Laporan Raja Isyam Azwar, Kuala Patah Parang
Orang Duanu adalah Suku Laut. Mereka juga disebut Orang Kuala. Berkoloni di habitat alami kuala sungai dan selat. Hidup mengisolasi diri dan beranak-pinak di atas sampan dan rakit. Menggantungkan hidup, semata-mata pada laut.
Hinggalah tahun 1990, pemerintah mengajarkan mereka untuk mulai berumah di darat melalui program bantuan rumah layak huni. Awalnya, di Pulau Bertam, Batam dan Bekawan, Indragiri Hilir. Waktu itu, Riau dan Kepri masih dalam satu provinsi.
Sejak itu, Orang Duanu, pelan-pelan tak lagi ‘’semata-mata‘’ hidup dalam sampan. Mereka mulai membuka diri dari belenggu ketertutupan dan bergaul dengan warga tempatan, Melayu, Bugis, Banjar, Jawa dan Cina. Meski masih tetap bergantung hidup mencari rezeki pada laut, tapi mereka sudah mulai beradaptasi pada kehidupan yang lebih beradab.
Kuala Selat
Perjalanan menuju Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Senin (16/7/12) itu, cukup melelahkan. Dari ibu kota Kabupaten Inhil, Tembilahan (terletak 213 Km dari Ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru), sekitar pukul 10.00 WIB, menggunakan speedboat 200 PK berkapasitas 10 penumpang, perjalanan yang seharusnya hanya menghabiskan waktu sekitar 3,5 jam, harus ditempuh hampir 7 jam.
Awalnya, setelah menyusuri muara Sungai Indragiri yang bergelombang, tekong speed yang kami tumpangi, Yudi (35) bermaksud melintas di perairan Tanjung Datuk. Tapi, separuh jalan, kondisi mulai memburuk. Besarnya ombak di perairan yang terkenal angker dan sangat berbahaya itu, menyiutkan nyali. Apalagi, saat boat terguncang-guncang dengan keras, tak bisa kecepatan penuh dan sempat terkandas di beting (perairan dangkal berlumpur).
Agar terhindar dari amukan ombak, sang tekong pun memutuskan berbalik arah menyusuri perairan sempit melewati jalur Sembuang, menembus kanal buatan di Desa Bente Kecamatan Mandah, membelah perairan selat Teluk Lanjut, Kecamatan Kateman. Setelah itu, mengambil rute memutar melalui kanal buatan di Desa Teluk Bunian, Desa Penjuru untuk sampai ke Kuala Selat. Waktu tempuh pun menjadi panjang. Apalagi saat menyusuri kanal yang sempit dan dangkal itu, banyak sampah terutama sabut kelapa, yang menjadi ranjau. Kami benar-benar harus ‘’merayap‘’ perlahan dan sabar. Mesin boat bahkan harus diangkat berkali-kali agar tak tersangkut sabut dan tidak terkandas oleh lumpur.
Akhirnya, hampir pukul 17.00 WIB petang, kami pun sampai. Kepala Suku Duanu Kuala Selat, Mato Lani (60) sudah menunggu di ujung pelantar. Meski baju abu-abunya lusuh, celananya gantung tanpa alas kaki, ia menyambut kami dengan wajah bahagia. Rambut ikalnya kusam dengan rokok kretek mengepul-ngepul dari mulut dan ia mengulur tangan membantu untuk memanjat ke pelantar kayu yang mulai lapuk dan bergoyang-goyang. ‘’Saya sampai cemas, lama betul tak sampai-sampai,’’ ujarnya ramah.
Setelah bertamu ke rumah Kepala Desa, Masnor dan menyeruput teh panas yang nikmat, Riau Pos langsung diajak berkeliling perkampungan Duanu, melihat rumah-rumah panggung kayu 5x7 m yang sederhana, bantuan Kementerian Sosial RI melalui Dinas Sosial Pemprov Riau, dalam program untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu.
Rumah-rumah bantuan tahun 2009 itu cukup sehat. Dialiri listrik swadaya desa sejak pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi. Wadah-wadah penampung air ukuran jumbo berisikan air hujan terlihat berjejer di depan rumah. Beberapa rumah malah memiliki parabola, meski sebagian parabola itu sudah rusak dan tidak berfungsi. Tak jauh dari perkampungan, sebuah menara telepon seluler berdiri dengan tegapnya.
Pemukiman KAT itu tak ada halaman. Halaman dari 55 rumah untuk 80 KK Orang Duanu itu, hanyalah jerambah papan yang sambung-menyambung, menjadi jalan transportasi utama perkampungan. Di bawahnya, hanyalah daratan berlumpur yang terhampar. Hamparan itu segera berubah menjadi lautan saat pasang naik petang itu.
‘’Nenek moyang kami, dulu tinggal di atas sampan. Masak, makan, dan beranak (melahirkan) dalam sampan. Hidup di kuala-kuala sungai dan selat. Orang Melayu memanggil kami Orang Kuala. Tapi itu dulu, sekarang sudah tak ada satu pun lagi Duanu yang tinggal di sampan,’’ ujar Mato Lani, saat berbincang dengan Riau Pos, Senin (16/7/2012).
Duanu kini memang tak lagi hidup di sampan-sampan beratap kajang (anyaman tradisional terbuat dari daun mengkuang –sejenis pandan berduri yang banyak tumbuh di pinggir sungai— untuk menutup sampan, red). Mereka membangun rumah-rumah panggung dan tetap berkoloni di kuala sungai dan selat.
Sama sekali tidak pernah meninggalkan laut. Mereka masih mengandalkan sampan dan alat tangkap jala, pukat dan jaring sederhana untuk mencari nafkah. ‘’Kami di sini, tak seperti Duanu di Bekawan dan Belaras. Kami tak bisa membelat (sejenis pukat tepi pantai). Tak bisa menongkah (mencari kerang-kerangan dari dalam lumpur dengan menggunakan tangan kosong) kerang. Sebab, laut kami laut bebas, tak ada pantai lumpur untuk membelat dan menongkah. Sejak dulu, kami menghadang ribut dan ganasnya gelombang, menangkap udang dan ikan di tengah laut. Di sana, di Tanjung Datuk,’’ ujar Mato Lani, mengacung telunjuk ke arah tenggara, ke arah perairan yang sedang bergelora.
Tanjung Datuk yang berseberangan langsung dengan perairan Daik Lingga, Kepulauan Riau, saat itu memang tidak bersahabat. Puncak Gunung Daik yang biasanya terlihat jelas saat cuaca cerah, sama sekali tak kelihatan. Tertutup kabut. Ombak terlihat memutih di kejauhan. ‘’Itu sebab, hari ini, perkampungan terlihat ramai. Rata-rata kami tidak melaut. Hanya yang kuli buruh yang kerja,’’ tambah Mato Lani.
Adi (37), adalah salah seorang nelayan gumbang (sejenis pukat) yang ditemui Riau Pos di depan rumahnya, petang itu. Beberapa nelayan lain, berteleging (telanjang dada) terlihat asyik bermain domino di pelantar samping rumahnya. Belasan anak lelaki telanjang bulat tampak riang berenang, jungkir balik terjun ke sungai, di depan rumah yang berjejer-jejer itu. ‘’Lagi pula, musim sekali ini, hasil tangkapan sangat sedikit. Sementara harga solar mahal, tauke bilang stop dulu,’’ ujarnya.
Keluh kesah Adi tumpah seperti air laut yang sedang naik pasang, waktu itu. Bekerja sebagai kuli pada tauke gumbang, sudah bertahun-tahun lamanya, namun tak ada perubahan nasib. Gaji Rp800 ribu, manalah cukup. Anak-anak pun putus sekolah. Di usia sepuluh atau sebelas tahun sudah ikut ayah ke laut, membantu mencari nafkah. ‘’Bekerja jadi kuli terus-terusan, beginilah jadinya hidup. Hendak usaha sendiri, kami tak mampu beli pompong dan jaring,’’ tambahnya.
Seperti Adi, Salim (36) juga kerja berkuli pada tauke-tauke yang rata-rata adalah orang Cina asal Selatpanjang dan Ransang Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, dan Tanjungbatu Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Lebih ironis lagi, ia mengaku kerap gonta-ganti tauke karena persoalan utang. ‘’Dengan Rp800 ribu, apa yang cukup! Apalagi kalau sakit. Mana bisa anak sekolah. Karena gaji tak cukup, maka saya sering pinjam. Tapi, lama-lama mana tauke sanggup kasi pinjam terus kan? Makanya saya sering berhenti dan cari kerja tempat lain, kalau tauke dah tak mau kasi pinjaman,’’ katanya.
Kesadaran Salim akan perbaikan ekonomi agar dua anak-anaknya bisa terus bersekolah, diupayakannya dengan berbagai cara. Malah, ia sudah merintis usaha dengan berkebun sawit seluas 1 hektare. ‘’Tapi, hasilnya boleh dibilang tak ada. Tak ada pupuk, tak cukup rawat, sawit saya malah banyak di makan babi. Itu sebab, bagi saya, kebun tak kebun, laut-lah kebun, pemberian Tuhan, sejak nenek moyang kami. Tak ada yang lain,’’ ujarnya sambil menyandarkan tubuh di dinding.
Keluh kesah Adi dan Salim berbanding lurus dengan tingginya ongkos memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Selain lauk-pauk, semua barang-barang konsumsi didatangkan dari ibukota kecamatan, Guntung. Tentu saja harganya menjadi lebih mahal. Beras yang biasa dikonsumsi di sana, cap Anak Terbang. ‘’Di Guntung harganya Rp160 ribu per 25 Kg ukuran satu karung. Di sini Rp175 ribu per karung. Eceran Rp8 ribu per Kg, memang lebih mahal di sini’’ kata Royahati (34).
Mahalnya harga barang-barang konsumsi juga dikeluhkan warga lainnya. ‘’Gula-garam sudah mahal. Ini saja sudah Rp5 ribu, sekali minum habis,’’ salah satu penghuni perkampungan KAT Kuala Selat, Mansyur (51) berkeluh-kesah, sambil menunjuk paket bungkusan gula dan teh digenggaman, yang baru dibelinya saat pulang dari kerja.Mansur yang masih berkubang debu arang sebenarnya, bukan Duanu. Asalnya dari Kampung Gajah, Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Almarhum istrinya dari Reteh, Indragiri Hilir. Namun karena kehidupannya yang miskin, lelaki yang sehari-hari bekerja membuat arang ini, didaftarkan jadi Duanu agar dapat rumah bantuan. ‘’Dulu tinggal tepi laut juga, tapi sudah rubuh kena ombak ribut. Terima kasih Pak Mato masukkan saya ke KAT. Dapatlah saya tinggal di sini. Lagi pula, anak perempuan saya juga menikah dengan orang Duanu,’’ ujarnya.
Namun begitu, dari 80 KK Duanu Kuala Selat, bukannya tak ada sama sekali yang berhasil keluar dari kungkungan kemiskinan dan kebodohan. Baharuddin alias Utoh (36) dan Fajarudin (37), misalnya. Ekonomi mereka cukup mapan, karena hasil dari kebun kelapa.
Utoh memiliki 7,5 hektare kebun kelapa dengan produksi sekitar 36 ribu butir per tiga bulan. Ekonomi lelaki beranak dua ini sangat baik. Selain memiliki rumah permanen yang cukup besar di perkampungan itu, Utoh juga membangun usaha gedung bulutangkis sederhana untuk disewakan.
‘’Dah puas kerja nelayan ni Pak. Jadi kuli gumbang, membelat dan menyondong, sudah saya pernah saya lakukan. Hidup tak juga berubah. Tak tahan, saya dagang kopra. Tapi tak juga memuaskan. Akhirnya, sisa duit usaha, ditambah pinjaman istri ke bank, saya beli kebun. Waktu itu, 1 bidang (2,5 hektare) Rp21 juta. Lama-lama jadi 3 bidang. Terakhir kali pinjam lagi Rp85 juta ke bank, untuk beli kebun lagi. Untung istri saya guru,’’ ujar lelaki berdarah Banjar-Duanu ini.
Begitupun dengan Fajar. Meski tak sebaik Utoh, lelaki berdarah Melayu-Duanu, yang masih bekerja menjaring ikan ini, memiliki pendapatan tetap sekitar Rp4 juta per tiga bulan dari 2,5 hektare kebun kelapa miliknya. ‘’Dulu saya punya 15 hektare. Tapi kena musibah, istri dan adik-adik saya kena wabah malaria. Waktu itu, di kampung ini ramai juga yang meninggal. Jadi kebun saya jual untuk berobat,’’ ujarnya mengenang.
Lalu, ada juga Dani Sartika (30) yang sukses karena berpendidikan baik. Dengan latar belakang Strata-2, alumni Universitas Pelita Bangsa Bekasi ini, rasanya tak sulit untuk mencoba peruntungan di perantauan. Tapi, Dani justru memilih balik kampung. Kini, lelaki lajang yang juga dosen terbang di STIE-Batam ini, justru memilih menjadi Kepala SMK An-Nur Kuala Selat yang didirikan Yayasan Pendidikan An-nur di bawah pimpinan Kepala Desa Kuala Selat Masnor.
Tapi, bagi keluarga Duanu yang lain, saat ini tak ada pilihan lain, kecuali bertahan pada kenyataan hidup yang semakin pahit. Seolah tak ada jalan keluar. Keinginan untuk mengubah nasib dengan berkebun seperti Baharuddin dan Fajarudin, tak mungkin lagi mereka rengkuh. Sebab, ada lagi lahan untuk berkebun. Seluruh desa berpenduduk 700 KK itu, sudah jadi kebun kelapa. Terlalu banyak pendatang yang membuka lahan dan berkebun di sini sejak dulu. Dan terakhir tahun 2006, lahan desa sudah habis.
‘’Meski pun sudah banyak orang Duanu yang ingin berkebun, tapi apa nak cakap? Lahan sudah tak ada lagi. Satu-satunya harapan, hanya lautlah tempat mereka bergantung,’’ ujar Kepala Desa Masnor.
Habisnya lahan di Kuala Selat adalah kenyataan miris bagi suku Duanu, sebagai pihak yang pertama kali mendiami kawasan itu bersama orang-orang tempatan. Dan bagi Ketua Adat Duanu Kuala Selat, kenyataan itu seperti hukuman yang tak adil pada mereka yang tak melakukan kesalahan. ‘’Tapi, apa nak buat. Bergantung pada laut, tak tentu arah lagi. Sudah nasib kita begini. Nak berkebun pun sudah terlambat. Tanah dah habis. Entah macam mana nasib anak-anak kami, orang Duanu ni nanti... tak sekolah, tak bertanah, sepanjang hidup jadi kuli,’’ ujar Mato Lani. (bersambung)