MENGENANG SATU TAHUN TSUNAMI JEPANG

Media Dilarang Menyiarkan Berita Sedih

Feature | Senin, 12 Maret 2012 - 08:12 WIB

 Media Dilarang Menyiarkan Berita Sedih
Seorang anak memperhatikan lilin saat mengenang satu tahun korban gempa dan tsunami Jepang, Ahad (11/3/2012). (Foto: YURIKO NAKAO/REUTERS)

TOKYO (RP) - Dengan mengheningkan cipta, Jepang menandai satu tahun gempa bumi dan tsunami yang melanda negara itu.

Musibah itu menewaskan lebih dari 19.000 orang dan menyebabkan krisis nuklir terburuk di dunia dalam seperempat abad.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Naomi Fujino (42), warga Rikuzentakata yang kehilangan ayahnya, menangis mengingat 11 Maret 2011.

Bersama ibunya, ia melarikan diri ke bukit terdekat di mana mereka menyaksikan gelombang besar menghanyutkan rumah mereka.

Mereka menunggu sepanjang malam, tetapi ayahnya tidak pernah datang untuk menemui mereka seperti yang telah dijanjikan. Dua bulan kemudian, tubuhnya ditemukan.

‘’Saya ingin menyelamatkan banyak orang, tapi aku tidak bisa. Saya bahkan tidak bisa membantu Ayah. Saya tidak bisa terus menangis. Apa yang bisa saya lakukan selain terus berjalan?’’ katanya seperti dilansir Guardian, Ahad (11/3) kemarin.

Ahad kemarin dilaksanakan upacara peringatan untuk menandai 14:46, saat gempa besar 9,0 skala richter terjadi.

Peringatan diselenggarakan di sepanjang pantai timur laut dan di Tokyo, sementara kaisar dan perdana menteri berbicara di Teater Nasional.

Gempa bumi tahun lalu yang berkekuatan 9 SR dengan pusat kedalaman 24,4 Km di sebelah pantai timur Sendai, Jepang, pada 11 Maret 2011 pukul 12.46 WIB atau 14.46 waktu itu menimbulkan tsunami. Tinggi tsunami lebih dari 20 meter, dengan tinggi gelombang run-up tsunami 40,5 meter.

Akibat bencana yang ditimbulkan ini, sekitar 15.769 orang meninggal, 4.227 orang hilang, dan 470.000 orang mengungsi. Sementara total kerugian ekonomi mencapai 220 miliar dolar AS atau setara 3,4 persen dari Gross Domestic Bruto (GDP) Jepang, atau setara hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Suatu kerugian yang luar biasa besar.

Selama ini, Jepang dianggap sebagai negara yang paling siap menghadapi gempa dan tsunami. Berbagai upaya stuktural dan non-struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana.

Peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 M. Pantai Sendai Jepang telah dilindungi berbagai bentuk perlindungan tsunami mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini.

Di Kota Kamaishi dibangun pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter selama 31 tahun. Diharapkan tsunami bisa dikurangi hingga 0 persen. Namun, ternyata tsunami tetap terjadi.

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Republik Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho, pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menjadi program nasional dan dilakukan secara besar-besaran di Jepang.

Retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai 79 persen, sekolah 73 persen, dan rumah sakit 56 persen dari jumlah nasional.

‘’Bandingkan dengan di Indonesia yang sekitar 70 persen sekolah berada di daerah rawan gempa dan belum kuat strukturnya,’’ kata Sutopo kepada Rakyat Merdeka Online, Ahad (11/3).

Di Jepang, lanjut Sutopo, gladi gempa dan tsunami dilakukan secara rutin di setiap kabupaten dan kota. Pemda mengalokasikan anggaran rutin untuk pelaksanaan gladi tersebut. Setiap 1 Oktober dilakukan gladi nasional.

Seluruh komponen masyarakat terlibat. Anak-anak sekolah dan pekerja pabrik diliburkan untuk gladi tersebut.

Gladi ini sangat efektif. Misal di Distrik Taro, saat gempa dan tsunami tahun 1896 jumlah korban tewas 83 persen.

Namun saat tsunami 1993 jumlah korban berkurang menjadi 20 persen dan tsunami 2011 hanya 6 persen dari total jumlah penduduk.

Selain itu, masih kata Sutopo, di Jepang, bangunan umum dan bisnis yang berada di derah risiko tinggi tsunami didesain tahan gempa dan dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Dengan latihan masyarakat segera evakuasi ke tempat-tempat tinggi di gedung tersebut.

Sementara itu, ungkap Sutopo, di Jepang, pemulihan infrastruktur dilakukan secara cepat. Jalan tol di Tohoku Expressway selesai hanya 11 hari seteleh tsunami. Infrastruktur ini tidak hanya memberikan sumbangan pada transportasi dalam pengiriman barang dan logistik saat darurat, tetapi juga memulihkan ekonomi Jepang.

Saat bencana, mass media tidak ada yang menyiarkan hal-hal yang menyedihkan. Mayat dan hal-hal yang membuat masyarakat panik, misal terkait PLTN, mass media tidak boleh menyiarkan secara saintifik sehingga masyarakat menjadi panik,’’ tegas Sutopo.

Justru, lanjut Sutopo, berita-berita tentang semangat, kebersamaan, disiplin dan ketangguhan masyarakat yang ditonjolkan mass media.

Dan ini merupakan kode etik jurnalistik yang selalu dipegang oleh mass media Jepang.(int/jpnn/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook