DARI PELATIHAN MEDIA OIL & GAS INDONESIA-PENGENALAN PANAS BUMI DAN BISNIS PROSESNYA

Geothermal, Energi Masa Depan Indonesia

Feature | Sabtu, 09 Oktober 2021 - 08:18 WIB

Geothermal, Energi Masa Depan Indonesia
Salah satu pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kamojang Bandung, Jawa Barat. (INTERNET)

Potensi panas bumi (geothermal) di Indonesia cukup besar. Sebagai negara yang dikelilingi gunung berapai (ring of fire), panas bumi di Indonesia akan selalu tersedia sampai dunia kiamat. Potensi ini harus segera dimanfaatkan Indonesia agar krisis energi yang selama ini selalu terjadi bisa teratasi. Sayangnya potensi yang cukup besar itu belum sepenuhnya dikelola Indonesia dengan baik, padahal geothermal adalah energi masa depan Indonesia.

Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru


Selama dua hari Sabtu (25/9) dan Ahad (26/9) kemaren, puluhan wartawan dari berbagai media di Indonesia mengikuti pelatihan Media Oil & Gas Indonesia-Pengenalan Panas Bumi dan Bisnis Prosesnya. Kegiatan ini diselenggarakan Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Pamerindo Indonesia, JSK Petroleum Academy dan Nation Center For Sustainability Reporting.

Indonesia memiliki sumber daya panas bumi yang melimpah yaitu sebesar 23,76 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 2,13 GW. Sungguh sangat disayangkan, jika potensi  besar ini tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Dalam UU 21/2014 tentang Panas Bumi disebutkan, panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi.

Energi panas bumi bersumber dari energi panas yang terkandung dalam perut bumi dan pada umumnya berasosiasi dengan keberadaan gunung api. Air yang bersumber di antaranya dari hujan, akan meresap ke dalam batuan di bawah tanah hingga mencapai batuan reservoir yang umumnya pada kedalaman 2 Km.

Air ini kemudian terpanaskan oleh magma yang menjadi sumber panas utama sehingga berubah menjadi air panas atau uap panas (fluida thermal).

Aktivitas pengeboran (drilling) dilakukan untuk menembus batuan reservoir dan menemukan batuan permeable sehingga fluida thermal dapat diekstrak ke permukaan. Fluida thermal tersebut selanjutnya dialirkan ke turbin dan memutar generator sehingga menghasilkan energi listrik.

Setelah digunakan, fluida thermal selanjutnya diinjeksikan kembali ke dalam reservoir melalui sumur reinjeksi untuk menjaga keseimbangan fluida dan panas sehingga sistem panas bumi berkelanjutan.

Membuka pelatihan, Dewan Pengawas Aspermigas Prof Dr Subroto mengatakan, Indonesia dikaruniai Allah SWT dengan potensi dan kekayaan alam yang cukup besar. Indonesia yang berada di daerah tropis di bawah khtuliswa, sehingga energi surya tersedia banyak, tidak hanya itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang dikelilingi gunung berapi.

‘’Gunung berapi   merupakan kekayaan alam. Selain bisa berdampak negatif dengan terjadinya gempa bumi, keberadaan gunung berapi ini juga berdampak positif karena mengandung panas bumi. Panas bumi ini jika kelola secara baik dan bijak akan menghasilkan energi, khususnya untuk energi listrik. Energi yang dihasilkan dari panas bumi ini akan senantiasa tersedia sampai kapanpun, bahkan sampai dunia ini kiamat,’’ ujarnya.

Selain itu,  Indonesia juga  punya kekayaan di dalam laut, 70 persen negara ini dikelilingi air. Potensi air untuk dijadikan energi juga cukup besar, begitu juga dengan angin.  

Sekarang, tambahnya Indonesia berada di transisi energi, dari energi fosil ke  energi yang dinamakan reunable, transisi ini bukan gampang, karena Indonesia saat ini berada dalam pandemi Covid-19. Namun, itu bukanlah aral atau halangan untuk Indonesia untuk tidak berbuat mengatasi persoalan energi di negara ini.

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dr Ir Eko Budi Lelono mengungkapkan, pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi pada 2020 ini 11,2 persen dan ke depan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 64,36 MTCO2e. Pada 2030, akan mencapai 314 MTCO2e.

Pengurangana emisi, tambahnya  akan  dipercepat melalui penyediaan listrik melalui pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT), penerapan efisensi energi, Penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN), implementasi co-firing biomassa untuk mengurangi konsumsi untuk PLTU, pemanfaatan  Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB), dan transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi generasi bersih.

Ditambahkan Eko, pangsa EBT dalam bauran energi nasional  diperlukan program percepatan untuk menuju pencapaian target 23 persen dalam tahun 2025,  fokus kepada penerapan EBT yang lebih cepat untuk  dibangun dengan biaya pembangkitan yang kompetitif.

Kemudian, pertumbuhan demand listrik mengalami penurunan pada tahun 2020 dan kapasitas pembangkitan listrik eksisting dan yang akan COD cukup besar untuk sistem Jamali  dan menjadikan EBT sebagai salah satu kegiatan dalam program pemulihan ekonomi nasional.

Kelebihan Panas Bumi

Masih dikatakan Eko Budi Lelono, kelebihan panas bumi ini sangat banyak di antaranya dia senantiasa terbarukan (renewable) karena dia berasal dari proses alam dan  dapat berkelanjutan, emisi CO2 dan polusi udara rendah, digunakan sebagai pengganti energi fosil dengan perbandingan tingkat emisi CO2 yang jauh sangat rendah hingga bisa diabaikan.

Membutuhkan lahan yang tidak luas, untuk 1 Mwe lebih kurang 1 hektare (Ha) lahan yang dibutuhkan. ‘’Jauh lebih kecil jika dibandingkan dari pembangkit lain,’’ ujarnya.

Kemudian, base load stabil, karena setelah beroperasi akan menghasilkan  output yang stabil sepanjang waktu, tidak bergantung iklim hingga beberapa puluh tahun, relatif biaya murah per kWh bila dibandingkan pembangkit nuklir, batubara, minyak dan gas (pada kondisi setara) masih dapat bersaing bahkan lebih murah bila seting geologinya menguntungkan.

Selain itu, pilihan teknologi pembangkit bervariatif. ‘’Artinya seiring waktu, teknologi pembangkitan panas bumi menjadi lebih banyak dan bervariasi dari skala kecil hingga besar,’’ tuturnya.

Ditambahkannya, strategi yang akan dilakukan pemerintah dalam percepatan pengembangan panas bumi di antaranya dengan  penyiapan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP.

Optimalisasi sumber daya panas bumi pada Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) yang telah berproduksi  dengan pengembangan/ekspansi dan pengembangan pembangkit skala kecil, sinergi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola isu sosial/resistensi dalam pengembangan panas bumi.

Kemudian, pemerintah juga akan melakukan eksplorasi panas bumi hingga pengeboran dalam rangka peningkatan kualitas data wilayah panas bumi yang akan ditawarkan kepada badan usaha. ‘’Selain itu, pemerintah juga mengembangkan sumber daya panas bumi di wilayah Indonesia bagian timur,’’ tuturnya.

Selanjutnya pemerintah juga akan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan proyek panas bumi secara nasional yang melibatkan KESDM (Badan Geologi, DJ EBTKE, DJK), KLHK, Kemenkeu, Bappenas, Kemenperin, BKPM, dan Pemda, pemerintah juga akan melakukan sinergi BUMN dalam pengembangan panas bumi.

Melakukan penciptaan demand pada daerah yang memiliki sumber daya panas bumi tinggi namun demandnya rendah. ‘’Pemerintah juga akan melakukn joint study dan knowledge sharing antar stakeholders dalam pengembangan panas bumi,’’ ujarnya.

Pemanfaatan Baru 8,9 Persen

Sisi lain, Eko  juga menyebut potensi panas bumi di Indonesia cukup besar sekitar  23,7 GW, sayangnya potensi yang besar itu  pemanfaatannya baru 8,9 persen atau sekitar 2.130,7 MW.

Denagan kondisi demikian,  diperlukan percepatan pengembangan panas bumi dan adanya dorongan dari industri panas bumi sebagai strategi pemerintah untuk meningkatkan kualitas data dan informasi geosains panas bumi untuk menurunkan risiko pengembangan sebelum wilayah panas bumi ditawarkan kepada badan usaha,  meningkatkan keekonomian proyek panas bumi menjadi semakin kompetitif.

Terkait tantangan dalam pengembangan panas bumi itu sendiri menurut dia ada beberapa hal.  Pertama, area prospek berada pada kawasan konservasi dan warisan alam dunia, kedua, risiko eskplorasi dan akses pendanaan sebelum feasibility study (FS), ketiga, dinamika sosial dan keempat, efisiensi biaya untuk harga listrik panas bumi yang lebih kompetitif.

Panas bumi, tambahnya ke depan akan  menjadi salah satu harapan untuk memenuhi target ketahanan energi di masa depan. Pemerintah akan berusaha untuk mempercepat proses pengembangan panas bumi dengan melaksanakan program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah dengan tujuan mereduksi risiko di sisi hulu dan menarik minat investasi

Program percepatan dilakukan  Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan melalui pendanaan geothermal fund khususnya bagi swasta dan BUMN di bidang panas bumi. ‘’Salah satu tantangan pengembangan panas bumi adalah aspek sosial di mana peran dari media untuk berkontribusi dalam memberikan informasi dan edukasi terhadap masyarakat menjadi lebih benar dan positif,’’ ujarnya.

Tulang Punggung

Direktur JSK Petroleum Academy, Moch Abadi dalam pelatihan serupa menyebut, ke depan panas bumi atau gheotermal akan menjadi tulang punggung bangsa Indonesia dalam penyediaan energi. Mengapa, karena potensi energi panas bumi di Indonesia sangat berlimpah mencapai  23.765  MW. Indonesia berada di peringkat kedua di dunia setelah Amerik Serikat (AS).

‘’Potensi geothermal ini tidak akan habis selama dunia ini masih ada, geothermal merupakan energi baru dan terbarukan, beda dengan energi fosil yang akan habis dan tidak bisa terbarukan.  Di Indonesia potensinya cukup besar dan ke depan dia akan menjadi tulang punggung energi Indonesia,’’ ujarnya.

Mengapa ke depan Indonesia harus menggunakan energi panas bumi? Menurut dia selain potensinya cukup besar yang tersebar di 312 mulai dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Nusatenggara dan sebagainya, energi panas bumi ini lebih bersih dibndingkan energi fosil dan tidak menimbulkan pencemaran.

‘’Jika Indonesia fokus pada pengembangan energi geothermal ini dia akan lebih bagus,’’ ujarnya.

Selain itu, tambah dia persoalan global warming juga menjadi pertimbangan agar penggunaan energi panas bumi itu lebih ditingkatkan. ‘’Bumi makin panas, akibatnya kutub utara dan selatan mencair, akibatnya level air meningkat. Ini sangat berbahaya sekali bagi dunia, karenanya untuk menanggulangi itu salah satunya dengan mengurangi panas atau dengan menggunakan energi yang lebih baik seperti geothermal ini,’’ paparnya.

Menurut dia lagi, potensi besar ini tentu harus dimanfaatkan dalam upaya transisi energi. Apalagi seiring menurunnya produksi minyak dan gas bumi di Indonesia. “Jadi sesuai  target pemerintah untuk zero emission,  geothermal  harus mulai aktif dari sekarang,’’ ujarnya.

Investasi Tinggi

Wakil Ketua Jakarta Drilling Society Ashadi dalam kesempatan yang sama menyebut, di Indonesia untuk pengembangan energi panas memerlukan investasi yang cukup tinggi. Perkiraan biaya yang diperlukan untuk pengembangannya mencapai 4 juta dolar AS per MW.

‘’Dari perkiraan jumlah investasi yang diperlukan untuk pengembangan energi panas bumi,  pada fase drilling memerlukan investasi yang cukup besar,’’ ujarnya.

Kondisi ini,   membuat  pengembang harus memastikan bahwa potensi panas bumi di satu titik sudah sangat matang. Selain itu, biaya infrastruktur pengembangan panas bumi sekitar 10-15 persen dari total kebutuhan.  

“Membangun 10 MW  di Indonesia membutuhkan investasi sekitar  40 juta dolar AS. Ini data sebelumnya. Namun dengan kemampuan ekonomi tentunya biaya pembuatan akan lebih murah, yang sebelumnya 4 juta dolar AS-5 juta dolar AS, bisa diturunkan menjadi 3 juta dolar AS- 4 juta dolar AS per MW,” tuturnya.

Menutup pertemuan dua hari itu, Sekretaris Jendral Aspermigas Moshe Rizal Eng Ind MSc mengungkapkan, pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini berdampak pada berbagai sektor. ‘’Pandemi Covid-19 2020-2021 ini krisis unik,’’ ujarnya.

Apa perbedaan mendasar dibandingkan dengan krisis lainnya, pertama  ketidakpastian, tidak ada yang tahu persis kapan pandemi akan mereda, kedua, dampak global baik pada lintas negara dan maupun industri.

Ketiga, tambahnya  pandemi ini mengakibatkan krisis  yang merugikan permintaan dan penawaran, keempat, penyebaran dan dampak yang sangat cepat, kelima, krisis ini melampaui semua harapan dan kapasitas negara dan sebagainya.

Moshe menambahkan,  walaupun Indonesia masih dalam krisis dan belum dalam fase pemulihan, tetapi Indonesia mulai melihat cahaya di ujung terowongan.

‘’Potensi energi terbarukan Indonesia tinggi, dengan panas bumi dan solar PV di antara potensi terbarukan terbesar di Indonesia untuk masa depan,’’ ujarnya.

Dia juga menyebut, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan PDB yang kuat untuk membangun infrastrukturnya dan membawa negara ini ke dalam ekonomi terbesar ke empat di dunia pada tahun 2030, sehingga membutuhkan sumber energi yang hemat biaya dan lebih bersih untuk transisinya

‘’Gas dan nuklir adalah potensi yang paling menjanjikan dalam hal sumber daya dan efektivitas biaya untuk transisi Indonesia menuju masa depan yang lebih bersih,’’ tutupnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook