Laporan M SALSABYL AD’N, Jakarta
Tidak mudah menembus pasar Amerika Serikat. Kementerian BUMN yang sudah berupaya puluhan tahun baru memiliki satu unit usaha yang eksis di AS, yakni IPTN Northern America (INA) Inc. Anak usaha PT Dirgantara Indonesia (PT DI) itu ternyata hanya dijalankan dua karyawan.
Meski waktu sudah mencapai pukul 18.16 waktu lokal Seattle (08.16 WIB), waktu pulang kantor, wajah Gautama Indra Djaja masih terlihat bersemangat.
Pria kelahiran Jakarta tersebut tidak menampakkan tanda loyo saat meladeni telekonferensi dengan JPNN di kantornya di Seattle.
Di bagian belakang ruangan, terlihat jelas pajangan burung garuda dengan dua foto duet Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Khas kantor Indonesia.
Yang berbeda, kantor tersebut punya dua bendera: bendera Indonesia dan bendera AS. Walaupun ramah menyambut, pria yang akrab disapa Indra tersebut mengaku sedikit sibuk.
Sebab, dia baru saja mempunyai gawe besar dadakan, kedatangan tamu penting dari Indonesia, Menteri BUMN Dahlan Iskan.
‘’Kemarin pukul enam (Selasa, 3/9 waktu Seattle,red) saya baru tahu bahwa Pak Dahlan Iskan ingin berkunjung ke kantor dan berdiskusi,’’ ujarnya.
Sosok pria kelahiran Jakarta, 17 Februari 1957, dan perusahaan yang dipimpinnya itu memang sempat menarik perhatian Dahlan Iskan.
Bukan karena dia merupakan salah satu kisah pengusaha sukses di AS, tetapi fakta bahwa 100 persen perusahaan yang dipimpin Indra adalah milik PT Dirgantara Indonesia (DI).
‘’Karena itu, saya agak gugup sewaktu tahu bos besar (Dahlan Iskan,red) mau ke sini. Saya benar-benar tidak menyiapkan data yang cukup. Jadi, saya ceritakan saja apa adanya. Waktu itu serasa benar-benar disidak. Soalnya, Pak Dahlan memang tak suka bertele-tele,’’ ungkapnya.
Untungnya, lanjut ayah empat anak tersebut, Dahlan merespons cukup positif. Ia menganggap INA Inc bisa menjadi kunci bagi BUMN yang sedang berahi ekspansi ke Negara Paman Sam.
‘’Katanya, karena kesibukan, dia baru tahu bahwa ada anak perusahaan BUMN di AS dan berstatus hukum. Dia meminta saya menggenjot kinerja dan membantu beberapa perusahaan yang ingin ke AS,’’ jelas Indra.
Pujian dari Menteri BUMN bukan omong kosong. Kinerja INA Inc selama lebih dari 21 tahun bisa dibilang sudah tahan uji banting.
Perusahaan tersebut juga pernah terseret masalah yang menimpa induknya di Indonesia. Indra tahu betul kejadian tersebut. Sebab, dialah salah satu sosok di perusahaan tersebut sejak didirikan pada 1992. Jika dirunut, lanjut dia, INA Inc didirikan atas inisiatif BJ Habibie yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi.
Awalnya, perusahaan tersebut diproyeksikan menjadi kepanjangan tangan PT DI (saat itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN).
‘’Saat itu, PT DI sedang getol memproduksi pesawat N-250. Nah, Pak Habibie sengaja ingin membentuk perusahaan yang berbadan hukum AS. Ada tiga maksud. Yang pertama, supaya suku cadang untuk pembuatan N-250 bisa lebih murah. Kalau ada yang beli, kan langsung memotong mata rantai agen penjualan,’’ ujarnya.
Alasan kedua, memasarkan produk N-250 di AS. Menurut Indra, saat itu AS memang merupakan pasar seksi di mata PT DI. Ketiga, menjadi modal untuk membuat basis produksi di AS.
‘’Jadi, waktu itu memang seperti IPTN mini. Total 34 orang diberangkatkan. Strukturnya sama seperti di Indonesia. Ada direktur utama, bagian procurement, produksi, operasi, sampai marketing,’’ ungkapnya. Indra menyatakan sering sulit mengurus izin karena provokasi kompetitor ketika itu.
‘’Saat itu ada saja cara untuk menghambat pengembangan produk N-250,’’ ujarnya.
Puncaknya adalah saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998. Pemerintah setuju dengan syarat pinjaman IMF untuk berhenti mensubsidi IPTN. Sontak, proyek pesawat N-250 pun terhenti. Indra yang saat itu menjadi vice president bidang procurement tertimpa apes.
‘’Akhirnya, satu per satu disuruh pulang. Yang bisa diandalkan INA saat itu adalah bisnis penjualan spare part pesawat. Kebetulan, itu adalah bidang saya,’’ terangnya.
Setelah itu, INA Inc pun harus mencari peluang bisnis. sana-sini. Tapi, bukannya membaik, keadaan semakin buruk. Pada 2003, RUPS PT DI mengusulkan agar INA Inc dibubarkan dan asetnya dijual. Memang, aset INA Inc di Seattle cukup bernilai. Bangunan berlantai dua dengan luas 18 ribu kaki persegi. Namun, Indra sangat menentang. ‘
’Saya bilang, kalau misalnya dijual pun, paling dapat 2 juta dolar AS. Itu untuk menggaji seluruh pegawai PT DI selama dua bulan pun sudah habis. Belum lagi nanti pasti banyak yang menagih tanggungan kalau mereka tahu PT DI menjual aset besar,’’ katanya.
Argumentasi itu, rupanya, bisa sedikit meluluhkan direksi induk perusahaan. Tapi, karena situasi yang terjepit, Indra pun diberi pilihan: INA Inc dibubarkan atau tetap jalan tanpa bantuan subsidi atau dituntut berdikari.
Mendengar tawaran tersebut, Indra bergeming. Menurut dia, jaringan yang sudah dibangun selama lebih dari 10 tahun itu tidak boleh dihancurkan begitu saja.
‘’Saat itu yang bekerja di INA Inc tinggal dua. Hanya saya sebagai direktur utama yang sekaligus mengurusi procurement dan Pak Azhar Ramli sebagai direktur keuangan. Itu pun Pak Azhar harus tinggal di Indonesia untuk menjadi perwakilan. Kalau tidak, hancur,’’ tegasnya.
Keyakinan Indra perlahan-lahan terbukti. Setelah dua tahun, akhirnya INA Inc berhasil meraih rapor hijau dengan bisnis penjualan spare part. Sekarang status INA Inc sebagai entitas bisnis yang terdaftar di AS pun terlihat seksi.
‘’Kami sudah punya jatah plafon 1,5 juta dolar AS dari bank ekspor-impor lokal. Nah, BNI juga siap meminjamkan 7,5 juta dolar AS,’’ ungkapnya.(*/c5/kim)