DENDAM KEMISKINAN OMBAK SEKANAK (1)

Ingin Gerakan Sejuta Melayu Jadi Pondasi

Feature | Jumat, 11 Oktober 2013 - 10:14 WIB

 Ingin Gerakan Sejuta Melayu Jadi Pondasi
Oktavio Bintana

Sebuah autobiografi yang diberi judul Ombak Sekanak akan diluncurkan besok, 12 Oktober 2013. Bertepatan pada usia ke-70 tahun sang penulis, peluncuran ini tentulah spesial.

Oleh Oktavio Bintana

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bukan hanya soal sejarah kehidupan yang penuh liku dan perjuangan, namun buku ini menjadi sangat spesial karena telah menjadi jejak rekam kehidupan lelaki yang selalu menjadi teladan dalam hidup kami, anak-anaknya.

Beberapa waktu lalu, pada 17 Juli 2013, pada sebuah acara berbuka bersama yang ditaja oleh Harian Pagi Riau Pos di Hotel Arya Duta Pekanbaru atau persis di miladnya ke-70, saya mengetahui bahwa biografi itu sudah selesai ditulis.

Sebagai putra ketiga Rida K Liamsi, saya mencoba mengurai isi buku Ombak Sekanak berdasar kaca mata saya.

Saat itu, saya hadir bersama lima saudara. Abang tertua, M Nur Hakim, manager iklan di Harian Tanjungpinang Pos. Shinta Dewi, yang nomor dua, sekarang mempunyai beberapa usaha di Pekanbaru dan Tanjungpinang.

Lalu, di bawah saya, Teddy Jun Askara, politikus Partai Golkar, yang dalam Pemilu 2014 ini maju sebagai calon anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, daerah pemilihan Kota Tanjungpinang. Teddy berprofesi sebagai pengusaha dengan bendera Askara Group dan menetap di Kota Tanjungpinang.

Anak nomor lima, Indra Rukmana. Seorang politikus Partai Demokrat yang maju sebagai calon anggota DPRD Provinsi Riau daerah pemilihan Kota Pekanbaru, nomor urut satu.

Dan yang terakhir alias paling bontot adalah Santi Novita. Bukan politikus. Hanya sebagai

pengusaha yang mempunyai beberapa butik di Pekanbaru. Itulah sekilas tentang kami lima bersaudara buah cinta Rida K Liamsi dan Asmini Syukur.

Bagi saya, buku yang sudah sejak lama dikerjakan ayah dengan bersungguh-sungguh itu, Ombak Sekanak, adalah gambar tentang betapa kerasnya perjuangan seorang anak manusia —yang kemudian menjadi seorang ayah yang juga berjuang bertungkus-lumus, sejak masa mudanya.

Ia, ayah saya itu, Rida K Liamsi, melihat ibunya dengan jejak membekas di hati yang tak akan pernah bisa hilang. Perempuan gigih yang saban hari mengambil pakaian dari rumah ke rumah, untuk dicuci supaya mendapat upah guna membantu menghidupi keluarga.

Sisa upah, setelah untuk makan, digunakan untuk membayar sewa rumah. Malah, tak jarang harus berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain, karena tidak mampu membayar sewa bulanan, yang selalu naik terlalu tinggi.

Sebagai adik, Rida juga melihat kehidupan abangnya —seorang sopir lori (truk, red)— mengidap sakit kulit yang parah. Di tubuhnya timbul koreng-koreng bernanah dan telah menahun. Rida menyaksikan dengan kepedihan sampai sang abang akhirnya meninggal tersebab tidak mampu untuk berobat. Begitu juga tentang kakak perempuannya yang meninggal dunia saat berusia 25 tahun, juga karena sakit.

Membaca buku tersebut, dari lembaran demi lembaran, membuat mata saya basah dan panas. Air mata menetes. Bagaimana tidak, selama ini, saya tidak pernah diceritakan tentang itu. Saya tak pernah tahu, saat beliau memakai sepatu robek yang mengeluarkan aroma tak sedap, yang mengganggu rekan-rekannya ketika belajar.

Sepatu yang tidak layak pakai itu terpaksa digunakan karena tidak pernah ada uang untuk mengganti sepatu yang baru. Jangankan mengganti sepatu, untuk makan sehari-hari saja, masih sangat sulit. Untunglah, kebaikan seorang guru yang memberikan beliau uang agar segera mengganti sepatu butut tersebut.

Membayangkan apa yang dialami beliau pada masa lalu, dengan apa yang dilakukan terhadap anak-anaknya, membuat saya kembali meneteskan air mata.

Sepatu yang baru dibeli satu bulan saja, jika saya minta beli lagi, dengan cepat tanpa berpikir panjang, ia akan langsung merogoh kocek untuk membeli.  

Sikap terhadap anak seperti itu membuat saya berpikir, mengapa dengan gampangnya merogoh kocek untuk memberi uang. Kalau dihitung-hitung, secara kasat mata saja, mengeluarkan biaya yang tidak kecil, bahkan mungkin sudah miliaran rupiah, telah ia lakukan, demi sebuah idealisme dan perbuatan baik.

Salah satu contoh, adalah Gerakan Sejuta Melayu (GSM) di Provinsi Kepulauan Riau yang dideklarasikan dan diresmikan oleh Gubernur Kepri H Muhammad Sani beberapa waktu lalu. Hadir saat itu Presiden Persatuan Kebajikan Zuriat Keturunan Pusaka Bentan Malaysia, Encik Nazri Kamal Al Bentan beserta Pemangku Adat Singapura dari Istana Kampung Gelam yakni Tengku Mohammed Shawal Ibni (alm) Tengku Abdul Aziz melalui Persatuan Melayu Singapura. Deklarasi yang melibatkan semua tokoh-tokoh Melayu, termasuk Lembaga Adat Melayu (LAM) se-Kepri itu sudah tentu menghabiskan biaya tak sedikit. Disaksikan para tamu dari Kerajaan Malaysia dan Singapura, penandatanganan deklarasi Yayasan Gerakan Sejuta Melayu itu adalah refleksi idealisme dan keberpihakan Rida terhadap Melayu serta perkembangan kebudayaan Melayu di tengah tantangan dunia global yang semakin berat dan kompetitif.

Bersama rekan-rekan di Pekanbaru, beliau membangun pondasi aktivitas seni dan kesusasteraan Melayu lewat Yayasan Sagang. Yayasan ini berjuang untuk menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu sekaligus kreativitas para seniman dengan spirit ‘’Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Tak Melayu Hilang di Bumi’’. Dan Alhamdulillah, yayasan itu kini berkembang dan cukup berhasil.

Di Kepulauan Riau tanah kelahirannya, beliau juga berkeinginan sama. Rasa cinta dan rasa memiliki yang tulus inilah yang menjadikan beliau risau tentang perekonomian orang Melayu yang ada di Kepri.

Menangkap kerisauan dan berkeinginan merealisasikan cita-citanya itulah, telah juga melecut saya untuk juga ikut berbuat.

Saya menghimpun kawan-kawan di Tanjungpinang, Bintan, Lingga, Natuna, Anambas, Karimun dan Batam untuk membuat suatu gerakan yang dinamakan Gerakan Sejuta Melayu. Gerakan ini fokus kepada peningkatan perekonomian masyarakat, terutama Melayu.

‘’Kita ini hidup harus membuat suatu sejarah untuk kita banggakan kepada anak cucu’’. Itulah sebuah kata, yang akan selalu saya ingat dan terus jadi motivasi, menjadi spirit luar biasa dalam perjalanan hidup saya.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook