Semakin banyak pria Indonesia yang menikah dengan perempuan asing. Mereka kemudian menetap di Negeri Khatulistiwa ini. Marilyn Ardipradja menggagas perkumpulan Foreign Wives of Indonesia sebagai ajang kumpul-kumpul para istri asing sekaligus wadah untuk membantu persoalan teknis keimigrasian anggotanya.
SEKARING RATRI A., Jakarta
Penampilan Marilyn Ardipradja tidak berbeda dengan perempuan Barat pada umumnya. Yang membedakan, dia sangat fasih berbahasa Indonesia. Maklum, sudah 30 tahun Marilyn tinggal di Indonesia. Perempuan asal Melbourne, Australia, tersebut diboyong Achmad Mustakim Ardipradja, pria asli Indonesia, setelah mereka menikah di Negeri Kanguru itu.
Tidak hanya fasih berbahasa Indonesia, Marilyn juga paham budaya dan kebiasaan orang Indonesia. Perempuan berusia 66 tahun tersebut sudah terbiasa dengan perbedaan budaya di Indonesia dan negara asalnya. Namun, Marilyn membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Dia juga kerap mengalami cultural shocked atau gegar budaya.
"Awalnya susah sekali (menerima) karena perbedaan budaya dan kebiasaan yang cukup banyak. Tapi, saya beruntung karena suami terus mendukung. Kami juga selalu berkomunikasi tentang apa yang baik di sini, apa yang tidak sopan, dan hal-hal semacam itu," urai Marilyn saat ditemui di kediamannya di kawasan Rempoa, Tangerang Selatan, pekan lalu.
Menurut dia, komunikasi dan dukungan pasangan sangat berperan, khususnya bagi pasangan campuran atau mixed couple seperti dirinya. Sebab, Marilyn mengetahui sendiri bahwa tingkat kegagalan rumah tangga pasangan campuran cukup tinggi. Hingga mencapai 50 persen.
"Yang sering terjadi, pasangannya (Indonesia) tidak cukup memberikan informasi kepada sang istri atau sang suami yang orang asing. Suaminya (Indonesia) kurang menolong istrinya yang orang asing," ujarnya.
Ibu tiga anak tersebut mengakui, perbedaan budaya dan kebiasaan kerap menjadi persoalan bagi pasangan campuran. Karena itu, Marilyn berupaya membantu teman-temannya dari berbagai negara untuk memudahkan proses adaptasi di Indonesia.
Lewat wadah mutual support group yang diberi nama Foreign Wives of Indonesia, Marilyn sering berkumpul dengan perempuan asing yang bersuami orang Indonesia.
Sejak didirikan pada 1983, saat ini anggota Foreign Wives of Indonesia sudah lebih dari 200 orang dari beberapa daerah di Indonesia. Mereka berasal dari berbagai negara. Antara lain, Australia, Jerman, Prancis, Tiongkok, Filipina, Jepang, Inggris, Singapura, Belanda, dan Amerika.
Usia para anggota pun bervariasi. Ada yang sudah lansia (lanjut usia) dan sudah menikah puluhan tahun hingga pengantin baru.
Dulu, kata Marilyn, waktu anggotanya masih puluhan dan kebanyakan berdomisili di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang), mereka kerap lunch bersama untuk sharing berbagai hal. Namun, begitu anggota makin banyak, kini mereka cukup memberdayakan mailing list untuk saling tukar informasi atau tukar pengalaman.
"Karena sekarang banyak yang di luar Jakarta, bertemunya lebih banyak virtual community. Hanya yang lokasinya di sekitar Jakarta, kami masih rutin lunch bareng," ungkapnya.
Banyak hal yang di-share dalam pertemuan makan siang atau melalui mailing list. Misalnya, persoalan keimigrasian yang berkaitan dengan status kewarganegaraan dan izin tinggal.
Marilyn menuturkan, mayoritas perempuan asing enggan berpindah kewarganegaraan. Mereka tetap ingin memiliki kampung halaman di negara asal. Namun, karena belum ada aturan di Indonesia yang membolehkan warga memiliki dua kewarganegaraan, hal tersebut menjadi persoalan pelik bagi para istri "asing" tersebut.
Menurut Marilyn, banyak tantangan dari Undang-Undang Kewarganegaraan. Misalnya, anak dari perkawinan mixed couple yang harus memilih salah satu kewarganegaraan. Selama ini anak-anak dianggap ikut bapaknya. Padahal, tidak bisa sesimpel itu.
"Semua anak saya warga negara Australia. Akibatnya, mereka tidak bisa kerja di sini dan kalau ke sini visanya sebagai turis," ujarnya.
Dengan tidak adanya aturan dwi kewarganegaraan, Marilyn merasa kesejahteraan keluarganya dibatasi. Selain anak-anaknya harus memilih salah satu kewarganegaraan, dirinya tidak bisa seenaknya bekerja di Indonesia untuk membantu perekonomian keluarga. Karena itu, sampai saat ini Marilyn masih memperjuangkan dwi kewarganegaraan bagi orang asing seperti dirinya.
"Saya ikut sebuah kelompok yang memperjuangkan hal itu. Sebab, banyak hak kami yang dibatasi," tegasnya.
Bahkan, dia tidak berhak atas properti yang dimiliki sang suami. Dia mencontohkan, jika sang suami meninggal, dirinya harus hengkang dari rumah dan kembali ke Australia. Rumah tersebut lantas menjadi milik pemerintah.
Marilyn mengisahkan, ada salah seorang anggota Foreign Wives of Indonesia yang terpaksa kembali ke negaranya bersama anak-anaknya yang masih remaja karena sang suami meninggal. "Dia orang Amerika," katanya.
Di samping tetek bengek keimigrasian, persoalan perbedaan budaya dan kebiasaan yang cukup mencolok menjadi topik perbincangan dalam lunch Foreign Wives of Indonesia. Ada banyak kejadian lucu yang dialami para anggota. Salah satunya, pengalaman anggota dari Kanada.
Marilyn bercerita, temannya tersebut tinggal di rumah mertua begitu diboyong sang suami ke Indonesia. Namun, sang suami, tampaknya, belum memberikan banyak informasi terkait dengan kebiasaan-kebiasaan "unik" orang Indonesia.
Salah satunya soal penggunaan bak mandi. Di dalam kamar mandi di rumahnya, ada bathtub. Namun, meski bentuk dan fungsinya adalah bak mandi untuk berendam, bathtub tersebut ternyata digunakan sebagai bak mandi konvensional lengkap dengan gayungnya.
Sang istri pun tidak paham. Begitu masuk kamar mandi, bathtub sudah terisi air penuh, tidak lupa dengan gayungnya. Dia pun berpikir, ada orang baik yang sengaja mengisi air untuk dirinya. Tanpa ragu, dia pun berendam. Setelah mandi, dia melepas penyumbat air di dasar bathtub untuk membuang air.
"Lalu, waktu salah satu saudaranya mau mandi, dia bilang, "Ini siapa yang menghabiskan air di bak mandi?" Cerita itu selalu membuat kami semua tertawa terbahak-bahak," kenangnya.
Contoh lain menyangkut kebiasaan makan. Banyak perempuan asing yang tidak paham bahwa penggunaan tangan kiri untuk makan dianggap menyalahi norma atau tata karma. Marilyn menekankan, jika sang suami tidak pernah mengomunikasikan hal-hal kecil semacam itu, sang istri bisa dianggap kurang sopan oleh mertua.
"Karena kebanyakan dari pasangan gado-gado, begitu sampai Indonesia, awalnya tinggal dengan mertua dulu," ujarnya.
Begitu pula soal makanan. Marilyn menuturkan, meski masakan Indonesia enak-enak, tidak sedikit anggota komunitas yang kangen dengan makanan Barat seperti whole bread atau roti gandum.
Yang juga banyak dikeluhkan anggota adalah perbedaan perilaku suami ketika kembali ke Indonesia. Umumnya pria Indonesia bertemu calon istri yang orang asing ketika menempuh studi atau magang di negara asal sang istri. Begitu menikah dan kembali ke Indonesia, perilaku suami berubah. Saat masih di luar negeri, mereka biasa melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci atau memasak. Tapi, ketika kembali ke Indonesia, kebiasaan itu hilang.
"Para suami yang dulunya cuci piring sendiri, balik ke sini jadi manja. Apa-apa mau diurusin. Padahal, kebanyakan perempuan asing itu independen. Karena itu, perlu penyesuaian dan komunikasi dari kedua pihak," tegas master reiki tersebut.
Kemudian, kebiasaan orang Indonesia yang suka bertamu tanpa memberi tahu lebih dulu juga sempat mengagetkan Marilyn. Dia mengisahkan, waktu masih tinggal di rumah kontrakan, dia kaget karena paman sang suami datang secara tiba-tiba. Bahkan, dia sering menginap.
"Di Barat, kalau mau bertemu, harus telepon dulu. Tidak bisa tiba-tiba datang. Tapi, di sini semua beda. Waktu itu saya masih pengantin baru. Jadi, benar-benar kaget," ungkapnya.
Mengenai budaya jam karet yang biasa di Indonesia, Marilyn mengakui bahwa budaya tersebut sangat dikeluhkan anggota, khususnya perempuan Jerman. Mereka sangat terbiasa on time. Karena itu, dia memiliki cara tersendiri untuk menyiasati agar sang suami bisa ikut on time.
"Misalnya, saya selalu melebihkan satu atau setengah jam dari waktu aslinya," ujarnya lantas tersenyum.
Namun, dia bersyukur karena sang suami sangat membantu dirinya dalam beradaptasi. Lain halnya dengan anggota asal Inggris yang menikah dengan pria Indonesia keturunan Tiongkok. Oleh keluarga pihak laki-laki, si istri diminta memiliki anak empat.
"Waktu itu dia sudah punya tiga anak. Ternyata harus nambah satu lagi. Sebab, kata mertuanya, meja kan punya empat kaki. Dia terpaksa menurut. Saya beruntung keluarga suami tidak menuntut macam-macam ke saya," ucapnya.
Marilyn yang berprofesi penerjemah freelance itu menuturkan, dirinya mengaku menikmati keberadaan komunitas Foreign Wives of Indonesia. Komunitas itu bisa berkembang pesat. Dulu pada era Orde Baru komunitas tersebut bersifat underground. Karena itu, mereka jarang bertemu. Tapi, sejak era reformasi, mereka bebas beraktivitas.
Marilyn kali pertama bertemu suami saat menempuh studi di The University of Melbourne. Sang suami mendapat beasiswa dari Colombo Plan pada 1965. Pada 1971 keduanya menikah di Australia. Setahun kemudian mereka kembali ke Indonesia, namun tidak lama kembali lagi ke Australia pada 1974. Keduanya juga sempat menetap di Singapura sebelum pada akhir 1982 memutuskan untuk tinggal di Jakarta.
Ide awal membikin komunitas berasal dari keinginan Marilyn untuk mempertahankan bahasa Inggris dua putri kecilnya yang sudah masuk playgroup. Keduanya bersekolah di playgroup milik Australia and New Zealand Association (ANZA). Di situlah penyuka yoga tersebut berkenalan dengan dua perempuan asing yang suaminya juga orang Indonesia. Mereka lalu menggagas pendirian komunitas tersebut.
Meski usianya sudah tidak muda, Marilyn masih berharap ada perubahan yang lebih baik bagi status kewarganegaraan para pasangan campuran. Karena itu, hingga kini dia terus mengupayakan adanya aturan dwi kewarganegaraan di Indonesia. "Saya masih berharap," imbuhnya. (*/c5/ari)