Oleh: Hasan Aspahani
PADA bentangan peta kota, Amsterdam adalah lingkaran-lingkaran selang-seling antara kanal buatan dan daratan yang padanya berdiri gedung-gedung berfasad kuno. Sebagian besar jadi perumahan. Sebagian difungsikan jadi toko dan kafe. Kanal-kanal itulah yang jadi nadi pariwisata, mendatangkan jutaan turis saban tahun.
Hari kedua di Eropa, Sabtu (5/5), seharian kami habiskan di Amsterdam. Kota yang dengan mudah mengingatkan pada hubungan dulu dengan kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda yang kini adalah Indonesia, negeri kita. Ada nama tempat mengudap bernama ‘’Kafe Batavia 1920'’, juga kawasan bernama Borneo yang jadi stasiun tujuan jalur bus kota, juga perahu yang bernama ‘’Priok’’. Dan terutama kita bisa melihat kapal VOC masih utuh, tercagak gagah di salah satu sisi kanal. Entah sudah berapa kali direnovasi.
Yang sangat menarik saya adalah jalan-jalan di Amsterdam yang dibagi dengan adil antara pejalan kaki, jalur sepeda, angkutan umum trem dan bus, serta kendaraan pribadi. Tidak ada yang lebih diistimewakan, tak ada yang terabaikan. Semunya mendapat porsi yang proporsional. Di Indonesia, saya rasakan kini —baik di kota besar seperti Jakarta, juga di Pekanbaru maupun Batam— pengelola kota terlalu memanjakan kendaraan pribadi. Bahkan kendaraan umum yang harusnya jadi prioritas utama pun sering terabaikan, apalagi jalur untuk pejalan kaki. Dan sepeda? Nyaris tidak ada.
Saya menilai, kanal-kanal tersebut adalah ikhtiar tata kota untuk menyahabati alam. Bentang Kota Amsterdam terletak pada ketinggian di bawah permukaan laut. Sejak semula, ini adalah kota pelabuhan yang tak mungkin dipindahkan. Itu artinya tak mungkin menyerah pada ketinggian laut. Sekarang justru kanal itu yang jadi daya tarik wisatawan. Ada pelabuhan di tengah Kota Amsterdam. Grayline namanya. Di situ ada beberapa dermaga kecil. Ini adalah wisata berperahu yang menawarkan tur melewati kanal dan sepanjang jalan ada penjelasan soal gedung, jembatan bersejarah.
Kami mengambil paket tur yang makan waktu satu jam. Saya lihat pagi itu kami adalah rombongan wisatawan pertama. Hingga pukul 12.30 siang, ketika kami berkumpul lagi di titik itu, saya lihat rombongan turis justru semakin banyak. Musim semi, musim liburan, itu mungkin menjadi penyebab, mengalirnya turis pada bulan Mei ini.
Perahu-perahu di Amsterdam bertutup atap kaca dan pendek, karena harus melewati banyak jembatan. Kanal-kanal di Amsterdam bukanlah kanal yang terlalu bersih. Ada sampah tersisa di dinding kanal. Juga sisa-sisa gelas minuman mengapung. Tapi, ada hal lain yang menunjukkan ini adalah kota yang akrab dengan alam, termasuk binatang. Unggas-unggas, seperti camar, burung gagak, merpati, angsa, hidup seakan bagian dari riuh manusia. Mereka hinggap, menghabiskan remah-remah makanan di jalanan, bahkan bersarang di sela-sela dinding kanal yang bisa mereka tempati.
Saya kira, kota yang modern bukanlah kota yang gegap gempita menghadirkan simbol-simbol masa kini, seperti supermarket, mal-mal besar, gedung menjulang, papan reklame, tapi kota yang memuliakan manusia. Itulah kota beradab. Pengelola kota berikhtiar sekuat-kuatnya membuat nyaman penghuninya. Siapapun dia. Di Amsterdam, itu saya lihat pada ketegasan tata kota menyiapkan jaluar transportasi untuk jenis kendaraan apa saja. Termasuk pejalan kaki.
Saya melihat nyaris tak ada baliho besar di Amsterdam. Tak ada polusi visual yang muncul dari kesemrawutan papan iklan. Reklame di tempat umum hadir wajar di tempat yang disediakan untuk iklan-iklan temporer, tak makan waktu banyak. Saya melihat ada banyak pemberitahuan pameran seperti retrospeksi lukisn Van Goh, pertunjukan Margon Cohen yang namanya saya kenal dari sajak Goenawan Mohamad, sampai pengumuman novel terbaru dari seorang pengarang perempuan. Aura kota yang memberi harga tinggi pada budaya segera terasa.
Amsterdam adalah kota internasional. Pelancong dari berbagai bangsa dengan mudah ditemukan. Kita bisa melihat orang-orang lokal dan pendatang dengan hidung yang mengingatkan saya bagaimana sastrawan Budi Darma mendeskripsikan kecantikan sosok perempuan Olenka, dalam novel Olenka, ‘’hidung yang seakan dipilih dari bentuk terbaik dan diletakkan dengan baik di wajah itu’’.
Juga orang-orang berkulit hitam berambut terpilin, mereka yang berkulit kuning dengan bukaan mata yang sempit, dan mereka yang rapat mengerudungi rambut. Saya kira penduduk yang terbuka adalah syarat penting untuk menjadikan kota wisata bergairah seperti Amsterdam. Dua hal yang sepertinya ditonjolkan di toko-toko suvenir (hadir dalam desain t-shirt, stiker, magnet kulkas) di kota ini adalah: ganja yang legal, dan kawasan ‘’distrik merah’’ yang melegalkan segala hal-ihwal yang porno. Melintasi kawasan itu, dari jalan utama, sekilas bisa tampak apa yang ditawarkan di ‘’distrik merah’’.
Pada jendela-jendela kaca, diterangi cahaya lampu yang entah kenapa dipilih warna merah, perempuan dengan pakaian minim menjadi penerima tamu, sekaligus ‘iklan hidup’. Di tengah deretan pertokoan ramai, turis juga diberi pilihan untuk melihat Museum Seks. Tiketnya empat Euro. Ganja dan pornografi. Dua hal yang tentu saja bukan hanya itu yang membuat orang datang. Orang datang ke Amsterdam tak melulu ingin mendapatkan keduanya. Bukankah secara ilegal, keduanya bisa didapatkan di mana saja? Juga di negara yang paling puritan sekalipun.(bersambung)
Hasan Aspahani,
General Manager dan Pemimpin Redaksi Batam Pos.