CARA PEREMPUAN SUKU ASLI PERTAHANKAN KEARIFAN LOKAL

Menyocuk Atap dan Membuat Bakul Jadi Keahlian Turun-temurun

Feature | Minggu, 09 Desember 2012 - 08:06 WIB

Menyocuk Atap dan Membuat Bakul Jadi Keahlian Turun-temurun
Lina (38) perempuan Suku Asli Desa Kudap sedang menyocuk atap. Kerajinan membuat atap rumbia ini sudah turun temurun dilakukan oleh perempuan Suku Asli di Kabupaten Kepulauan Meranti maupun Kabupaten Bengkalis. Foto: GEMA SETARA/RIAUPOS

Menyusun helai demi helai daun rumbia atau daun batang sagu menjadi sekeping atap merupakan keahlian turun-temurun para perempuan Suku Asli Desa Kudap. Bahkan kegiatan menyocuk atap dalam ungkapan warga tempatan tak pernah lekang oleh waktu.

Laporan ERWAN SANI, Kudap

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

MENGENAKAN pakaian sederhana Lina (35) langsung menuju  bangsal yang sangat sederhana. Pasalnya  bangsal tersebut hanya ada atap yang terbuat helaian atau kepingan daun rumbia. Sedangkan tiangnya terbuat dari kayu lenggadai (sejenis bakau)  yang dibuat berbentuk persegi empat. Bangsal ini  tak berdinding sedikitpun. Bangsal yang dibuat tersebut hanya melindungi Lina dan orangtuanya Manah (55) agar tak terkena teriknya sinar matahari dan juga guyuran air hujan.

Bangsal yang terletak di belakang rumah panggungnya itu persis di atas busut atau gundukkan tanah agak tinggi. Sehingga ketika pasang naik bangsal tempat menyocuk atap tersebut tak terkena air. Untuk menuju bangsal ini, sama seperti menuju rumah Lina dan rumah warga Suku Asli atau Utan lainnya, yaitu menggunakan jerambah atau jembatan-jembatan menuju satu rumah ke rumah lainnya.

Ketika sampai di bangsal tersebut,  terlihat tiga kebat daun rumbia kering berukuran sepemeluk orang dewasa. Selain kebatan daun rumbia terlihat juga kebatan kecil mengkawan yang berasal dari pohon nibung tua. Mengkawan yang  merupakan celisan batang nibung  sebesar ibu jari orang dewasa inilah menjadi tulang atau penyangga dari ratusan helai daun rumbia kering sehingga menjadi sekeping atap rumbia.

Tak sampai disitu saja, berdekatan dengan tempat duduk Lina tampak lebih dari ratusan helai kulit berwarna kuning kecoklatan. Helaian kulit yang lazim disebut bintit warga pesisir ini diambil dari dahan daun rumbia.  ‘’Jadi dari batang rumbia semuanya bisa bermanfaat. Kalau untuk menyocuk atap daun kering atau muda bisa dijadikan daun atap.  Kemudian kulit dahan rumbia bisa dijadikan bintit atau tali untuk merangkai daun atap. Jadi mengkawan saja yang tak diambil dari batang rumbia itu, akan tetapi berasal dari batang nibung atau pinang,’’ kata Lina yang saat itu didampingi Batin Suku Asli atau Utan Desa Kudap Kecamatan Tasik Puyu-puyu, Bun Ho.

Ketika Riau Pos tiba di bangsal, Lina sedang menyusun helai demi helai daun rumbia kering  ke batang mengkawan. Tampak tangan Lina melipat daun rumbia dan menusukkan bintit sebagai pengikat atau perajut daun rumbia sehingga bersebati dengan batang mengkawan. ‘’Nak belajar nyocuk atap?,’’ ujar Lina dari dalam bangsal saat itu.

Sambil duduk berselimput di atas kuda-kuda kayu, tangan Lina  terus merangkai helai demi helai  daun rumbia kering. Dalam waktu 15 menit sekeping atap rumbia selesai dibuat Lina. Tampak sekeping atap rumbia terbuat begitu rapi.  Menurutnya, dalam sehari dirinya bisa menyelesaikan 20-30 keping atap.

Untuk bahan baku membuat atap rumbia ini tak pernah jadi persoalan bagi wanita dan orangtua suku asli Kudap selama ini. Karena untuk mendapatkan daun rumbia kering milik tauke-tauke yang memiliki kebun rumbia di Desa Kudap.  

 Begitu juga untuk mendapatkan mengkawan dan juga bintit, karena tinggal pergi ke baran atau hutan. ‘’Kalau daun rumbia untuk bahan baku buat atap tak ada masalah tinggal ngambek kat kebun merie (rumbia, red) tu,’’ kata Lina sambil meletakkan sekeping atap ke tumpukkan atap di samping bangsal miliknya.

Selama musim penghujan belakangan ini menyocuk atap atau membuat atap rumbia menjadi pekerjaan utama baginya bersama warga perempuan  suku asli lainnya. Selain membuat atap mereka juga membuat bakul atau rage tempat ikan teri yang digunakan suami mereka yang sehari-hari memasang gumbang menangkap ikan bilis (jaring penangkap ikan teri).

Seperti disampaikan, Saonah (65),  jika musim panas dirinya memotong karet atau menakik karet. Itupun bukan milik mereka akan tetapi mengambil upah dari pemilik kebun getah (kebun karet). ‘’Kalau tak hujan kami menoreh batang getah. Tapi kalau musim penghujan harus mengambil daun rumbia untuk buat atap. Kemudian bintit pelepah rumbia juga kami manfaatkan untuk buat rage (bakul,red),’’ jelas Saonah saat itu.

Harga Tak Sebanding Letih Membuat

‘’Sehari dapat 20 keping atap sudah hebat. Atap tu langsung kite jual same tauke,’’ kata Saonah yang dijadikan orang tua dan sesepuh bagi kaum perempuan suku asli di Kudap.

Jadi hampir semua warga suku asli kudap yang tinggal berdekatan dengan bibir Selat Bengkalis ini kerjanya menyocuk atap (membuat atap rumbia). Karena dengan begitu bisa membantu beban suami yang berharap dari hasil menangkap ikan bilis dari selat yang memisahkan Pulau Padang dan Pulau Bengkalis tersebut.

Menurutnya membuat atap rumbia tersebut tak hanya dilakukan kaum ibu-ibu saja akan tetapi keahlian menyocuk atap kata warga Kudap  juga diturunkan kepada anak-anak mereka. Bahkan anak-anak suku asli yang masih berumur tujuh tahun sudah bisa membuat atap. ‘’Menyocuk atap ini sudah keahlian nenek moyang kami dan sudah turun temurun dilakukan. Bahkan anak cucu kami sudah bisa menyocuk atap,’’ kata Saonah lagi.

Hanya saja harga atap per kepingnya terkadang tak sebanding dengan penat saat membuat atap tersebut. Hitung saja mulai dari mengambil daun rumbia, bintit rumbia kemudian membawanya ke rumah. Tak sampai disitu  kita juga harus masuk ke baran atau hutan untuk menebang batang nibung untuk dijadikan mengkawan.  Bayangkan saja, kata orangtua akrab dipanggil Onah ini, per kepingnya hanya di harga Rp500.  ‘’Kalau pun naik harganya paling tinggi Rp600  per keping. Itu dah mahal betul,’’ kata Onah lagi.

Dengan begitu dapat dibayangkan per harinya para kaum perempuan suku asli ini hanya mendapatkan uang kisaran Rp10 ribu hingga Rp15 ribu saja per hari. Namun bagi Saonah membantu dan meringankan beban keperluan keluarganya menjadi hal sangat membahagiakannya. Apalagi dengan adanya rutinitasnya menyocuk atap tersebut bisa memberi jajan dan keperluan anak dan cucunya untuk bersekolah. ‘’Anak-anak cucu kami kini dah bersekolah. Bahkan selalu kami ingatkan jangan ikut kami tak bersekolah susah di hari tue,’’ jelas Saonah.

Berkaitan dengan harga sekeping daun atap rumbia tersebut semuanya sudah ditetapkan tauke penampung daun atap yang mereka buat. Bahkan harga tertinggi pernah mereka dapatkan hanya seharga Rp700  per keping atap. ‘’Jadi kalau dalam seminggu kite dapat nyocuk atap 100 keping dapatlah duet agak Rp70 ribu. Tapi baru kemarin kite menjual harga per kepingnya Rp550 . Tapi macam mane lagi kite nak makan dan hari musim penghujan pula,’’ ucapnya.

Untuk di kampungnya baik itu harga atap atau bakul yang dibuat dari kulit pelepah daun rumbia tak pernah tinggi. Menurut Saonah jika orang tak banyak membuat daun atap harganya bisalah terkadang sampai Rp800 per keping. ‘’Tapi kalau dah musim penghujan harganya langsung merosot turun jauh. Itu tadi kate saye bisa per keping jadi Rp500. Dengan alasan tauke barang menumpuk dan belum terjual,’’ ucap janda dari Suku Asli ini lagi.

Per harinya bagi Saonah maupun Lina langsung menjual daun atap yang telah dibuatnya tersebut. Dalam sehari biasanya dirinya langsung menjual 15-20 keping atap. ‘’Terkadang kite langsung ambil barang dari tauke. Kalau duet tak cukup kite bisa ngutang same tauke yang ngambil daun atap kite. Itulah membuat kite terbantu ketika kite kehabisan barang belanjaan di rumah,’’ lanjutnya.

Jadi, kata Lina, tak bisa juga keluarganya menyalahkan tauke. Karena ketika sangat memerlukan belanjaan bisa hutang dahulu. Kemudian setelah ada daun atap, rage atau bakul dari kulit pelepah daun rumbia itu bisa dibayar utang langsung. ‘’Jadi ada barang untuk dijual langsung bisa ngambek belanjaan lagi, kalau kurang bayar hari berikutnya,’’ ucap Saonah.   

 Mencari Kerang-kerangan Jadi Alternatif

Jika musim pasang surut kecil para perempuan Kudap ini juga tak tinggal diam. Selain menyocuk atap, biasanya pagi-pagi pergi merapah anak-anak sungai yang ada di pulau seberang atau di Pulau Bengkalis. Adapun anak-anak sungai mereka rapah tersebut, seperti berada di Desa Nyatuh dan  desa lainnya.  

Menurut Saonah, dirinya ditemani beberapa keluarganya dan terkadang membawa anak mereka untuk mencari lokan, buah tanah, sepetang (jenis kerang-kerangan yang ada di anak-anak sungai air masin). Sedangkan musim air pasang surut naik mereka mencari makau he (rame-rame sebutan sebagian warga pesisir). ‘’Makau he terkadang harganya sangat menjanjikan per tiga ekor biasanya di harga Rp10 ribu. Jadi lumayan juga,’’ jelasnya.

Untuk harga kerang-kerangan ini sebenarnya sangat menjanjikan. Hanya saja tak bisa turun setiap harinya. Jadi bagi perempuan dan anak-anak suku asli di Desa Kudap ini mencari lokan, sepetang, buah tanah pada musim air kecil saja. Kalaupun musim air besar hanya bisa mencari siput sedut yang biasa dijual rumah makan Melayu yang ada di Pekanbaru atau ibukota kabupaten/kota di Riau.

Untuk harga lokan  per biji ukuran besar bisa mencapai Rp1.000. Akan tetapi jika kecil biasanya dijual dua atau tigi biji seribu. Sedangkan untuk siput sedut per kilogramnya Rp5.000. ‘’Itupun terkadang tak ada orang mau beli. Akhirnya untuk makan sendiri aje,’’ kata Saonah lagi.

Berbeda dengan harga sepetang yang juga jenis kerang-kerangan per 100 biji ukuran ibu jari orang dewasa bisa terjual Rp100.000. Akan tetapi untuk mencari sepetang sangat sulit dan tengok betul musimnya. ‘’Karena hanya ada di Pulau Bengkalis saje. Di Pulau Padang atau tempat kami ini tak ada,’’ ucapnya.

Namun untuk makau he atau rame-rame setiap musim air pasang naik tinggi bakal banyak warga suku asli mencarinya. Selain pemasarannya mudah dan banyak masyarakat yang suka. ‘’Terkadang makau he langsung di jual ke Selatpanjang. Karena di sana laris manis makau he itu,’’ lanjutnya.

Dapat Dukungan Tokoh Suku Asli

Keberadaan daun atap bagi masyarakat pesisir pantai Selat Melaka maupun beberapa daerah di Riau masih sangat diperlukan. Paling tidak atap-atap yang terbuat dari daun rumbia ini masih menjadi salah satu  bahan kontruksi bangunan sebagai pengganti seng ataupun genteng.

Keperluan akan daun atap inilah, sejak lama kerajinan tangan warga suku asli di Kudap, Perawang hingga Bandul terus terjaga. Bahkan keberadaan atap dari Kudap, Perawang, Selat Akar atau Bandul terkenal di Pulau Bengkalis hingga ke Selatpanjang. Karena ribuan keping atap rumbia hasil dari tangan para perempuan Suku Asli ini  dibeli masyarakat.

‘’Membuat daun atap rumbia ini sudah menjadi kerajinan wajib dimiliki para anak cucu kami. Karena kerajinan ini sudah turun temurun. Jadi setiap anak harus tahu membuat atap rumbia. Paling tidak atap dibuat untuk keperluan sendiri,’’ jelas Batin Suku Asli Kecamatan Tasik Puyu-puyu, Bun Ho kepada Riau Pos.

Menurutnya Bun Ho, atap-atap dibuat anak keturunan saat sekarang tak lagi untuk keperluan sendiri akan tetapi sudah bisa menjadi penopang kehidupan keluarga. Ketika tangkapan ikan atau suami tak ada pekerjaan sebagai buruh, mau tak mau hasil dari menyocuk atap atau membuat atap bisa jadi sandaran hidup. ‘’Kalau harga memang tak mahal. Tapi cukuplah untuk membeli gula kopi dan beras. Kalau lauk bisa turun ke sungai atau ke laut kejap,’’ ucapnya.

Hal serupa disampaikan  Adnan (35) sebagai tokoh pemuda di Desa Kudap. Dikatakannya pekerjaan 96 KK dan 500 lebih jiwa di RW 01 RT 02 Desa Kudap tersebut menggantungkan hidup dari tangkapan ikan di laut, sebagai buruh dan kaum perempuannya membuat atap atau rage (bakul). Sesekali kaum perempuan mencari makau he (rame-rame), lokan, sepetang, buah tanah dan juga siput sedut. ‘’Kalau untuk hidup bisalah. Tapi untuk mencari lebih tak dapat. Membiayai anak sekolah sampai tingkat SD saja sudah sukur,’’ ucap tokoh pemuda yang akrab dipanggil Denan ini lagi.

Menurutnya, untuk atap-atap yang dibuat para perempuan Suku Asli ini pemasarannya terdapat di tiga pulau. Baik itu Pulau Bengkalis, Pulau Padang, Merbau dan Tebingtinggi dan Rangsang.  ‘’Akan tetapi lebih banyak di Bengkalis,’’ ucapnya.

Agar para perempuan Suku Asli tak putus bahan baku untuk membuat atap rumbia, pihak Batin Suku Asli Kudap sudah melakukan kerja sama dengan pemilik kebun rumbia di Desa Kudap. ‘’Kita diberi kewenangan untuk mengambil daun rumbia dan menumpang tinggal di lahan milik tauke di tepi laut ini,’’ jelasnya.

Untuk mengambil daun rumbia, sekaligus membersihkan lahan mereka. ‘’Kan secara otomatis ketika kita ngambil daun rumbia kering, kita membersihkan kebun rumbia para tauke tersebut,’’ ucapnya.

Keperluan Masih Terbatas

Keperluan akan daun atap rumbia terus tergerus oleh atap yang dibuat secara modern yaitu atap seng dan genteng. Dengan kurang peminat atap rumbia ini sehingga keperluan atap rumbia ini lebih terjual pangsa pasar lokal saja. Bahkan pasarannya antar desa dan kecamatan saja.

 Seperti disampaikan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Kadisperindag) Kabupaten Kepulauan Meranti, Drs Syamsuar Ramli kepada Riau Pos,  bahwa di Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi besar untuk pembuatan atap rumbia. Hanya saja selama ini atap rumbia ini kalah saing dengan atap-atap seng dan juga  genteng. ‘’Kalaupun ada jumlah yang diperlukan masyarakat sangat terbatas. Terutama masyarakat yang masih mau memasang atap rumahnya dari daun rumbia,’’ jelas  Syamsuar.

Dikatakannya, pemasaran atap-atap rumbia yang dibuat masyarakat Kepulauan Meranti sudah tersebar ke beberapa daerah. Terutama di Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak. Bahkan terkadang sampai ke Pekanbaru. ‘’Tapi tidak setiap hari, tergantung pesanan saja. Kalau yang pesan baru dibuat,’’ jelasnya.

Yang jelas keperluan atap rumbia ini sifatnya masih lokal. Kemudian untuk pemasaran ke luar daerah masih sangat sulit. ‘’Karena produk kita jual tergantung dari kualitas atap rumbia yang dibuat masyarakat,’’ jelasnya.

Akan tetapi, kata Syamsuar, kerajinan atap rumbia juga sangat membantu perekonomian masyarakat. Karena secara tak langsung pendapatan dari membuat dan menjual atap rumbia bisa menghidupi keluarga. ‘’Rata-rata satu atap rumbia bisa mencapai Rp1.000 per kepingnya,’’ ucap Syamsuar.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook