DIBALIK PENGUSULAN REVISI KEPRES GAMBUT

Jangan Hanya Pikir Ekonomi

Feature | Minggu, 09 Desember 2012 - 07:03 WIB

Jangan Hanya Pikir Ekonomi
Sejumlah peneliti meninjau kondisi lahan gambut di wilayah pesisir Bengkalis yang rusak setelah terjadinya penebangan besar-besaran terhadap mangrove beberapa tahun lalu. Kini, kawasan itu gundul dan menjadi medan abrasi, pohon pun mati. Foto: CTPRC FOR RIAU POS

Usulan untuk revisi Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 32 tahun 1990 terkait ketebalan lahan gambut yang boleh dikelola dinilai sarat kepentingan bisnis. Sementara, faktanya, belum ada satupun bukti pengelolaan gambut yang sukses di negeri ini.

Laporan Buddy Syafwan dan Mahyudi, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pernahkah anda membayangkan kondisi lahan gambut satu juta hektare yang sempat menjadi trending topic sistem pengelolaan lahan gambut di era Soeharto? Kini lahan tersebut dianggap sebagai proyek gambut gagal di negeri ini. Kini pemerintah harus melakukan rehabilitasi atas kerusakan ekosistem yang terjadi.

Di Riau pun, upaya pemanfaatan lahan gambut pernah dilakukan, namun juga tak menghasilkan nilai yang maksimal. Dua pre kondisi yang pernah terjadi ini, menggugah sejumlah komponen masyarakat Riau untuk meminta pemerintah menghentikan penerbitan izin pengelolaan lahan gambut di atas 3 meter karena berisiko tinggi mengulangi kesalahan yang sama.

‘’Belum ada bukti konkret pemanfaatan lahan gambut yang berhasil maksimal. Selain padat modal, juga berisiko tinggi. Karenanya, harusnya, sebelum dilakukan revisi baik Keppres ataupun Perpres sebaiknya dievaluasi kembali terlebih dahulu pelaksanaan dari kebijakan yang pernah ada,’’ungkap Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari saat ditemui di kantornya di Jalan Angsa I Pekanbaru.

Lontaran Muslim tersebut bukan semata ingin menjelaskan kerugian lingkungan akibat peralihan fungsi kawasan, namun juga dikarenakan fakta bahwa upaya menggiring kebijakan membuka lahan gambut di atas tiga meter tersebut mencederai komitmen pemerintah terhadap penurunan emisi 26,5 persen.

Gambut merupakan kawasan lindung yang memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di satu kawasan, salah satunya menahan pelepasan emisi dengan menyerap karbon. Per hektare lahan gambut dengan ketebalan berkisar 6-7 meter mampu mengikat tak kurang dari 4 ribu ton karbon dan ini mengurangi dampak lanjutan dari terjadinya pemanasan global.

‘’Saya sendiri belum melihat draf usulannya. Tapi, ini lebih cenderung pada ekspansi lahan, karena, saat ini memang sulit untuk mencari lahan yang bisa dikelola untuk perluasan usaha baik perkebunan dan kehutanan di Indonesia, termasuk di Riau,’’ ungkap Muslim.

Sebagai salah satu provinsi dengan luasan gambut terbesar, yakni mencapai 40-an persen dari luar Riau yang mencapai 9 juta hektare, hampir dapat dipastikan saat ini, tidak banyak lagi lahan yang bisa dikelola dalam jumlah besar, selain kawasan gambut.

Selama ini, juga dijelaskan Muslim, keberadaan lahan gambut tersebut bukan berarti tak bermanfaat, karena pada kenyataannya, semenjak dahulu, banyak masyarakat yang hidup di lahan gambut. Masyarakat  mengelola lahan tersebut sebagai bagian dari aktivitas hidupnya seperti bertani dan bercocok tanam. ‘’Di wilayah pesisir Riau seperti Bengkalis, Pelalawan, Meranti, Inhil, masyarakat memanfaatkannya untuk bercocok tanam sagu. Hidup mereka dari sagu. Karenanya, tak mutlak harus dialih fungsikan,’’ sebut Muslim.

Karenanya, pihaknya malah mempertanyakan bila dikatakan, lahan gambut sebagai lahan terlantar dan berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan bila tak dikelola dengan baik.

Pendapat tersebut juga disampaikan Juru Kampanye Greenpeace, Rusmadya yang menyebutkan, tidak mungkin kerusakan lahan gambut disebabkan oleh masyarakat. ‘’Lahan gambut itu lahan yang sangat kompleks, sulit untuk dikelola dan butuh biaya yang tidak sedikit untuk memanfaatkannya. Karena itulah, kalaupun ada pihak yang bisa mengelola lahan gambut, pastinya itu bukan oleh masyarakat. Kita lihat sajalah, mana mungkin masyarakat bisa membongkar gambut, kan harus ada alat berat. Tidak ada masyarakat yang punya alat seperti itu, dan pastinya itu pekerjaan yang sangat mechanism,’’ ungkap Rusmadya.

Disamping itu, Rusmadya juga mengingatkan idealnya, pemerintah meneruskan komitmennya untuk melakukan moratorium dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan ini. ‘’Dengan melakukan pelepasan satu hektare lahan gambut saja, ada dua hal yang dilepas, yakni emisi yang dihasilkan pohon yang ditebang dan kerusakan rawa gambutnya. Satu hektare rawa gambut dengan kedalaman 1 meter bisa menghasilkan 500-800 ton karbon yang lepas.

Harusnya, penurunan emisi 26,5 persen itu riil. Harus dimanifestasikan dalam bentuk komitmen yang tegas dan melaksanakan moratorium. Moratorium itu kan harusnya istirahat dan melakukan evaluasi atas izin-izin yang ada. ‘’Mana yang lebih dari 3 meter diamankan dan ditata ulang kembali. Seperti di Kampar, Pelalawan, Inhil, di sana ada lahan gambut yang dikelola diatas 3 meter. Harusnya kita selamatkan itu. Jadi, kalau usulan baru di atas 3 meter diakomodir, artinya itu mengisyaratkan upaya penghancuran.

Harusnya, dijelaskan Rusmadya, jika ada usulan perubahan terhadap kedalaman gambut yang bisa dikelola, harus mengacu pada kajian-kajian yang komprehensif. Kalau hanya kelompok-kelompok tertentu yang diakomodir, regulasi yang dihadirkan hanya untuk kepentingan tertentu juga. ‘’Harusnya, kan ini bukan cuma bisa dipertangungjawabkan, tapi juga bisa dipertanggunggugatkan. Apa mereka siap? Kan kenyataannya, dampak bencana yang menanggungnya masih pemerintah daerah, negara. Apa mereka mau bertanggung jawab?’’ tentang lelaki yang biasa disapa Kecang ini.

Namun begitu, ditambahkan dia, banyak sekali penelitian ilmiah yang sudah dilakukan terkait pemanfaatan lahan gambut dan belum ada yang merekomendasikan kelayakan pengelolaannya, apalagi untuk gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Pihaknya sendiri menilai, upaya melakukan revisi terhadap peraturan kedalaman gambut yang bisa dikelola tersebut terkesan merupakan buah dari upaya membut justifikasi atas pemanfaatan lahan gambut yang saat ini banyak kesalahan. ‘’ini semacam justifikasi yang terus dicari, sementara fakta ilmiahnya, seperti kasus di Semenanjung Kampar malah kita tidak pernah bisa mendapatkan. Harusnya kan kita bedah bersama, menghadirkan para pakar dari lintas disiplin ilmu sehingga tergambar fakta-fakta kelayakannya,’’ jelas dia.

Pakar gambut Riau yang juga Direktur Center for Tropical Peat Swamp Restoration and Conservation, Haris Gunawan yang hampir selama lima tahun terakhir melakukan penelitian rutin terhadap pemanfaatan lahan gambut di Semenanjung Kampar dan Bukit Batu juga ikut mempertanyakan fakta ilmiah yang bisa dibuktikan terkait pengusulan revisi pemanfaatan lahan gambut di atas tiga meter tersebut.

‘’Kita tak bisa menyederhanakan permasalahan gambut seperti kita membuat sebuah keputusan sederhana, karena gambut berkaitan dengan tiga unsur penting dari sebuah ekosistem yakni, tanah, air dan hutan. Untuk menata masalah air saja, kita tidak bisa sekedar melakukan rekayasa, membuat tata air, namun juga mempertimbangkan dampak alaminya dalam waktu yang cukup panjang,’’ jelas Haris.

Belum ada bukti yang bisa menguatkan fakta-fakta ilmiah tentang pengelolaan lahan gambut di atas 3 meter itu tak akan berdampak dan belum tentu juga teori yang digunakan untuk mengubahkan sesuai dengan kondisi di lapangan.

‘’Kalau boleh juga saya menyederhanakan penjelasan seputar rencana tersebut, saya hanya mengatakan, sebaiknya kita mencari alternatif-alternatif lain dalam pemanfaatan lahan gambut selain untuk kepentingan bisnis dan ekonomi semata, karena, dampaknya baru bisa kita rasakan ke depan,’’ ujar doktor lulusan Universitas Kyoto ini.

‘’Harusnya kita mencari hal-hal baru yang bisa menunjukkan peran yang bisa dilakukan untuk mengelola lahan-lahan gambut tersebut. Bisa saja dengan mengembangkan ekowisata, atau mengembangkan potensi-potensi lingkungan yang selama ini sudah melekat di tengah masyarakat seperti bercocok tanam, mencari ikan atau bertani sagu yang juga banyak dilakukan di Riau,’’ ungkapnya.

‘’Kalaupun ada kesalahan yang telah kita lakukan sebelumnya, terkait dengan pemanfaatan lahan gambut baik untuk usaha kehutanan maupun perkebunan kelapa sawit, kita maafkanlah, kalau memang tak bisa kita perbaiki. Tapi, untuk yang ke depan ini, jangan lagi hanya memikirkan aspek ekonomi semata, lupakanlah dan pertahankan apa yang masih kita punya ini,’’ pinta Haris.

Pertimbangan tersebut, menurut Haris, bukan karena ingin menyederhanakan persoalan, namun lebih dikarenakan fakta bahwa sampai sejauh ini belum ada satupun fakta pembukaan lahan gambut bisa dibenarkan. ‘’Lahan gambut itu bukan lahan yang bisa kita perbaiki, bisa kita tanam dan pelihara, karena gambut itu tumbuh sebagai proses alami. Begitu kita hancurkan, kita tidak akan bisa memperbaikinya. Bila rusak, bukan saja lahan gambut itu saja yang hilang, tapi keragaman hayati dan ekosistem lingkungan di sekitarnya juga hilang. Apakah kita siap untuk mempertanggung jawabkan itu?’’ ujar dia.

Contoh sederhana, menurut Haris adalah terkait dengan kerusakan yng diakibatkan kebakaran lahan. ‘’Kita tidak siap untuk menghadapi kebakaran di lahan gambut tersebut. Apakah lantas yang membakar itu masyarakat? saya tidak yakin itu, karena faktanya, masyarakat sudah lebih dahulu menyerah untuk memanfaatkan lahan itu. Masyarakat mana mau mengelola gambut, biayanya mahal, hasilnya tidak maksimal. Yang bisa melakukan itu adalah pihak-pihak dengan modal besar, ya, perusahaan, pemilik modal, jadi bukan masyarakat seperti yang digambarkan,’’ jelas Haris.

Bahkan, dia mempunyai contoh berapa banyak masyarakat yang kemudian minta ampun karena mengalami kerugian akibat kebakaran lahan. ‘’Kita di tengah masyarakat itu, dan kerusakan lahan gambut itu tidak benar dilakukan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat kita malah menggantungkan hidup di sana kan?’’ ujarnya.

Begitupun perihal pengelolaan gambut lestari yang sering diperdengarkan, menurut alumni IPB dan ITB ini, hal tersebut tidak pernah ada. ‘’Itu hanya bahasa administrasi, di atas kertas saja. Di lapangan, pemilik lahan dengan luasan yang tidak terkira itu bahkan cenderung bagaimana supaya gambut ini cepat dimusnahkan,’’ keluhnya.

Begitupun, Haris menjelaskan bukan berarti lahan gambut itu tak bisa dikelola. Kalau lahan itu dimanfaatkan tanpa mengubah fungsi ekosistemnya,tidak menjadi persoalan. Karena, ada juga banyak jenis tanaman yang bisa hidup di habitat alaminya di lahan gambut. ‘’ Seperti jelutung, bintangur, ramin, itu hidup di sana dan bertahan lama. Kalau memang ada yang mau membudidayakan itu, mengapa tidak? dari pada kita membuat ekosistem buatan yang sama sekali belum ada landasan yang kuat bagi kita untuk menguji kesuksesannya di jangka panjang dan dampaknya. Jangan lagi gunakan sawit, akasia itu, jangan hanya mempertimbangkan ekonomi saja,’’ jelasnya.

Riau sendiri memiliki lima blok areal gambut dengan sebaran terlias di sejumlah daerah seperti di Bukit Batu, Kerumutan, Senepis, Libo dan  Semenanjung Kampar dengan luas mencapai 4,4 juta hektare. Per hektare bagian bawah gambut dengan kedalaman rata-rata kedalaman 7 meter bisa menghasilkan 4.900 ton. Bila kita berpikir mempertahankan ini, menjadikannya menjadi komoditas ekonomi dari pengelolaan lingkungan dengan menjual karbon, pastinya itu sangat besar nilainya. ‘’Jadi cobalah membuat kreatifitas lain selain merusak apa yang masih tersisa ini,’’ pinta dia.

Usulan tentang revisi peraturan mengenai pemanfaatan lahan gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih pada Keputusan Presiden (Kepres) nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, karena sudah tidak relevan disampaikan Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Prof Supiandi Sabiham,  Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) DR Suwardi, ahli pemetaan sumberdaya alam dari IPB Mahmud Raimadoya, dan ahli hidrologi dan fisika tanah dari IPB Prof. Budi Indra Setiawan saat rapat dengan Komisi IV DPR RI  gedung DPR Jakarta, Kamis (29/11) lalu.

Supiandi berpendapat, kedepan regulasi terkait lahan gambut perlu diatur secara proporsional agar bisa mengakomodir kepentingan masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan konservasi. Pada prinsipnya gambut dengan kedalaman tiga meter atau lebih bisa dikelola dengan teknologi tata kelola air yang baik.

‘’Pemerintah perlu fokus pada penyediaan kebutuhan lahan pertanian, pangan, perkebunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bisa diakomodir dari lahan gambut,’’ ungkapnya.

Menurut Supiandi, semakin baik sistem pengelolaan air, semakin baik pula pengelolaan gambut. ‘’Ini karena sifat gambut yang mengkerut atau subsiden ketika kekeringan atau terdrainase secara berlebihan. ‘’

Ia mengatakan, bahwa selama ini masyarakat terlalu terpaku dengan batasan aturan gambut dengan kedalaman tiga meter. ‘’Padahal dengan kemajuan teknologi,  aturan gambut dengan kedalaman tiga meter tidak perlu diperdebatkan, karena gambut masih bisa dikelola demi kepentingan bangsa Indonesia,’’ terangnya.

Karena itu, lanjut Supiandi, akan bijaksana jika sebagian gambut bisa dikonservasi dan sebagian bisa dikembangkan .’’Memang ada beberapa areal dengan gambut tebal yang tidak bisa diusahakan, tetapi juga ada areal dengan gambut tipis yang idak bisa diusahakan. Misalnya gambut tipis yang dibawahnya tanah mineral yang berpotensi subsidensi,’’ ucapnya.

Hal serupa juga dikemukakan Suwardi yang mengatakan, bahwa lahan gambut menjadi sorotan banyak pihak karena ada dua hal, yaitu pertama kegagalan pengelolaan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah pada waktu yang lalu karena tidak disertai kajian yang komprehensif, kedua adalah karena adanya kepentingan bisnis.

Dia mencontohkan penanaman akasia di lahan gambut dimana di Indonesia hanya memerlukan waktu lima tahun sampai panen, sementara di wilayah sub-tropis memerlukan waktu 20 hingga 30 tahun. ***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook