SIAGAKAN AMBULANS PERAHU, GAGAS TABUNGAN IBU BERSALIN

Rosmiati, Bidan Berprestasi di Pedalaman Indragiri Hilir, Riau

Feature | Rabu, 10 April 2013 - 11:25 WIB

Rosmiati, Bidan Berprestasi di Pedalaman Indragiri Hilir, Riau
Bidan Rosmiati sedang bertugas melakukan pengecekan kehamilan seorang ibu di Desa Transmigrasi Tunggal Rahayu Jaya, Teluk Belengkong, Indragiri Hilir, beberapa waktu lalu. Foto: istimewa

Masih banyak wilayah Indonesia yang memiliki infrastruktur medis minim. Antara lain, pedalaman Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, tempat bidan Rosmiati bertugas. Untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat, pasien mesti ditandu dan menyeberangi sungai berjam-jam.

------------------------------

Laporan M HILMI SETIAWAN, Jakarta

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

------------------------------

PENAMPILANNYA sederhana dan apa adanya, tapi kreatif. Itulah sosok Rosmiati. Bidan yang bertugas di Puskesmas Pembantu Desa Tunggal Rahayu Jaya, Kecamatan Teluk Belengkong, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, itu berhasil menelurkan gagasan cemerlang di tengah kondisi infrastruktur kesehatan yang jauh dari kata layak.

Ditemui di Jakarta Kamis (30/3) pekan lalu, peraih Piala Satu Indonesia 2012 itu bertutur panjang lebar soal suka-duka berdinas di pedalaman Inhil. ‘’Tempat saya benar-benar terpencil, jauh sekali dari kota. Aliran listrik tidak menyala 24 jam setiap hari,’’ ungkap perempuan kelahiran Riau, 27 Oktober 1984, itu.

Alumnus D-3 Akademi Kebidanan Padang 2007 tersebut menjadi bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) mulai 2008 di Pemkab Indragiri Hilir. Dia lalu ditempatkan di desa terpencil di tengah hutan itu.

Baru bertugas, dia sudah dihadapkan pada kondisi kesehatan masyarakat setempat yang memprihatinkan. Yakni, angka kematian ibu dan bayi baru lahir yang cukup besar. ‘’Untuk ukuran desa kecil, angka kematian satu jiwa saja sudah besar,’’ katanya. Di desa itu ada sekitar 1.030 jiwa penduduk.

Istri Juslamin itu berterus terang, gaji pokok sebagai bidan PTT di Inhil Rp1,2 juta per bulan. Sebagai bidan yang bekerja di daerah khusus, Rosmiati mendapat tunjangan khusus Rp2 juta per bulan. Dia mengaku penghasilan tersebut sudah cukup untuk hidup bersama suami dan anaknya.

Rosmiati menuturkan, pada awal-awal bertugas sebagai bidan desa, dirinya sering dihadapkan pada kasus-kasus kehamilan dan kelahiran yang ekstrem. Misalnya, dia pernah diminta menolong menangani kasus kelahiran di pedalaman kebun sawit. ‘’Kasus itu terjadi di kecamatan tetangga. Tapi, karena bidan desanya kosong, saya diminta menolong kelahiran perempuan itu,’’ ujar ibu Rizqi Astra Nugraha, tersebut.

Padahal, untuk sampai ke lokasi pasien, dirinya harus naik motor dengan jalan tanah yang bergelombang. Karena belum hafal jalan, Rosmiati dan si pengantar berkali-kali tersesat di tengah hutan. Setelah sampai di lokasi, ternyata sudah enam jam ari-ari si bayi tidak keluar dari rahim ibunya. ‘’Pendarahannya lumayan hebat. Tetapi, bayinya berhasil dikeluarkan dengan selamat berkat bantuan dukun,’’ tegasnya.

Tanpa pikir panjang, Rosmiati langsung merujuk ibu yang kritis itu ke RSUD Puri Husada Tembilahan. Namun, evakuasinya sungguh berat. Sebab, di desa tersebut tidak ada ambulans yang siaga. Karena itu, evakuasi terpaksa dilakukan dengan cara manual. Pasien dibawa ke rumah sakit dengan ditandu warga.

Agar tidak kepanasan, pasien dipayungi dengan dedaunan seadanya. Selama hampir dua jam perjalanan, rombongan pasien akhirnya sampai di bibir sungai. Mereka harus menyeberangi sungai yang dalam dan deras untuk bisa menuju RSUD.

Penyeberangan itu perlu waktu sangat lama. Lebih dari empat jam. Naas bagi si ibu. Dia kehabisan darah dan meninggal di atas perahu. Kasus tersebut menjadi pelajaran berharga buat Rosmiati. Mulai saat itu, dia memperhatikan kondisi pasiennya secara lebih saksama. ‘’Risiko tersulit persalinan sekecil apa pun harus diantisipasi,’’ tegasnya.

Rosmiati juga menyiagakan sebuah “ambulans” perahu untuk mengangkut pasien yang perlu menyeberangi sungai menuju RSUD di ibu kota kabupaten. Hanya, untuk sampai ke “ambulans” tersebut, pasien tetap harus ditandu berjam-jam lewat jalan darat. Persoalan tidak berhenti di situ. Biaya “ambulans” perahu yang mahal juga menjadi ganjalan bagi warga desanya yang kebanyakan kalangan ekonomi rendah. Tarif perahu itu Rp2 juta-Rp6 juta per pasien, bergantung jarak yang ditempuh.

Rosmiati pun berpikir keras untuk mengatasi masalah tersebut. Dia akhirnya mendapat ide dengan menggalang dana kesehatan. Yakni, penarikan iuran wajib Rp2 ribu per kepala keluarga setiap bulan. Dana yang terkumpul diberikan kepada warga yang bersalin. Besarnya sekitar Rp500 ribu. Tapi, jika warga tersebut harus dirujuk ke RSUD, dana yang diterima juga semakin besar. Yakni, sekitar Rp1 juta.‘’Kalau tabungan ini, nominalnya terserah warga dan khusus bagi yang hamil saja,’’ terang dia.

Karena nominalnya tidak ditentukan, jumlah tabungan yang dikumpulkan masyarakat bervariasi. Rekor tabungan persalinan paling banyak mencapai Rp2 juta. ‘’Tetapi, ada juga yang tabungan persalinannya hanya Rp30 ribu hingga menjelang kelahiran,’’ katanya lantas tersenyum. Rosmiati tidak menarik potongan sepeser pun dari tabungan tersebut.  

Rosmiati yang menjadi koordinator bidan tingkat kecamatan itu sangat bersyukur karena peralatan medis di tempatnya bekerja kini lebih komplet. Sebab, akhir tahun lalu, dia menjadi pemenang penghargaan Satu Indonesia 2012 untuk kategori bidang kesehatan. Hadiah yang diterima berupa uang Rp55 juta. Penghargaan itu diprakarsai Astra Internasional. ‘’Sebagian uangnya saya belikan peralatan medis untuk kelengkapan Puskesmas kami,’’ tuturnya.

Sebagai satu-satunya tenaga medis di desa terpencil dengan tingkat kehamilan warganya yang rapat serta ancaman berbagai penyakit, Rosmiati berharap bisa diangkat menjadi PNS (pegawai negeri sipil). ‘’Supaya saya bisa bekerja dengan tenang,’’ ungkapnya. Selain itu, dia berharap ada penambahan jam singgah perahu atau speedboat ambulans. (*/c5/ari/jpnn/hpz)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook