ADA YANG MENGUASAI ENAM ATAU SEMBILAN BAHASA

Kisah Para Penggemar Bahasa Asing di Komunitas Polyglot Indonesia

Feature | Minggu, 09 Juni 2013 - 06:28 WIB

Kisah Para Penggemar Bahasa Asing di Komunitas Polyglot Indonesia
Komunitas Polyglot Indonesia (KPI) Jakarta. Foto: Jawa Pos

ADA orang-orang tertentu yang punya kemampuan berbahasa asing lebih dari satu. Bahkan, tak jarang yang menguasai lebih dari lima bahasa asing. Mereka disebut polyglot. Sebagian di antara mereka kemudian bergabung di Komunitas Polyglot Indonesia. Apa saja aktivitas mereka"

SEKARING RATRI A, JAKARTA

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Suasana Kafe The Coffee Institute di Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru, kemarin (8/6) cukup riuh. Hampir seluruh meja terisi penuh. Para pengunjung kafe tersebut sibuk berdiskusi. Yang menarik, diskusi itu tidak dilakukan dalam bahasa Indonesia. Melainkan, setiap kelompok diskusi berkomunikasi dengan bahasa asing. Ada yang asyik dalam bahasa Italia, sebelahnya berbicara dalam bahasa Prancis, sedangkan paling pojok dengan bahasa Spanyol.

Begitulah suasana kelas bahasa informal yang digagas Komunitas Polyglot Indonesia (KPI) Jakarta. Diskusi bertema environment preservation itu diakhiri dengan presentasi setiap kelompok sesuai dengan bahasa yang digunakan. Selain Spanyol, Prancis, dan Italia, juga ada Mandarin, Korea, Jepang, Jerman, serta tentu saja Inggris.

”Setiap kelompok mempresentasikan kepedulian mereka terhadap lingkungan dengan bahasa yang sesuai dengan meja masing-masing,” jelas Koordinator Bahasa Jerman Mira Fitria Viennita.

Beberapa peserta leluasa berpindah meja karena menguasai lebih dari satu bahasa asing. Mereka termasuk polyglot (menguasai lebih dari satu bahasa asing).

Mira yang pernah tinggal di Kota Wina, Austria, menguasai setidaknya tiga bahasa asing. Yakni, Inggris, Jerman, dan Prancis. Perempuan 27 tahun itu mengatakan, KPI tidak menutup diri bagi para penggemar bahasa asing atau orang asing yang ingin belajar bahasa Indonesia. Namun, dia tidak menyarankan mereka yang sekadar ingin belajar bahasa asing dari nol.

”Yang mengikuti diskusi ini memang yang sudah punya basic bahasa asing yang kuat. Takutnya kalau sama sekali nggak bisa, nanti malah nggak bisa mengikuti diskusi. Kalau sudah begitu, diskusi jadi nggak jalan,” urai dara cantik berkacamata tersebut.

Alumnus London School of Public Relation itu melanjutkan, pada umumnya anggota komunitas polyglot adalah orang-orang yang sudah menguasai beberapa bahasa asing dan tidak ingin kemampuannya tersebut hilang karena jarang digunakan.

”Misalnya, ada yang pernah tinggal lama di Spanyol, terus balik ke Indonesia. Otomatis bahasa Spanyol sudah jarang dipakai. Kalau dibiarkan lama-lama bisa hilang. Nah, di sini dia bisa me-refresh kemampuan berbahasa asing itu lagi dengan orang-orang yang mempunyai kemampuan bahasa yang sama,” lanjutnya.

Misalnya, yang dialami Tia Saputri. Lajang 25 tahun itu fasih berbahasa Spanyol, Catalan, Prancis, Italia, dan Inggris. Tia pernah menetap di Italia berkat beasiswa intercultural saat masih duduk di bangku SMA. Ketika mengikuti program tersebut, perempuan berambut panjang itu sempat tinggal di Barcelona, Spanyol. Kesempatan tinggal di dua negara tidak disia-siakan Tia untuk mempelajari bahasanya. Saat kembali ke tanah air, Tia menguasai tiga bahasa, yakni Spanyol, Italia, dan Catalan.

”Catalan itu semacam bahasa daerah di Spanyol. Di Barcelona banyak yang ngobrol pakai bahasa itu. Jadi, aku juga belajar,” ujar Tia yang mengikuti diskusi di dua meja sekaligus, Spanyol dan Italia.

Sayang, lantaran jarang digunakan, kemampuan bahasa asingnya kian menipis. Bahkan, beberapa kosakata sudah lupa. Karena itu, untuk menyegarkan kembali ingatannya, Tia berusaha memanfaatkan kemampuan bahasanya sesering mungkin. Salah satu caranya, mengajarkan bahasa Spanyol kepada kawan-kawannya di tempat kerja.

Untuk mengasah bahasa Italia, Tia terus merawatnya dengan komunikasi intensif dengan host family-nya ketika dirinya tinggal di Negeri Pizza itu. Mereka sering bertukar kabar lewat chatting video, Skype.

Selain ketiga bahasa tersebut, Tia mempelajari bahasa Prancis secara otodidak. Dia tidak butuh waktu lama untuk menguasai bahasa tersebut. Sebab, bahasa Prancis tidak jauh berbeda dengan bahasa Latin. Karena itu, setelah masuk KPI, Tia merasa sangat tertolong. Apalagi, sangat jarang orang Indonesia yang mampu berbahasa Catalan.

”Baru di sini (Komunitas Polyglot Indonesia) aku bisa ngobrol lagi menggunakan bahasa Spanyol, Prancis, dan Italia. Aku juga ketemu orang Indonesia yang bisa bahasa Catalan di sini,” ujar Tia yang belakangan sedang menekuni bahasa Korea.

Tidak hanya orang Indonesia saja yang bergabung di KPI. Tampak beberapa warga asing yang menetap di sini juga tertarik masuk komunitas ini. Salah satunya Kenneth Toloui. Warga Amerika Serikat keturunan Iran tersebut menguasai sembilan bahasa asing di luar bahasa Inggris. Ken mampu berbahasa Jerman, Arab, Parsi (Persia),  Thailand, Laos, Indonesia, Melayu, Sunda, dan Jawa. Kemampuan berbahasa Ken tampaknya merupakan faktor genetik. Pamannya yang tinggal di Iran adalah seorang ustad yang menguasai 15 bahasa asing, termasuk bahasa Sansekerta dan Yunani kuno.

Pria 39 tahun itu di Indonesia memang berprofesi sebagai tutor bahasa asing. Dia mengajar bahasa Inggris, Jerman, Arab, dan Parsi. Dia sudah tinggal di Indonesia selama enam tahun. Selama itu pula, ayah satu anak itu selalu berusaha menguasai bahasa daerah di Indonesia sebanyak-banyaknya. Di antara bahasa daerah itu. Ken paling fasih berbahasa Jawa dan Sunda. Dia juga paham bahasa Batak dan Padang.

Ken mengatakan, tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk mempelajari bahasa asing. Seperti bahasa Jerman, Ken hanya perlu waktu sebulan untuk menguasainya.

’’Waktu itu saya masih SMP dan sempat ikut semacam program pertukaran pelajar ke Jerman,’’ ujar pria berkacamata itu dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Meski begitu, Ken mengakui, tidak mudah memelihara kemampuan bahasanya jika tidak dilatih dan dimanfaatkan terus-menerus. Karena itu, begitu seorang teman merekomendasikannya untuk bergabung di KPI, Ken langsung mendaftar.  Di komunitas tersebut Ken berancang-ancang untuk menambah daftar kemampuan bahasa asingnya. Saat ini, dia aktif bergabung dengan kelompok Spanyol dan Prancis. Dia juga mulai mempelajari bahasa Belanda dan Tagalog, Filipina.

’’Kalau sudah bisa beberapa bahasa, tambah satu lagi tidak susah. Sebab, sudah tahu metodenya. Kalau saya, yang penting harus melihat tulisannya, agar cepat ingat,” imbuh dia.

KPI memang cukup popular di dunia maya. Mereka memiliki akun twitter, facebook serta sebuah laman fanpage. Dari situ, komunitas tersebut berkembang pesat. Hingga saat ini, setidaknya sudah 5.600 orang bergabung di KPI. Komunitas tersebut sudah ada di enam kota di Indonesia. Yakni, Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, dan Banda Aceh.

Terinspirasi komunitas polyglotclub di Paris, embrio KPI kali pertama terbentuk di Jogjakarta pada 2010. Pelopornya, Monis Pandhu dan Sandya Rani Kartosengodjo. Komunitas tersebut cepat berkembang. Hampir setiap pertemuan dihadiri setidaknya 15 hingga 30 orang. Namun, komunitas tersebut lantas vakum karena para pengurusnya melanjutkan sekolah ke luar negeri.

Pada akhir 2011,  Arradi Nur Rizal, pemuda Indonesia yang berdomisili di Stockholm, Swedia, ternyata memiliki ide serupa. Menurut dia, selama ini banyak orang asing yang menjadi polyglot. Karena itu, dia penasaran apakah ada orang Indonesia juga memiliki kemampuan menguasai banyak bahasa asing.

Rizal sendiri seorang polyglot. Dia menguasai setidaknya empat bahasa asing. Yakni Inggris, Spanyol, Jerman, dan Swedia. Dia juga sempat mempelajari bahasa Italia dan Jepang. Laki-laki 28 tahun itu lalu mencari orang-orang polyglot seperti dirinya. Pencarian tersebut berujung pada perkenalannya dengan founder polyglot Jogjakarta Monis Pandhu yang sedang kuliah di Italia; serta Krisna Puspita, polyglot yang tinggal di Korea.

’’Kami bertiga lalu menggagas ide menghidupkan lagi Komunitas Polygot Indonesia itu menggunakan Skype. Sebab saya ada di Swedia, Krisna di Korea, dan Monis di Italia,” papar salah seorang founder KPI ini.

Akhirnya, sekitar akhir 2011, Rizal membikin akun twitter dan facebook Komunitas Polyglot Indonesia. Dia juga membuat laman fanpage untuk komunitas tersebut. Responsnya cukup lumayan. Untuk melihat respons yang lebih luas, alumnus Engineering and Management of Information System, joint program Royal Institute Technology dan Stockholm University itu pun menggelar tiga event language exchange meet up atau pertemuan pertukaran bahasa di Indonesia, ketika dirinya pulang ke tanah air. Event yang digelar pada 16, 17, dan 23 Februari 2012 itu cukup sukses. Bahkan, salah satu stasiun televisi swasta nasional menayangkannya secara khusus. Berkat liputan di televisi itulah, KPI langsung melejit. Anggotanya bertambah banyak.

Pria asal Semarang itu mengakui, dirinya tidak bisa selalu memantau seluruh kegiatan komunitas, karena tidak tinggal di Indonesia. Untuk itu, dia meminta rekan-rekan sesama anggota komunitas untuk menjalankan kegiatan komunitas. Salah seorang yang kini bertanggung jawab atas segala event dan perkembangan komunitas polyglot adalah Krisna Puspita.

Rizal percaya penuh pada Krisna, yang juga salah satu founder komunitas. Dia mengenal Krisna dari youtube. Krisna yang kala itu tengah kuliah di Wonkwang University di Kota Iksan, Korea, meng-upload video percakapannya dalam 13 bahasa asing. Video-video Krisna tersebut menarik perhatian Rizal. ’’Ya intinya saya percaya dengan dia,”ujarnya.

Krisna yang kini menjadi Sekretaris III Biro Kepegawaian Kemenlu itu memang kerap mendapat order untuk menjadi penerjemah. Yang terbaru, dia mengikuti kunjungan Wapres Boediono ke Korea. Dia menjadi translator resmi bahasa Korea untuk Wapres kala itu.

Meski sempat menguasai 13 bahasa asing, termasuk bahasa Swahili, Vietnam, Kamboja, Catalan, Canton, hingga Shanxihua, pria 31 tahun itu kini mulai lupa dengan bahasa-bahasa tersebut. Yang masih fasih tinggal bahasa Mandarin, Korea, Jepang, dan Canton.   ’’Kalau nggak dipakai ya pasti lupa,” ujarnya.

Karena itu, Krisna tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan jika ada tawaran untuk menjadi penerjemah atau pewawancara local staff. Sebab, dari situ, dia bisa kembali me-refresh kemampuan bahasa asingnya. Beruntung, pria asal Blitar itu tergolong orang yang mudah belajar bahasa. Cukup semalam atau dua malam, Krisna bisa kembali mengingat bahasa asing yang pernah dipelajarinya.

’’Misalnya ada tugas untuk mewawancara local staff dengan bahasa Arab dan Mandarin, malam sebelumnya saya belajar dulu. Karena pernah bisa, jadi ya waktu belajar mudah ingat lagi,” tutur Krisna yang menjadi koordinator bahasa Mandarin di KPI.

Krisna pun punya tips untuk belajar bahasa asing. Menurut dia, belajar bahasa asing dengan buku tidak efektif. Sebab, dalam bahasa percakapan, kosakata yang digunakan tidak lebih dari 200 kata. Karena itu, bermodal pede, Krisna bisa dengan mudah ’’bergaya” dengan kemampuan bahasa asingnya.

’’Yang penting itu dipaksa ngomong. Ya daily conversation dan pede,” tandas dia. (*/ari)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook