duanu harus diberantas melalui program yang tersinergi antara pusat, provinsi dan kabupaten. ‘’Kontinuitasnya juga harus dijamin,’’ ujar Agusnimar.
Program bantuan perumahan yang diberi pemerintah pusat selama ini, menurut Agusnimar tidak tepat. Pasalnya, bantuan perumahan itu terkesan sangat konsumtif sebab tak disinergikan dengan program lain yang lebih mendidik, sehingga masyarakat Duanu tetap tak bisa berpikir lebih produktif. ‘’Bahkan, memberi bantuan alat tangkap pun kurang produktif di tengah kondisi perairan kita yang over fishing saat ini,’’ ujarnya.
Khusus Duanu yang sangat bergantung hidup pada perairan pantai menggunakan alat tangkap yang sangat tradisional dan sederhana, pemerintah harus melakukan kebijakan proteksi terhadap wilayah pantai dan laut tempat mereka bergantung hidup melalui peraturan daerah, lalu melakukan budidaya –khususnya kerang sebagai mata pencarian paling utama di pantai-pantai mereka, serta meningkatkan kemampuan dan ketrampilan lain.
‘’Tapi, program itu harus dilakukan secara khusus melalui pendampingan yang kontinu. Saya tekankan, harus melalui sebuah mekanisme pendampingan. Ini penting, sehingga terjadi transfer teknologi dan pengetahuan. Sehingga, mereka benar-benar bisa ditular dengan ketrampilan lain sebagai mata pencarian alternatif. Termasuk berkebun, bisa dilakukan di sela-sela waktu mereka tidak ke laut,’’ ujar Agusnimar .
Proteksi wilayah pantai dan laut sangat penting mengingat tingginya penangkapan ikan yang berlebihan yang menggunakan alat tangkap modern seperti trol dan pukat. Aktivitas alat tangkap modern ini diyakini dapat merusak ekosistem perairan pantai yang menjadi habitat kerang-kerangan dan udang-udangan, sebagai sumber mata pencarian orang-orang Duanu. ‘’Karena itu, harus ada proteksi yang bisa selamatkan lingkungan dari bahaya over fishing dan kerusakan ekosistem, juga bisa meningkatkan pendapatan nelayan tradisional yang jumlahnya sangat banyak itu,’’ tambahnya.
Budayawan Riau UU Hamidy juga sependapat dengan mengatakan bahwa Suku Duanu perlu pendekatan antropologi. Wilayah perairan pantai tempat mereka bergantung hidup mesti dilindungi melalui peraturan daerah yang mengikat, menjadi kawasan ulayat perairan pantai seperti halnya hak ulayat atas hutan pada suku-suku asli lain seperti Sakai dan Talangmamak. ‘’Hutan bakau ekosistem pantai dan perairan berlumpur di Indragiri Hilir itu, harus dijaga kelestariannya dengan peraturan pemerintah daerah sehingga habitatnya terjaga. Harus ada sanksi yang tegas kepada perusaknya dan untuk pengawasan yang efektif, kepala suku atau batin harus diberi kewenangan mengurus masyarakat adatnya dalam bingkai wilayah perairan itu ,’’ ujarnya.
UU Hamidy juga yakin, jika laut benar-benar dapat perlindungan hukum dari pemerintah, sumber mata pencarian Duanu akan terpelihara secara berkesinambungan. ‘’Memperkenalkan budaya perkebunan atau keterampilan lain, boleh-boleh saja, tapi jika laut dipelihara, maka masa depan mereka akan lebih terjaga,’’ ujarnya.
Ketua Lembaga Adat Melayu Riau Al-azhar lebih spesifik. Menurutnya, program bagi komunitas adat terpencil, baik itu Duanu, Sakai, Talangmamak, maupun yang lainnya harus melalui pendekatan antropologi, berbasis dari budaya dan keperluan hidup. ‘’Jadi untuk Orang Duanu, orientasinya mesti ekonomi perairan. Selama ini, program untuk mereka itu dari pemerintah pusat yang sangat berorientasi agraris, sehingga tidak efektif,’’ ujar Al-azhar.
Karena itu, Al-azhar minta Pemda turun tangan dengan program khusus yang tepat sesuai budaya kehidupan mereka. ‘’Kekhususan itu harus. Sehingga mereka menjadi lebih baik sebagai diri mereka sendiri. Tanpa penanggulangan yang tepat, dengan populasi yang terus bertambah, bukan tak mungkin eksistensi Duanu dan suku-suku asli lainnya itu akan jadi persoalan sosial serius bagi Riau di masa depan,’’ ujar Al-azhar. Sungguh sebuah ironi...***