Kampanye LSM asing Greenpeace di Indonesia diduga tidak murni untuk kepentingan lingkungan. NGO yang bermarkas di Belanda itu diduga kuat membawa kepentingan industri minyak nabati yang menjadi andalan negara Amerika dan Eropa. Kenapa?
Laporan JPNN, Jakarta
‘’TENTUNYA hal ini akan banyak merugikan minyak sawit produksi Indonesia.’’ Pernyataan tersebut dikemukakan Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB, Prof Endang Gumbira Said. Ia merespons penolakan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) asal Indonesia oleh Amerika.
Menurutnya, LSM asing terus melakukan kampanye negatif seputar industri berbasis sumber daya alam di Indonesia, termasuk industri perkebunan seperti sawit dan industri kehutanan yang menggunakan bahan baku dari hutan produksi.
‘’Tuduhannya juga masih sama. Yakni kerusakan lingkungan, pemanfaatan lahan gambut dan pelepasan limbah cair minyak sawit. Alasan mereka memang kelihatan sangat ilmiah, tetapi asumsinya saja yang kurang tepat. Sehingga kita (IPB, red) yakin, ada yang salah dalam dokumen mereka,’’ ujar Gumbira kepada wartawan, Rabu (8/2) lalu.
Ia mensinyalir gerakan LSM asing terutama Greenpeace membawa misi titipan dari industri minyak nabati di Amerika dan Eropa yang merasa terjepit pasarnya dengan perkembangan industri minyak sawit Indonesia.
Salah satu kiatnya adalah menebarkan kampanye negatif tentang lingkungan yang dibidikkan langsung ke Indonesia. ‘’LSM asing itu sepertinya mempunyai kepentingan tertentu terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Atau diperalat oleh sejumlah pengusaha besar Eropa yang merasa khawatir dengan perkembangan kentara industri sawit kita,’’ katanya.
Hingga 2011, produksi CPO Indonesia sudah mencapai 22-23 juta ton per tahun. Namun, dalam catatan Gumbira, pihak Barat memprediksi total produksi CPO Indonesia pada 2022 bisa mencapai 31 juta ton per tahun. Kenaikan ini tentu membuat resah industri nabati Amerika dan Eropa.
‘’Mereka khawatir biodiesel Indonesia akan menguasai dunia,’’ tegasnya.
Apalagi, lanjut Gumbira, produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan komoditas minyak nabati lain. Industri kelapa sawit juga memiliki keunggulan dari segi efisiensi lahan. Sementara, dari segi lahan, minyak sawit hanya membutuhkan 0,26 hektare untuk menghasilkan 1 ton CPO. Sementara, satu ton minyak kedelai memerlukan 2,22 hektare.
Minyak bunga matahari menghabiskan 2 hektare untuk 1 ton. Untuk minyak kanola sendiri membutuhkan 1,52 hektare. Kedua, dari segi produktivitas, minyak sawit sebesar 3,5 ton per hektare per tahun. Lalu, minyak kedelai 0,36 ton per hektare per tahun. Minyak kanola sebesar 0,55 ton per hektare per tahun, dan minyak bunga matahari mencapai 0,36 ton per hektare per tahun.
Sementara Pengamat Ekonomi Indef, Hendri Saparini juga mengingatkan, dalam persaingan global saat ini, isu apa pun akan digunakan Barat untuk menjamin kepentingan mereka. ‘’Dan ini yang bermain bukan hanya pemerintah, pengusaha, atau LSM. Tapi mereka secara bersama-sama berupaya menggolkan tujuannya,’’ papar Saparini kepada wartawan, kemarin.
Saparini juga tidak kaget jika pihak AS berupaya menghentikan ekspansi ekspor sawit Indonesia dengan berbagai alasan yang sering tidak masuk akal. ‘’Isu lingkungan itu bukan hal baru. Dulu juga pernah dibuat eco-labelling yang mewajibkan seluruh produk disertifikasi pro lingkungan. Sekali lagi, apapun akan digunakan untuk merebut persaingan global,’’ katanya.
Jurukampanye Media Greenpeace Asia Tenggara Hikmat Soeriatanuwijaya sebelumnya menjelaskan, sebaiknya penolakan CPO Indonesia oleh Amerika tidak mencari kambing hitam dengan menyalahkan pihak tertentu. ‘’Yang harus dilakukan pemerintah adalah komitmen kepada dunia atas kerja nyata untuk melindungi lingkungan di Indonesia dan memastikan industri sawit ramah lingkungan, lestari dan tidak melakukan pengrusakan lingkungan,’’ kata Hikmat.
Jika itu terwujud, katanya, dunia dan masyarakat Indonesia sendiri akan memberikan penghargaan dan tentunya industri sawit kembali menjadi primadona. ‘’Hal itu bukan tidak mungkin pasti akan terjadi,’’ katanya.(dms/ila)