Laporan Raja Isyam Azwar, Kuala Patah Parang
Belaras
Keesokan hari, Selasa (17/7/2012), pukul 08.00 WIB, usai melihat fasilitas sekolah SD, SMP dan SMK di perkampungan itu, Riau Pos pun melanjutkan perjalanan selama 3 jam menuju Desa Belaras, Kecamatan Mandah, melewati jalur Sungai Guntung, Kecamatan Kateman. Untunglah waktu itu cuaca teduh sehingga speedboat bisa melewati perairan Tanjung Datuk dengan aman, dan tak perlu menunggu hingga tengah hari jika harus melewati jalur terusan atau kanal buatan. Pasalnya, melewati kanal harus menunggu air pasang karena saat surut dangkal, tak bisa dilewati.
Tengah hari di Belaras, diwarnai hujan gerimis. Riau Pos lalu bertemu Ketua Suku Syarifudin (55) dan sesepuh Duanu Tibak (70), sebelum berkeliling ke perkampungan mereka.
Realita Duanu di Desa Belaras Kecamatan Mandah juga memprihatinkan. Pemukiman rumah layak huni bantuan pemerintah pada tahun 2005 untuk KAT Duanu di kawasan Kampung Baru, kini tak lagi layak disebut layak huni. Dari pinggiran sungai, rumah-rumah mereka terlihat kumuh dengan dinding dan jerambah (pelantar) yang lapuk, bergoyang dan di beberapa bagian sudah patah-patah dan terlepas.
Perkampungan itu terlihat sepi. Hanya beberapa perempuan tua terlihat duduk di pelantar depan rumah sambil mengasuh balita dan anak-anak bermain kelereng di tepi jalan timbun, seberang perkampungan. Sebagian dari mereka telah putus sekolah dan sebagian lagi ada yang masih buta huruf.
Ketua Adat Duanu Desa Belaras Syarifuddin, meski awalnya sempat sungkan mengakui kondisi warganya, akhirnya menceritakan problem Duanu Belaras.’’ Hampir semua orang Duanu di sini, laki-laki perempuan, sejak pukul 01.00 dini hari tadi sudah pergi menongkah kerang ke arah Bekawan, sekitar satu jam lebih dari sini. Mereka berangkat tengah malam, untuk mengejar air surut saat subuh. Nanti, pukul 14.00 baru mereka pulang. Yang tinggal hanya anak-anak, yang tak bisa melaut dan beberapa orang tua dan mereka yang tidak bekerja menongkah,’’ ujarnya.
Dijelaskannya, sebelum tahun 2005, orang Duanu bermukim di sisi lain Pulau Belaras, dekat kawasan kuala selat, yakni perkampungan Tanjung Peria yang kumuh. Hinggalah kemudian, melalui program bantuan rumah papan sederhana yang disebut proyek layak huni, mereka diberi jatah 50 rumah di Kampung Baru dan 25 rumah lagi di kawasan Petnam –sekitar 100 meter dari Kampung Baru.
Namun begitu, bantuan perumahan itu tak membuat pola hidup mereka berubah. Di Belaras, Duanu tetap hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Kepala Desa Belaras, Kamaruzaman mengakui bahwa orang Duanu di desanya masih miskin ‘’Hampir semua menongkah atau ke laut. Mereka miskin dan masih ramai anak-anak mereka yang putus sekolah dan tidak bersekolah. Dulu mereka tak mau hidup bergaul dengan warga Melayu, Banjar dan Cina, mereka hidup sesama mereka. Barulah sekarang sudah berbaur,’’ katanya.
Tak perlu lama untuk membuktikan buruknya pendidikan anak-anak Duanu. Di saat anak-anak lain sedang bersekolah, sekitar pukul 11.30 WIB, anak-anak Duanu malah ramai yang asyik bermain kelereng di tepian jalan berbusut (gundukan lumpur mengering, rumah kepiting) depan perkampungan. Sebagian lagi malah mengikuti Riau Pos mengelilingi perkampungan KAT itu. ‘’Mintak duit Pak, untuk belanje,’’ ujar Rampang (10) sambil mencuwel telunjuknya yang kotor ke lengan tangan. ‘’Iye Pak, mintak lah Pak,’’ ujar Dandi (12), anak Duanu yang lain, berteleging dada tak berbaju.
Secara ekonomi dan pendidikan, suku Duanu di Belaras sepertinya lebih merana dari Kuala Selat. Selain soal anak-anak yang putus sekolah –bahkan banyak yang belum bersekolah meskipun sudah masuk usia sekolah—, ekonomi mereka sangat sulit.
Yang bekerja menongkah kerang, sangat tergantung pada pasang-surut. Saat surut di pagi hari, mereka terpaksa meninggalkan anak-anak untuk pergi mencari nafkah di tengah malam buta. Baru pulang setelah tengah hari. Anak-anak jadi tak terawasi untuk ke sekolah. Seperti Nurwati (45). ‘’Kadang dapat, kadang tidak. Rezeki tak tentu. Kalau hujan, kerang tak ada. Macam semalam, tengah malam dah ke laut, tapi tak dapat sikit pun. Untunglah hari ini dapat juga lebih, 20 Kg. Dipotong ongkos pompong Rp10 ribu, dapatlah Rp40 ribu’’ kata Nurwati, usai membongkar hasil tangkapan bersama teman-teman di tempat penampungan Tauke Aheng, di Pasar Belaras.
Peran pahit bukan milik Nurwati saja. Ada ramai penongkah lain yang bergantung hidup pada Tauke Aheng, sebab mereka terpaksa menumpang pompong milik sang tauke agar bisa melaut. ‘’Tak semua sama kita. Hanya 40 Duanu yang kerja sama kita. Kalau hasil bagus, satu orang kita potong ongkos Rp10 ribu. Tapi, kalau tak dapat, macam semalam, kita tak pungut. Jadi, kita rugi juga lo, ‘’ ujar Aheng usai menerima kerang dari para penongkah.
Deskripsi tentang Duanu Belaras memang lebih miris. Dari data yang coba dihimpun Riau Pos dari ketua suku, dari 70 KK yang mendiami desa berpenduduk 800 KK itu, belum ada satu pun Orang Duanu Belaras yang bernasib baik, baik secara ekonomi maupun pendidikan.
‘’Tak ada. Di Belaras, tak ada yang sekolah tinggi. Apalagi yang kaya. Bahkan, tak satu pun orang Duanu di sini yang punya kebun. Rata-rata macam inilah, hidup dalam kesusahan,’’ ujar Syarifuddin. Ia adalah satu-satunya orang Duanu yang mendapat ‘’cap’’ berhasil di puaknya, sebab Syarifuddin adalah PNS golongan 2B yang bekerja sebagai penjaga sekolah dasar negeri (SDN) 05 Desa Belaras. Sebagai PNS ia hidup berkecukupan. Apalagi istrinya, juga dari suku Duanu, berdagang pakaian secara sambilan.
Sebagian Duanu Belaras, malah mulai tercerabut dari akar habitatnya. Tak kuasa bertahan jadi nelayan tradisional dengan hanya menongkah, membelat, menjaring, merawai, mereka beralih kebiasaan dengan menjadi buruh. ‘’Nak berkebun, manalah mampu kami membeli. Karena tak cocok nasib kami kerja di laut, jadi, berkuli sajalah kami,’’ kata Samsor (50), warga Kampung Baru, perkampungan KAT Desa Belaras, Kecamatan Mandah. Begitu juga dengan Iben (45) dan Mani (37). Kedua warga Desa Belaras ini memilih bekerja menjadi buruh, bertukang sambil tetap ke laut menjaring dan memancing.
Senin 30 Juli hingga 1 Agustus 2012, Riau Pos melanjutkan liputan ke Desa Sungai Pasir Kecamatan Tanah Merah dan Desa Kuala Patah Parang Kecamatan Sungai Batang. Di kedua desa ini, realita hidup Orang Duanu juga tak jauh berbeda dengan saudaranya di tempat lain.
Di Sungai Pasir, hampir seratus persen Orang Duanu bekerja di laut. ‘’Satu dua aja yang tak melaut. Yang lain semua ke laut. Kalaupun ada kerja lain, itu sambilan. Misalnya, memancang nibung untuk pelabuhan,’’ ujar Kepala Desa Sungai Pasir, MH Thamrin (30/7/12).
Duanu di sini juga sudah dapat bantuan rumah sederhana dari pemerintah. Ironisnya, kondisi perkampungan KAT itu, lebih parah dari Belaras. Dari 55 unit rumah bantuan pemerintah tahun 1995, yang dibangun di belakang perkampungan itu, kini hanya 6 unit yang masih berdiri. Sisanya, sudah rubuh tersebab lapuk dimakan usia. ‘’Sudah lapuk pak, rubuh semua. Yang ada ini pun, lihatlah kondisinya,’’ ujar Ketua Suku Duanu Sungai Pasir M Akil (50), menunjuk ke rumah beratap rumbia yang dindingnya sudah compang-camping itu.
Salim (53), salah satu warga yang masih bertahan di perumahan sederhana yang terlihat kumuh itu, mengakui dirinya masih bertahan di rumah bantuan yang sudah reyot itu karena tak ada pilihan lain. Meski lututnya membengkak dan sakit, Salim mengaku dirinya tetap menongkah. Ia terpaksa menumpang pompong tauke untuk bisa ke lokasi dengan biaya Rp10 ribu. ‘’Lutut saya bengkak dan sakit sekali. Ini gara-gara menongkahlah. Sejak kecil saya sudah menongkah. Saya rasa, kaki ini cacat karena sejak kecil sampai dah tua begini, dipakai jadi tumpu saat menongkah,’’ ujarnya saat ditemui di pelantar rumahnya. Tubuhnya yang kurus bersandar di dinding yang lapuk dan sinar matahari menerobos masuk di sela-sela atap rumbia yang sudah tua termakan usia.
Begitu juga Duanu lain, Jemari (60). Ditemui saat sedang menambal sampannya yang bocor di depan rumah anaknya, kakek ringkih yang juga mengaku bermata pencaharian ‘’hanya menongkah kerang’’ ini, mengaku sudah lama pindah karena rumahnya rubuh. ‘’Dah lama rubuh. Sekarang saya dan istri numpang di rumah anak. Untunglah masih ada sampan ini, meski badan dah tak kuat rasanya, tapi masih bisa juga saya ke laut mencari rezeki. Menumpang rumah dengan anak, tak mungkin pula ikut menumpang makan,’’ ujarnya mengibas kudis memerah di lengan dari kerumunan lalat, sambil memandang rumah panggung sederhana yang berjejer-jejer di tepi kuala itu.
Sebenarnya, selain dapat bantuan rumah, Duanu Sungai Pasir juga pernah diberi lahan, masing-masing 0,5 hektare. Lokasi kebun yang sudah diturap agar tak terkena intrusi air asin itu, letaknya tak jauh di belakang pemukiman. Tapi, sejak pertama diserahkan, tak ada satu pun Orang Duanu di sana yang mengerjakan lahannya. Akibatnya, sekarang lahan itu sudah berubah menjadi belukar yang lebat karena ditumbuhi hutan bakau.
‘’Lahan itu inisiatif daerah. Tapi, tak ada yang mau, tak ada yang bisa mengerjakannya. Akibatnya, lahan itu terbengkalai tak berguna,’’ ujar Kades Thamrin. (bersambung)