CATATAN DARI EROPA (1)

400 Km demi Makan Petai di Brussel

Feature | Rabu, 09 Mei 2012 - 09:30 WIB

400 Km demi Makan Petai di Brussel
Bernard, manajer operasional restoran Garuda yang menyediakan satu-satunya masakan Indonesia di Kota Brussel, Belgia. (Foto: HASAN ASPANI FOR RIAU POS)

Oleh Hasan Aspahani

Inilah satu-satunya restoran makanan Indonesia di Brussel, Belgia. Restoran Garuda namanya. Terletak di jalan ramai Avenue Adolphe Buyllaan 25, 1050, Icelles, Brussel.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sejak Etihad dengan nomor penerbangan EY 001 mendarat di Frankfurt, Jerman, Jumat (4/5) pagi, bis kami harus menempuh jarak 400 Km!

Itu artinya kami menahan diri tidak makan sejak pukul 7 waktu Eropa hingga pukul 15.00 saat tiba di Brussel. Menahan lapar sekitar delapan jam demi nasi berlauk petai.

Makan siang yang terlambat. Uriep Hassan, kolega dari Maluku, di bangku bis paling belakang sudah gelisah karena mencemaskan lambungnya akibat tak tepat waktu makan siang. Perjalanan Frankfurt-Brussel ditempuh lewat jalan tol trans Eropa yang nyaman.

Lothar Becker, supir kami, harus berhenti dua kali, karena tiap dua jam semua pengendara kendaraan umum di Eropa harus berhenti, dan memperbaharui kartu tugasnya, demi keselamatan. Di perhentian, sementara itu, kami bisa membeli kudapan atau buang air kecil.

Di Brussel sebelumnya ada tiga restoran menu Indonesia. Pemiliknya sama. ‘’Sekarang restoran tinggal satu. Ini satus-satunya,’’ kata Bernard, manajer operasional restoran Garuda.  

Bernard anak muda yang fasih berbahasa Francis, Inggris dan Belanda. Ia tak bisa berbahasa Indonesia, kecuali ‘selamat datang’ dan ‘terima kasih’. Sebagaimana pelayan restoran lain, ia memakai batik.

‘’Saya tak tahu ini baju apa namanya,’’ katanya dalam Bahasa Inggris.

Pemilik restoran ini adalah seorang warga Belgia yang sudah lama berdagang bermacam barang dari Indonesia dibawa ke Belgia. Setelah melewati pintu masuk, di dinding kiri ada lambang negara Indonesia Garuda Pancasila tergantung rendah. Penyekat ruangan pun terbuat dari bahan-bahan khas Indonesia: sapu lidi digabung dengan jalinan malai kelapa yang sudah kering.

Di restoran itu bertebaran benda-benda khas Indonesia. Kursi rotan, foto-foto lama gadis Bali, patung Buddha, arca Garuda Wisnu Kencana, wayang kulit. ‘’Ini barang-barang dari Indonesia semua,’’ kata Bernard.

Menu makan siang kami adalah nasi putih yang sangat pulen, udang dan telur pedas, urap kacang panjang dan toge, gulai tahu dan petai. ‘’Enak sekali ini,’’ kata Dirut Batam Pos, Marganas Nainggolan yang lebih dahulu menghabiskan makan siang.

Saya penasaran, siapa juru masak di restoran tersebut. Seorang wanita berwajah Indonesia yang tampak selalu tersenyum ramah saya kira si pengelola restoran tersebut.

Rupanya dia juga pengunjung restoran. ‘’I am from Vietnam,’’ katanya. Ia datang bersama temannya. ‘’Chef kami namanya Yudi, dari Indonesia,’’ kata Bernard.

Usai makan saya ke dapur restoran tersebut menemui Yudi Yahya, sang Chef yang jadi juru kunci kenikmatan masakan restoran Garuda. ‘’Saya dari Bandung. Di sini baru sepuluh bulan,’’ kata lelaki yang menyamarkan rambut panjangnya yang dikuncir dibalik topi chef. Topi dan bajunya menegaskan bahwa dia memang juru masak handal. Selebihnya, ia memakai jins, dan sepatu olahraga. Santai sekali.   

Menurut Yudi, restoran Garuda tak pernah sepi. ‘’Ini nanti malam, besok siang, dan besok malam, kami sudah penuh reservasi,’’ kata Chef 43 tahun yang sudah malang melintang di berbagai restoran dan hotel.

Pengunjung restoran tersebut sebagian besar adalah penduduk Brussel. Orang Asia, dan orang Indonesia justru sangat jarang.

Mahalkah? Jangan bandingkan dengan harga makanan yang sama di Indonesia. Menu yang kami santap ditambah minuman jus orange atau Coca-cola yang jadi pilihan, harganya 11 Euro. Dengan kurs 12.000 per Euro (harga kurs di Indonesia) setara dengan 130 ribu lebih.

Saya mengintip daftar harga menu lain yang terpampang di depan restoran. Soto 11 Euro. Pecel lele 15 Euro. Kepiting kenari 18 Euro. Kue-kue kudapan seperti pisang goreng 4 Euro. Dan yang paling mahal adalah sate Garuda: 22 Euro. ‘’Pecal lele 15 Euro? di Batam bisa 15 porsi,’’ kata saya pada Sebastian, pemandu kami.(bersambung)

Hasan Aspani, Pemred dan General Manger Batam Pos.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook