ESHA TEGAR PUTRA

Rida K Liamsi, dari Deru Ombak Sekanak hingga Stockholm (Bagian 1)

Feature | Selasa, 10 Desember 2013 - 17:30 WIB

Rida K Liamsi, dari Deru Ombak Sekanak hingga Stockholm  (Bagian 1)

DALAM pidato Peraih Nobel Sastra, Pada 13 Desember 1972, Pablo Neruda berkisah tentang perjalanannya suatu ketika menyusuri tempat-tempat terpencil di belantara rimba raya pegunungan Andes demi menemukan perbatasan negerinya (Chili) dengan Argentina. Dari kesunyian rimba tak bertepi, hamparan salju, kuda-kuda tumpangan terbenam hanya dengan kepala menyembul di permukaan sungai, hingga ritual magis pengembala sapi di tempat keramat tengah hutan diceritakan Neruda dalam pidato berjudul Menuju Kota Agung tersebut.

“Saya mengisahkan sesuatu tentang peristiwa di masa lalu, mengenang kembali sebuah kejadian yang tak terlupakan, itu karena dalam perjalanan hidup saya entah dimana saya selalu mendapat dukungan yang diperlukan: sebuah formula yang menanti saya,” terang Neruda mengapa dirinya bercerita tentang perjalanan itu dalam pidatonya saat meraih Nobel Sastra. Dari penjalanan itulah, Neruda menemukan komponen-komponen untuk menyusun puisi. Ia merasa dirinya menerima sumbangan dari tanah dan jiwa. Dan ia meyakini bahwa puisi adalah sebuah tindakan, sekelebat atau khidmat, dimana kesunyian dan solidaritas, aksi dan emosi, kedekatan pada diri sendiri, pada umat manusia, dan pada manifestasi ter­sembunyi alam masuk ke dalamnya (puisi) sebagai rekan sederajat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Banyak hal lain dikatakan Neruda dalam pidato tersebut, bukan hanya soal pemaknaannya tentang perjalanan, tapi lebih pada persoalan esensial hubungan penyair, puisi, dan ruang yang menghidupkan keduanya itu. Tapi pada bagian terakhir dalam pidato tersebut sangat menyentuh, “saya datang dari tempat gelap, dari tanah yang terpisah dari negeri lain oleh kontur tajam geografisnya,” kata Neruda.

Ia menganggap dirinya adalah penyair paling tak dikenal dengan puisi yang bercorak kedaerahan, pedih dan kuyup tersiram hujan. “Tapi saya percaya pada manusia,” tegasnya dengan mengakhiri pidato mengutip kata-kata Rimbaud: hanya dengan kesabaran membara kita akan menakhlukkan kota agung, yang akan memberi cahaya, keadilan, dan martabat bagi segenap umat manusia. Neruda menganggap, dari ungkapan Rimbaud tersebut, dengan demikian puisi tidak akan dilantunkan dalam kesia-siaan.

Bagian dari narasi pidato Neruda ini saya tuliskan lagi setelah membaca buku puisi pilihan Rida K Liamsi dalam dua bahasa (Indonesia–Inggris) berjudul Rose, terbitan Yayasan Sagang, 2013. Dalam artian, bukan hendak menyamakan proses kreatif atau capaian Rida K Liamsi dengan Neruda, tetapi ada beberapa bagian penting dari ungkapan Neruda yang hendak saya sandingkan dengan hantaran Sutardji Calzoum Bachri, yang memang menuliskan bukan sebagai kritik puisi, melainkan sebagai kesan seorang penyair terhadap penyair lain. Dan agaknya, memang saya tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan hantaran Sutardji, berulang, sebelum dan sesudah membaca buku kumpulan puisi Rose.

Sutardji menulis kilasan tentang puisi Rida K Liamsi dengan menyatakan antusiasnya terutama karena sejak awal kepenyairan Rida K Liamsi mengusung semangat perpuisian yang bertolak dari akar budaya Melayu Riau yang dijadikan pangkal jati diri dari upaya pencapaian puitiknya. “Sebagaimana kebanyakan para penyair dari Riau, puisi Rida sangat kental dengan warna lokal Riau,” tulis Sutardji. Tapi bukankan peneraan “warna lokal” yang diterakan Suratdji hanya akan memberi batasan terhadap pembacaan puisi Rida K Liamsi? Sebagaimana istilah warna-warna lokal lain yang juga seringkali diungkapkan kritikus dan seakan menghambat pemaknaan universalitas di dalam puisi-puisi yang ditulis oleh penyair dari beragam daerah.

Warna Lokal

Rose, buku puisi menghimpun 55 puisi Rida K Liamsi dari tahun 1970 hingga 2010. Tiga puluh (30) tahun pergulatan puitik Rida K Liamsi dipilih lalu dihimpun dalam buku puisi tersebut. Saya membayangkan bukan karena judul-judul puisi “Bulang Cahaya” (hal.9), “Tempuling”(hal.34), “Kemejan” (hal.42), “Jebat” (hal.80), dan beberapa puisi lain dengan pilihan-pilihan diksi yang jarang diucapkan dalam bahasa Indonesia sehari-hari lantas sebuah puisi dibatasi dengan istilah “warna lokal”.

Seperti Neruda dalam kutipan pidato di atas yang menyebutkan dirinya adalah penyair “paling tak dikenal dengan puisi yang bercorak kedaerahan, pedih dan kuyup tersiram hujan” atau ia dengan rendah diri menyatakan “datang dari tempat gelap, dari tanah yang terpisah dari negeri lain oleh kontur tajam geog­rafisnya,” maka pemaknaan warna lokal dalam istilah Sutarji terhadap buku puisi Rida K Liamsi saya pikir adalah sebuah penilaian dini seorang penyair terhadap penyair lain—meski Sutardji mengakui memperhatikan Rida sejak masa awal kepenyairannya.

Saya membayangkan ingatan dan pengharapan seorang penyair puisi “Ombak Sekanak” (hal.48) digagahi secara paksa dengan pewarnaan lokalitas, atau puisi “Dan Sejarah Pun Berdarah” dengan merekonstruksi kisah Tun Teja hanya akan dibatasi dengan pemaknaan (sejarah) lokalitas yang tentu hanya akan berpihak pada kekuasaan. Pada tahapan ini, saya memungkiri istilah warna lokal itu, baik yang diterakan Sutardji terhadap puisi-puisi Rida K Liamsi atau komentar kritikus terhadap penyair dari daerah lain. (*/pdk-Baca Bagian 2)

Esha Tegar Putra

Penyair, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook