Kecintaannya terhadap sejarah dan budaya Melayu membuat pria asal Kabupaten Kuantan Singingi itu menghasilkan puluhan karya bernilai estetika tinggi. Eksistensinya yang tunak dalam sejarah dan budaya tersebut mengantarnya menjadi seniman/budayawan penerima Anugerah Sagang 2013.
Laporan MARRIO KIZAS, Pekanbaru
TIDAK banyak tokoh yang mengabdikan diri pada dunia sejarah dan budaya secara bersamaan. Prof Suwardi MS berhasil mengkombinasikan itu dalam profesinya sebagai akademisi, sejarawan, ilmuan dan budayawan. Dia tahu betul memposisikan budaya Melayu sebagai warisan sejarah negeri ini.
Pria yang merupakan guru besar Universitas Riau itu menilai pengembangan sejarah budaya Melayu merupakan bagian yang sangat penting. Pasalnya,bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang terpusat di Riau.
‘’Melalui momen sumpah pemuda ini, sejarah budaya Melayu perlu kita angkat lagi. Yang harus kita ketahui itu, sumbangan Riau kepada bangsa ini bukan hanya dari sumberdaya alam, tetapi juga menyumbangkan budayanya, salah satunya bahasa Melayu,’’ papar pria yang telah menuliskan puluhan buku bernuansa Melayu tersebut.
Menurutnya, Melayu dapat mengintegrasikan segala macam etnis. hal ini terlihat karena etnis lain di Indonesia dapat menerima itu. Sehingga budaya Melayu berperan sebagai pemersatu dan mempererat silaturahim.
Sosok yang dikenal tunak dalam bidang sejarah itu mengaku senang dan mengucapkan terima kasih atas Anugerah Sagang yang diberikan kepadanya. Dari karya-karyanya terlihat komitmennya yang tinggi dalam memberikan yang terbaik dalam bidang sejarah budaya Melayu. Hal itu diwujudkan dengan puluhan karya yang telah dituangkannya dalam buku, karya penilitian dan makalahnya tentang sejarah dan budaya Melayu di Riau.
Saat berbincang dengan Riau Pos, pria yang memiliki lima orang anak itu menceritakan tentang buku sejarah Riau yang disusunnya bersama rekan-rekan penulis. Buku itu mencakup aspek sosial, politik, budaya, seni, religi. kemudian karyanya dilanjutkan dalam penulisan buku sejarah perjuangan rakyat Riau dari tahun 1942-2002.
‘’Sekarang kami ditugaskan Mendikbud menulis sejarah Riau kembali sebagai sejarah lokal. Buku ini sekitar 300 halaman. Intinya dari ketiga buku itu dari pra serjarah sampai zaman mutkahir. Memang di Riau lanyak melahirkan sejarah dan nilai-nilai budaya,’’ urai pria berkaca mata itu.
Suwardi menilai, anugerah dari Yayasan Sagang merupakan apresiasi yang berharga. Pasalnya, Sagang sebagai suatu institusi yang mempunyai eksistensi dalam memberikan penghargaan kepada pelaku-pelaku budaya dan seniman. Hal itu menunjukkan kemajuan budaya di Riau terus terlihat dari waktu ke waktu.
‘’Komitmen itu juga menjadi bagian kewajiban kita dalam mewujudkan visi Riau 2020. Jadi seluruh pihak harus mendukung itu, karena Yayasan Sagang merupakan suatu momen yang menunjukkan kemajuan budaya di Riau dari hasil penilaiannya,’’ imbuh pria yang juga sebagai pakar rujukan di Akademi Seni Melaka dari Akademi Seni Melaka itu.
Dia menilai, perkembangan budaya Melayu di Riau terus memperlihatkan tren positif. Itu terlihat dari pemakaiann baju Melayu setiap hari Jumat, arsitektur bangunan dan dari aspek pendidikan. Hanya saja, untuk mengoptimalkan itu, perlu dikembangkan dengan kajian-kajian yang lebih mendalam, seperti dengan penerapan dalam muatan lokal di sekolah.
‘Yang penting itu bagaimana mendalami naskah-naskah Melayu dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting, karena naskah Melayu terkandung nilai-nilai luhur budaya Melayu itu. Mulai dari aspek sistem pertanian, sistem politik, kepemimpinan, sistem kekerabatannya, sistem keagamaan dan kepercayan serta sistem seni dan kebudayaanya,’’ ungkapnya.
Dia mengaku baru saja mengikuti Festival Seni dan Budaya di Batam. Di sana, Suwardi melihat partisipasi generasi muda cukup tinggi. Hal itu dinilai sebagai modal dasar untuk membantu melestarikan budaya lokal sebagai warisan sejarah.
‘’Selaku budayawan dan sebagai pendahulu, ya kita menghimbau dan berkewajiban memberikan bekal selalu kepada generasi muda secara berkelanjutan. Baik secara formal maupun secara informal dari lembaga kesenian dan kebudayaan. Para seniman dan budayawan juga diharapkan terus berkarya dalam pengembangan budaya melayu,’’ sambung pria yang juga pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya 30 Tahun dari Presiden Republik Indonesia.
Semenjak menjadi dosen FKIP Unri tahun 1966, berbagai jabatan penting pernah dilakoninya antara lain Pembantu Dekan Fakultas Keguruan, Dekan Fakultas Keguruan, Guru Besar di FKIP sejak tahun 1988, Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat dan Pembantu Rektor IV Unri.
Selain di dunia akademik, Suwardi MS juga aktif dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, antara lain Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Daerah Cabang Provinsi Riau. Selain itu sebagai sekretaris bidang pendidikan tinggi dan anggota PGRI dan pernah menjadi pengurus Lembaga Adat Melayu Riau serta beberapa organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.
Menurutnya, sumber sejarah, nilai-nilai budaya, adat-tradisi yang turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat Melayu dapat dijadikan petunjuk untuk mengenal dan menjadi modal dasar mengembangan sejarah budaya melayu. Sebagai sosok sejarawan dan budayawan, Suwardi MS telah melahirkan banyak karya tulis, baik berupa buku, hasil penelitian maupun dalam bentuk makalah.
Kecintaannya dalam budaya dituangkan dalam karya buku, seperti buku Raja Haji Marhum Telok Ketapang Malaka, Soeman Hs dan Pengabdiannya, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Riau, pacu Jalur dan Upacara Pelengkapnya, Dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya dan puluhan karya lainnya.(ksm)