Laporan ZEMKA, Tanjungpinang
Seniman dan sastrawan nasional asal Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri, Abdul Kadir Ibrahim yang akrab dipanggil Akib ditetapkan oleh Tim Penilai Anugerah Sagang sebagai Seniman Serantau Pilihan Sagang 2013.
Anugerah ini tak terlepas dari ketunakan, kesungguh-sungguhan dan kesinambungannya dalam berkesenian sejak masih di Pekanbaru hingga Tanjungpinang.
Abdul Kadir Ibrahim telah berkiprah dalam dunia seni sejak masih kuliah di Pekanbaru dalam 1980-an. Bahkan setelah ia masuk dalam jajaran birokrat di Pemerintah Kota Tanjungpinang, kiprahnya di bidang seni budaya tak luntur.
Akib, selain terlibat sebagai penggagas berbagai iven, ia juga masih aktif menulis dan produktif menerbitkannya.
Dalam wawancara bersama RPG, akhir bulan lalu di Tanjungpinang, Akib mengatakan, ia tetap merasa sebagai orang yang belum melahirkan karya seni yang dapat dikatakan terbilang dan dibilang.
Ia mengaku juga tidak berpikir bahwa 2013 ini akan mendapat Anugerah Sagang 2013 untuk kategori Seniman Serantau.
‘’Saya tahu, Yayasan Sagang setiap tahun memberi penghargaan. Saya sudah beberapa kali masuk nominator, tetapi belum mendapatkannya. Alhamdulillah, tahun ini saya diberi kesempatan untuk memperoleh penghargaan yang sungguh bernilai patut dan bermarwah itu. Terima kasih kepada Yayasan Sagang dan khususnya kepada Ketua Dewan Pembina Yayasan Sagang, Bapak Rida K Liamsi,’’ katanya.
Akib mengaku, dirinya telah berkesenian sejak SD. Kala itu ia menjalaninya di Kelarik Natuna dan MTs di Sedanau-Natuna. Saya sejak sekolah di Natuna dan sampai Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pekanbaru aktif sebagai seniman musik.
‘’Saya anak band. Saya pemain gitar melodi. Sedikit-sedikit bisa menabuh dram. Tapi pada 1985 saya mulai bermesraan dengan karya sastra dan kemudian menulis puisi, naskah teater dan cerpen,’’ kenang Akib.
Pada akhirnya, karya-karyanya itu, dalam bentuk naskah teater ada yang dipentaskan di sekolah. Sedangkan puisi dan cerpen ada yang dibaca di acara bulan bahasa di sekolah.
Dimuat di media massa terbitan Pekanbaru, antara lain pada 1990-an di Riau Pos, dan RRI Pekanbaru.
Sampailah pada 1991 terbit kumpulan puisinya yang pertama 66 Menguak diterbitkan oleh Bengkel Teater Bersama, Pekanbaru.
Akib kemudian berkisah tentang aktivitasnya sebagai wartawan Riau Pos dan tetap dengan sungguh-sungguh menulis karya sastra, berupa puisi, cerpen dan esai sastra.
Aktif pula dalam berbagai iven kesenian di Pekanbaru dan pementasan teater di Pekanbaru dan Padang. Lima tahun kemudian, lanjut Akib, cerpennya berjudul Kerikil menjadi salah satu karya sastra pilihan Sagang 1996.
Setelah ia aktif dalam berbagai kegiatan seni, termasuk sastra, akhirnya Akib hijrah ke Midai-Natuna.
Di pulau itulah Akib kemudian menulis cerita anak yang berjudul Kanak Segantang Pulau, yang kemudian dinyatakan sebagai pemenang nominasi nasional dari Provinsi Riau dalam Sayembara Penulisan Buku Pusat Perbukuan Nasional 1997.
‘’Berkat kemenangan buku itu, saya akhirnya dapat pindah dari Midai ke Tanjungpinang pada pertengahan 1998,’’ kenang Akib.
Ketika di Tanjungpinang, di samping sebagai guru di SMP Negeri 4 Tanjungpinang, Akib juga menjadi Redaktur Tabloid Sempadan (Riau Pos Group). Meski sibuk, Akib terus menulis karya sastra, dan menggelar beberapa acara kesenian di Tanjungpinang.
Pada 2000, akhirnya kumpulan cerita pendeknya pun terbit, Menjual Natuna, yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang. Akib menggelar peluncuran dan baca cerpen dari kumpulan cerpen Menjual Natuna di Gedung Biram Dewa, kompleks Gedung Daerah Tanjungpinang.
Tahun berikutnya, buku cerita anak Harta Karun terbit (Unri Press, Pekanbaru, 2001). Buku itu diluncurkan dan dibacakannya juga di Gedung Biram Dewa, yang pada peluncuran itu tampil budayawan Hasan Junus sebagai pembahasnya.
‘’Saya bersyukur, kegiatan sastra yang saya buat waktu itu juga didukung oleh pemerintah setempat, Kabupaten Kepulauan Riau. Tentu juga para seniman, baik di Pekanbaru, Riau maupun di Tanjungpinang, Kepulauan Riau sehingga hari ini,’’ ujarnya.
Ditambahkannya, sebuah peristiwa sejarah yang tak kalah berkesan dirasakan Akib adalah ketika mendapat kesempatan diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Junewal Muchtar membaca puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia 2004.
‘’Di taman Ismail Marzuki, buku kumpulan puisi saya yang kedua, Negeri Air Mata diluncurkan. Dibahas oleh sastrawan ternama, guru besar UI, Prof Dr Sapardi Djoko Damono. Saya dan Bang Lawen baca puisi, dan alhamdulillah, mendapat sambutan secara nasional,’’ tutur Akib.
Ditanya harapannya setelah ditetapkan sebagai Seniman Serantau Pilihan Sagang 2013, Akib mengatakan, akan terus berkesenian, melahirkan karya-karya seni, khususnya sastra.
‘’Saya telah berazam, bahwa saya punya kewajiban untuk menerusi kegemilangan kepengarangan Mazhab Riau sebagaimana yang sudah diwarisi oleh Raja Ali Haji, Datuk Kaya Haji Ibrahim, Aisyah Sulaiman, dan sehingga diteruskan oleh generasi selepasnya, Rida K Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah dan lainnya,’’ tambah Abdul Kadir Ibrahim.
Suami dari Hj Ermita dan ayah dari Tiara Ayu Karmita, Safril Rahmat dan Sasqia Nurhasanah ini mengatakan juga kepengarangan di Kepulauan Riau sudah mendesak untuk mendapat perhatian.
Kepedulian dan dukungan yang wujud nyata dari pemerintah daerah, baik kabupaten, kota maupun Provinsi Kepulauan Riau.
‘’Orang mungkin tiak percaya kalau saya katakan, bahwa pengarang sastra di Kepri yang masih hidup sampai saat ini sudah kurang dari 15 orang. Yang ada itupun, sudah berusia di atas 40 tahun,’’ tambah Akib.
Meskipun dalam situasi dan kondisi yang jauh berbeda dengan era kepengarangan Raja Ali Haji dan generasi selepasnya, Akib akan terus melahirkan karya sastra. Untuk itu ia pun siap untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan anak-anak, generasi muda di Tanjungpinang khususnya, dan Kepri umumnya.
Menurut putra Hj Hatijah dan almarhum H Ibrahim Bukit, Anugerah Sagang yang diterima Akib itu menjadi kebanggan masyarakat dan pemerintah daerah kabupaten/kota dan Provinsi Kepri.
Sebab, Akib dalam kepengarangan sastra modern Indonesia, dikatakan banyak kritikus, akademisi atau pun sastrawan nasional, telah memberi andil yang berarti.
Salah seorang pakar yang memberikan pendapatnya tentang eksistensi Akib sebagai seniman, sastrawan, dan budayawan, dikatakannya Prof Dr Harimurti Kridalaksana, dalam tulisannya yang berjudul Akib Penerus Raja Ali Haji, sebagai buku Tanah Air Bahasa Indonesia, Komodo Books, 2013.
Kata Harimurti, masyarakat Kepulauan Riau beruntung karena kiprah budayawan Abdul Kadir Ibrahim (Akib) yang karya kreatif dan kepeduliannya mewakili kejayaan masyarakat Melayu abad ke-20 dan ke-21.
Periode yang bersambung ke masyarakat Indonesia modern, pewaris langsung masyarakat Melayu Riau. Karya-karya, membuktikan bahwa Akib menjalankan perannya sebagai eksponen kedua priode kebudayaan itu.***