DRUPA, PAMERAN DI BAWAH BAYANG-BAYANG KRISIS EROPA

Catatan dari Eropa (3-Habis)

Feature | Jumat, 11 Mei 2012 - 07:42 WIB

Catatan dari Eropa (3-Habis)

Oleh Hasan Aspahani

Dari daerah pinggiran di negara-negara Eropa yang tampak dari bus yang melintasi jalan-jalan tol antar negara di benua ini, yang tampak adalah ketenangan daerah pertanian.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Inilah mungkin pemandangan yang puluhan tahun lalu memikat penyair Taufiq Ismail muda saat dapat kesempatan berkunjung ke Belanda dan membuat dia bermimpi

punya peternakan luas: ketenangan dataran Eropa, daerah pertanian yang luas dan subur, tanaman pangan yang berlimpah hasilnya.

Itulah pemandangan yang kami lihat juga. Nyaris di sepanjang perjalanan, sebelum masuk ke kawasan kota, yang tampak adalah ladang subur, dan tanaman pangan berbunga kuning yang terbentang luas, atau lahan yang baru diolah, siap atau sudah ditanami kembali.

Musim semi di Eropa, saatnya ladang digunakan maksimal. Bunga gerbera, saya temukan di lapangan rumput di sekitar persinggahan jalan tol, adalah bunga liar yang tumbuh seenaknya saja di tepi jalan.

Eropa sedang berbunga. Penduduk menanam bunga di pot dan memajangnya di jendela-jendela rumah. Saya jadi ingat lukisan-lukisan Vincent van Gogh.

Di beberapa tempat tampak kuda dilepaskan di padang rumput yang luas. Juga sapi yang besar-besar.

Kami bahkan sempat bersisian di pintu keluar tol dengan satu mobil pengangkut kotoran sapi. Meskipun mobil itu dirancang dengan bak penampung tertutup, tak ayal aromanya merebak juga menembus ke dalam bis.

Saya tak melihat ada rebutan penggunanaan lahan seperti pemandangan lazim yang saya lihat ketika melintasi jalur Pantura di Jawa. Ini kecemasan lama yang tak juga terhentikan: lahan-lahan terbaik, sawah-sawah subur berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri atau bandara. Lalu kita bicara soal ketahanan pangan? Lalu kita beretorika soal mensejahterakan petani?

Petani dan pertanian tak lagi butuh retorika lama itu. Kalau mau belajar dari Belanda, pertanian sejak dulu menjadi sektor penting yang menyumbang 20 persen pendapatan nasional. Separo dari angka itu adalah komoditas tanaman pangan. Itu lebih dari cukup untuk memberi makan kepada 17 juta penduduknya. Maka 75 persen dari hasil tanaman pangan Belanda diekspor, 85 persen ke negara-negara Eropa. Pertanian di Belanda juga menyediakan lapangan kerja bagi 10 persen penduduk.

‘’Saya bayangkan Eropa itu padat pabrik-pabrik, eh ternyata pertaniannya luas sekali,’’ kata salah seorang peserta tur dari Surabaya. ‘’Waktu turun di Frankfurt, dari pesawat yang kelihatan juga hutan hijau, seperti kita mau mendarat di tengah hutan,’’ kata peserta lain.  

Acara inti tur kami adalah berkunjung ke Drupa, pameran cetak dan tekonologi kertas di Dusserdorf, Jerman. Kami membeli tiket masuk untuk hari Ahad (6/5). Dari Koln, tempat hotel kami menginap, Dusseldorf bisa dicapai dalam satu jam perjalanan darat.

Memasuki kawasan Dusserdorf yang terasa adalah betapa seriusnya perhelatan besar itu diselenggarakan. Hal yang sederhana seperti parkir ditata dengan amat ketat. Kawasan parkir diteduhi oleh barisan pohon rapi, dan mobil ditata dalam satu garis searah. Tiap dua baris tersedia satu jalan untuk memudahkan keluar masuk kendaraan.

Dusseldorf adalah Drupa. Jika mau belajar ini adalah pelajaran penting. Bagaimana sebuah pameran besar bisa menggerakkan ekonomi sebuah kota, bahkan sebuah negara, dan menjadi kebanggaan kawasan tersebut. Pemandu tur membebaskan kami untuk mengunjungi stan pameran yang kami minati, karena sangat tidak mungkin dalam satu hari mengunjungi semuanya.

Saya secara mula-mula melihat hall yang memamerkan mesin pencetak box kemasan otomatis, mesin pembuat kertas kue, cetak garmen, sampai stan Goss, produsen mesin cetak dari Jerman yang memakan area sangat luas. Goss memamerkan mesin terbaru yang semua proses cetak, dari pasang kertas, mengatur tinta, sampai pengepakan dilakukan otomatis.

***

Eropa adalah kawasan makmur. Saya melihat mobil Mercedes mengetem alias menunggu penumpang di depan satu toko suvenir di Koln dijadikan taksi umum.

Supir bis yang membawa kami berkeliling Eropa selama tur, punya mobil Mercedes juga. Meski tak terlalu tampak di permukaan, kawasan Eropa sesungguhnya sekarang sedang mengalami krisis.

Jerman secara ekonomi tak terlalu parah, bahkan bisa dikatakan sekarang paling kuat di Eropa. Belanda juga tak terlalu kena dampak krisis. Tapi, di Spanyol pengangguran mencapai angka 25 persen. Dengan angka yang sama, di Mesir, menjungkalkan Hosni Mobarak, karena demo besar rakyat yang kehilangan pekerjaan.

Inggris yang tak masuk ke kawasan zona ekonomi Eropa, mengalami krisis terburuk melebihi krisis 80 tahun lalu, ketika terjadi pertumbuhan ekonomi negatif di tahun 1930. Pemerintah mengetatkan anggaran. Sejumlah fasilitas publik seperti perpustakaan, dan panti jompo ditutup. Ada demo para manula di Inggris. ‘’Penjahat saja dipenjara dapat makan. Apa salah kami? Kenapa kami tak diurus negara?’’ kata salah seorang kakek pendemo.

Kekecewaan rakyat juga yang membuat Nicolas Sarkozy, Presiden Prancis yang naik tampuk kekuasaan sejak tahun 2007 lalu, harus kalah dalam Pemilu putaran kedua Ahad (6/5) lalu. Ia kalah tipis dari calon dari Partai Sosialis, Francois Hollande.

Hollande yang akan segera dilantik akhir bulan ini, adalah presiden dari partai Sosialis pertama sejak Francois Mitterand. Ia dalam kampanye berjanji akan menarik pajak hingga 75 persen penghasilan orang kaya Prancis juga meninjau ulang perjanjian soal pengetatan anggaran untuk mengatasi krisis utang di kawasan Eropa. Artinya, Prancis di bawah Hollande akan ‘egois’.

Ini mencemaskan kestabilan ekonomi di kawasan Eropa, tapi jika pilihan rakyat yang jadi ukuran, maka itulah yang diinginkan Prancis.***

Hasan Aspahani, General Manager dan Pemimpin Redaksi Batam Pos. (RPG)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook