KETIKA KOLEKTOR LUKISAN OEI HONG DJIEN MERESMIKAN MUSEUM KETIGA

Sampai Mati Tidak Akan Jual Koleksi

Feature | Senin, 09 April 2012 - 09:00 WIB

Sampai Mati Tidak Akan Jual Koleksi
Oei Hong Djien (kanan) menjelaskan lukisan kepada Wali Kota Magelang, Ir Sigit Widyonindito (batik), saat meresmikan museum OHD III di Magelang, Kamis (5/4/2012). (Foto: SUGENG DEAS/JPNN)

Kecintaan Oei Hong Djien pada lukisan tidak diragukan lagi. Kolektor papan atas Indonesia itu merayakan ulang tahunnya yang ke-73 dengan me-launching museum lukisan pribadinya yang ketiga di Magelang, Jawa Tengah, Kamis lalu (5/4).  

Laporan JPNN, Malang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

SENYUM ramah dan tawa lepas kerap terdengar dari sosok Oei Hong Djien atau yang biasa dipanggil OHD. Terutama ketika dia menyapa satu per satu tamu penting yang datang dalam grand opening New Museum OHD atau OHD Museum III di Magelang, Kamis lalu (5/4).

Mengenakan batik berwarna merah, yang ornamennya khusus dilukis perupa Nasirun, OHD ingin menunjukkan dua hal sekaligus kepada para tamu lewat gaya busananya. Yang pertama, bukti kecintaannya pada seni, terutama lukisan yang tidak tersekat pada media apa pun, termasuk dalam berbusana.     

Yang kedua, OHD ingin menunjukkan semangat nasionalismenya. Sama seperti semangatnya dalam mengoleksi lukisan karya anak bangsa. ‘’Selama ini saya hanya mengoleksi lukisan karya pelukis Indonesia. Bukannya apa-apa, kalau bukan kita yang menghargai, siapa lagi,’’ kata OHD.

Meski umurnya sudah berkepala tujuh, secara fisik, OHD masih tampak sangat prima. Gaya bicaranya meledak-ledak, jalannya tegap, dan yang terpenting, memori ingatannya masih sangat baik. Hal tersebut terlihat ketika dirinya menemani para tamu melakukan museum tour di New Museum OHD. Dengan panjang lebar dan akurat, OHD bisa menceritakan satu per satu asal-usul lukisan koleksinya beserta kiprah pelukisnya.    

Ya, bertepatan dengan pembukaan museum ketiganya, OHD juga menggelar pameran lukisan. Mengangkat tema back to basic, pameran itu memajang koleksi OHD dari lima maestro pelukis Indonesia. Yakni Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, Widayat, dan Soedibio.

Kelimanya sering disebut OHD sebagai five maestros of modern Indonesian art. ‘’Mereka adalah pelukis yang karyanya memiliki impact dan menjadi referensi dalam perkembangan seni tanah air,’’ katanya.

Merintis sebagai kolektor lukisan sejak 1965 dan bersahabat dekat dengan beberapa pelukis ternama, membuat insting OHD terhadap kualitas lukisan sangat terasah. Dia mampu menjadi kurator sekaligus kritikus yang mumpuni untuk sebuah karya.

Menurut cerita pria yang juga seorang dokter sekaligus pedagang tembakau dan grader untuk PT Djarum Kudus itu, tak jarang para pelukis seperti Affandi dan Widayat meminta saran dan komentarnya ketika mereka menyelesaikan lukisan terbaru. ‘’Hubungan saya dengan mereka bisa seperti saudara. Beberapa lukisan yang saya koleksi ini, ada yang dikasih cuma-cuma dari mereka,’’ kata OHD bangga.

Kedekatan secara personal itu pula yang membuat OHD bisa dengan leluasa mempelajari gaya hidup dan ciri khas masing-masing pelukis. Khusus untuk Affandi, OHD menilainya sebagai pribadi yang emosional dan misterius. Itu terbawa pada karyanya yang memiliki cita rasa tinggi. Baik dalam goresan, pewarnaan, sampai pada aliran.

Namun, kata OHD, Affandi merupakan sosok yang kurang cermat dalam menangkap ide. Sehingga, tidak heran, jika kehabisan ide, Affandi kerap melukis dirinya sendiri. Yang kemudian karya itu diberi nama self potrait. Tidak kurang dari 10 karya sang maestro yang berobjek wajah dirinya sendiri.

‘’Tapi, interpretasi Affandi terhadap dirinya sendiri selalu tidak sama. Itu terlihat dari karyanya yang sama-sama berjudul self potrait dan pembuatannya hanya berselang satu tahun, gambarnya berbeda,’’ beber OHD seraya menunjukkan perbedaan antara lukisan self potrait 1 dan 2 yang ada di depannya.

Tidak hanya fasih berbicara mengenai Affandi. OHD juga paham betul dengan perjuangan keempat pelukis lainnya dalam menapaki tangga kesuksesan di dunia seni rupa Indonesia. ‘’Kalau Widayat orangnya sangat terbuka terhadap berbagai hal. Dia itu Picasso-nya Indonesia,’’ kata OHD.

Keterbukaan Widayat, menurut OHD, tampak dalam karya-karyanya yang tidak memiliki aliran jelas. Jika pada awal melukis, Widayat lebih banyak berkecimpung pada aliran realis, menjelang akhir hayatnya dia berubah haluan menjadi pelukis abstrak.

OHD lantas mencontohkan karya Widayat yang berjudul Tourist Flooding Indonesian. Lukisan itu merupakan salah satu karya Widayat yang dibuat pada masa tuanya. Jika pelukis lain sudah mulai menurun performanya dan lebih banyak berkutat pada warna-warna gelap, Widayat justru sebaliknya. Dia lebih colorful.

‘’Saat itu, Widayat seperti memasuki era baru atau puber kesekian kalinya saat melukis di usia tua. Dia berani memainkan warna,’’ paparnya gamblang.

Dalam kesempatan itu, OHD juga menceritakan betapa dirinya sangat bangga bisa mengoleksi lukisan-lukisan karya pelukis ternama Indonesia yang dicari oleh kolektor dunia. Satu pengalaman mengesankan baginya adalah ketika berburu lukisan karya Soedibio. Perlu waktu 20 tahun bagi OHD untuk mendapatkan lukisan yang dia inginkan tersebut.

‘’Itu karena sampai meninggal, Soedibio tidak mau melepas lukisan tersebut. Ketika sudah meninggal giliran istrinya yang juga tidak mau melepas. Saya baru mendapatkan lukisan itu setelah istrinya juga meninggal dunia, dan saya dihubungi ahli warisnya,’’ katanya.

Hingga kini, koleksi OHD sudah mencapai 2.200 lukisan dari berbagai generasi. Tentu yang paling membanggakan adalah karya masterpiece para pelukis ternama yang harga jualnya hingga puluhan miliar rupiah per lukisan. Meski demikian, OHD berjanji tidak akan pernah menjual lukisannya kepada siapa pun dengan berapa pun.

‘’Sampai mati nanti saya tidak akan menjual lukisan-lukisan ini. Saya justru akan terus menambah koleksi. Saya tidak akan pernah lelah berburu lukisan bagus di mana pun,’’ papar dokter yang justru sering menjadi pembicara mengenai lukisan di berbagai forum internasional tersebut.

Untuk menampung koleksi yang sedemikian banyak, OHD membangun museum I pada 1997 dan II 2006. Keduanya terletak di belakang kediaman OHD di pusat Kota Magelang. Namun, dua museum tersebut belum cukup. Masih ribuan lukisan yang mesti dirawatnya dengan seksama. Maka, lantas dibangunlah museum ketiga yang diresmikan pada 5 April lalu bertepatan hari ulang tahun ke-73 OHD. Museum itu menyulap gudang tembakau miliknya yang tak jauh dari rumah OHD.

‘’Tiga museum ini hanya menampung 20 persen koleksi saya. Lainnya masih saya simpan di tempat khusus,’’ katanya.   

Berbeda dengan dua museum sebelumnya, di museum ketiga OHD mendesain dengan benar-benar menuangkan kreativitas seni. Puluhan seniman diajak ikut serta berpartisipasi menyumbangkan karya mereka pada pembangunan museum. Perupa Entang Wiharso, misalnya, membuat karya seni instalasi berupa hiasan dinding di bagian depan museum.

Di pintu masuk, giliran perupa Nasirun yang berkuasa. Pagar besi berwarna merah menyala dia beri sentuhan penjaga dengan patung Jenderal Kwan Tong di pintu bagian kiri dan Gatot Kaca di bagian kanan. ‘’Ini untuk menggambarkan bahwa museum ini dijaga segenap hati oleh kekuatan yang luar biasa dahsyat,’’  kata OHD sambil tersenyum.

Begitu masuk gedung museum, pengunjung langsung mencium aroma wangi khas tembakau. Karena keunikannya itulah, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberi penghargaan kepada museum ini. Penghargaan diserahkan langsung oleh bos MURI Jaya Suprana kepada OHD.

Peresmian museum yang dilakukan Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito dihadiri antara lain mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, Advisor to the Board of TNAG (The National Art Gallery) Singapore Kwok Kian Chow, serta para kolektor dan pelukis ternama Indonesia. Termasuk, pemilik Esa Sampoerna Art Museum Surabaya Sunarjo Sampoerna dan Direktur AJBS Gallery Surabaya Soebagio Widjaja.

‘’Beliau (OHD) adalah tokoh yang sangat disegani di dunia lukis dan seni tanah air. Koleksinya sangat lengkap dan bernilai tinggi. Tidak heran jika kemudian beliau menjadi salah seorang yang bisa menentukan harga sebuah lukisan,’’ puji Soebagio.

Konsep Tiga Museum

OHD sengaja membedakan konsep tiga museum pribadinya. Untuk OHD Museum I dan II, nuansa rumahan sangat terasa. Yang membedakan keduanya adalah koleksi yang dipajang. Untuk museum I yang berdiri di atas bangunan seluas 400 meter persegi, dia menampilkan 120 karya lima perupa saja. Yaitu Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, Widayat, dan Soedibio.

Di museum II, dengan luas bangunan 740 meter persegi, OHD mengonsepnya dengan pola minimalis. Di museum dua lantai itu, OHD menampilkan karya-karya yang lebih ‘’ringan’’ kreasi perupa-perupa mutakhir tanah air. Benda seni yang dipajang tidak hanya lukisan, tetapi juga ada seni instalasi, video art, serta patung, dan karya pahat. ‘’Museum dua ini memang saya buat lebih easy agar bisa mewadahi perupa muda,’’ katanya.

Di museum kedua ini juga banyak ditemukan potret diri OHD yang dilukis di atas tripleks. Misalnya, OHD mengenakan seragam tukang parkir, pemain bola, pengusaha, sampai menjadi bintang film. Bahkan, yang unik, ada pula miniatur robot elektronik yang sangat persis dengan sosok OHD. Baik dimensi maupun rupanya. Robot bernama Nyang Ndak Bisa Diem itu merupakan karya perupa Yuswantoro Adi.

‘’Ini salah satu karya yang buat saya kaget. Karena persis sekali. Apalagi, robot ini memiliki tombol yang kalau dipencet akan keluar suara saya. Entah kapan seniman itu merekamnya,’’ ujar OHD terbahak.(ari/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook