KISAH 16 WNI KRU KAPAL SPARTA YANG 13 HARI TERJEBAK DI ANTARTIKA

Terdampar setelah Kapal Menabrak Gunung Es

Feature | Kamis, 12 Januari 2012 - 09:32 WIB

Terdampar setelah Kapal Menabrak Gunung Es
Dubes RI untuk Selandia Baru A Agus Sriyono (memakai jas) bersama ABK WNI yang berhasil diselamatkan setelah terjebak 13 hari di lautan es di Antartika, Senin (9/1) lalu. (Foto: kbri wellington for jpnn)

Laporan  M HILMI SETIAWAN, Jakarta

Nun jauh di Antartika, kapal Sparta tertahan di tengah lautan es selama 13 hari. Di kapal milik Rusia itu terdapat 16 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia. Bagaimana kisah mereka?

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Antartika. Itulah wilayah yang diklaim sebagai tempat paling dingin di muka bumi. Maklum, mayoritas wilayah tersebut memang tertutup es.

Suhu di Antartika saat musim dingin mencapai minus 90 derajat Celsius. Saat musim panas, suhu di belahan selatan bumi itu sekitar minus 60 derajat Celsius.

Nah, di tempat sedingin itulah kapal Sparta terdampar pada 15 Desember lalu. Kapal dengan panjang 50 meter itu tidak bisa bergerak setelah terjebak di tengah lautan es. Lambung kapal bocor.

Sebagai upaya pertolongan, pemerintah Selandia Baru mengirimkan pesawat Hercules 130 untuk menyuplai makanan bagi para anak buah kapal (ABK). Di antara 32 ABK kapal Sparta, separonya berasal dari Indonesia. Selain bantuan makanan, pemerintah Selandia Baru mengirimkan pompa-pompa penyedot air.

Upaya mengevakuasi kapal Sparta baru membuahkan hasil ketika kapal pemecah es Araon berbendera Korea Selatan ikut membantu. Perlahan tapi pasti, Araon berhasil membuka jalan bagi kapal Sparta untuk keluar dari kepungan bongkahan es.

Setelah 13 hari terjebak di Antartika, kapal Sparta akhirnya berlabuh di Pelabuhan Nelson, Selandia Baru, Senin (9/1) sore waktu setempat. Dubes RI untuk Selandia Baru A Agus Sriyono menyambut secara langsung 16 ABK asal Indonesia yang berada di kapal tersebut.

Kuspendi, salah seorang ABK asal Indonesia, menceritakan petaka yang mereka alami. Menurut pria asal Indramayu, Jawa Barat, itu, kapal Sparta terdampar setelah menabrak gunung es.

Diperkirakan, gunung es tersebut tidak terlihat karena tertutup kabut. Akibat tabrakan itu, lambung kapal berlubang sekitar 30 sentimeter. Para ABK hanya bisa menunggu bantuan datang.

Derita yang dialami ABK asal Indonesia mengundang simpati KBRI Wellington. Saat menyambut para ABK di Pelabuhan Nelson, Dubes Agus dan beberapa staf memberikan bantuan makanan.

Tak hanya itu. Agus juga merelakan telepon selulernya digunakan secara bergantian oleh para ABK untuk menghubungi keluarga mereka di tanah air.

Di antara ABK yang sempat menghubungi keluarganya itu adalah Sarip. Dari catatan imigrasi yang dikirim KBRI Wellington, Sarip adalah ABK yang paling muda. Pemuda asal Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, itu lahir pada 5 Januari 1989.

Saat diberi kesempatan menelepon, Sarip langsung menghubungi ayahnya, Kasdi. Kasdi kepada JPNN mengatakan telah dihubungi Sarip.  “Sarip menelepon saya. Dia mengatakan baik-baik saja,” tutur Kasdi.

Pria 40 tahun itu mengatakan, Sarip memang besar di keluarga nelayan. Sebelum bergabung dengan kapal asing, Sarip sudah malang melintang melaut di kampung sendiri. Sebagian besar dari 16 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal Sparta itu berasal dari kampung yang sama. “Kami bertetangga,” ungkap Kasdi.

Sarip memulai tugasnya sebagai ABK kapal Sparta pada November lalu. Iming-iming gaji besar menjadi alasan utama Sarip meninggalkan Indramayu untuk melakoni ekspedisi bersama kapal berbendera Rusia itu.

Menurut Kasdi, rata-rata nelayan di kampungnya berpenghasilan Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Nah, bersama kapal Sparta, Sarip dijanjikan bayaran puluhan juta rupiah per bulan. Demi mengejar iming-iming itu, Sarip pun rela mengeluarkan modal Rp10 juta.

Lain cerita lagi dengan Jaenal Aripin, ABK lainnya. Meski sudah selamat dari terdampar di Antartika, Jaenal ternyata belum menghubungi keluarganya. Siti Maetoah, istri Jaenal, mengatakan belum mendapat kabar bahwa suaminya selamat. “Saya baru tahu dari Mas sekarang,” ujar Siti kepada JPNN.

Perempuan 26 tahun itu menceritakan, suaminya pergi melaut dengan meninggalkan seorang anak, Ahmad Zindan Akil, yang baru berumur tiga tahun. Jaenal pergi melaut bersama kapal Sparta menggantikan adiknya, Ahmad Taufik. “Setelah adiknya turun, langsung digantikan suami saya,” ujar Siti.

Untuk bergabung dengan kapal Sparta, Jaenal menyetor modal Rp10 juta. Uang itu diambil dari tabungan Jaenal yang selama ini menjadi penjual nasi goreng keliling di kawasan Tangerang Selatan, Banten.

Menurut Siti, suaminya mulai melaut pada 28 Oktober lalu. Saat itu Jaenal mendarat di Uruguay. Di negeri Amerika Selatan itu, Jaenal tiga kali menelepon Siti. Setelah itu, tidak ada lagi kontak Siti dengan suaminya.

Siti baru mendapat kabar soal insiden yang menimpa kapal tempat suaminya bekerja pada 26 Desember. Informasi itu diterima dari Ahmad Taufik yang memang memiliki banyak relasi dengan kru kapal Sparta. Dua hari kemudian, tepatnya pada 28 Desember, Siti mendoakan keselamatan suaminya lewat acara tahlilan di rumah orang tua Jaenal. “Saya titip doa,” tutur Siti.

Selama melaut, Jaenal belum sekali pun mengirimkan uang untuk Siti. Beruntung, Siti bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil bekerja di perusahaan pengemasan popok.

Selain Kuspendi, Sarip, dan Jaenal, ABK kapal Sparta dari Indonesia adalah Edi bin Sadikin asal Indramayu, Nur Aminudin Khasani (Pemalang), Yusup (Indramayu), Kusrodin (Indramayu), dan Maskud (Indramayu). Selanjutnya, ada Abdul Halim (Indramayu), Tarmin bin Usup (Cirebon), Akrom bin Sanusi (Indramayu), Iman (Indramayu), Sayidi (Indramayu), Bandih (Indramayu), Suprapto (Indramayu), dan Anwar (Indramayu).(*/c4/ca/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook