Para Penjaga Samudra Biru dari Sendang Biru

Feature | Kamis, 08 Desember 2022 - 12:08 WIB

Para Penjaga Samudra Biru dari Sendang Biru
Beberapa kapal motor bersandar di Pelabuhan Pantai Pondok Dadap, Dusun Sendang Biru, Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

BAGIKAN



BACA JUGA


Samudra Hindia di selatan Jawa tak begitu saja menyediakan stok tuna yang melimpah. Ada sejumlah penjaga yang berperan penting agar lautan ini tetap biru. Cara tangkap yang ramah lingkungan hingga terpeliharanya terumbu karang jadi wahananya. Padahal, dulu para nelayan biasa menggunakan potasium dan bom ikan. Bagaimana mereka bermetamorfosis?

Laporan MUHAMMAD AMIN, Malang

ANAK muda itu memperhatikan seorang lelaki tua dari geladak kapalnya. Sang lelaki tua  dengan tekun memperbaiki jaring di lapangan terbuka saat jelang siang yang cerah, Sabtu (3/12). Bertelanjang dada, dia menekuni pekerjaannya sejak pagi.

Sesekali dia melihat ke arah dermaga Pelabuhan Pantai Pondok Dadap, tempat kapal-kapal motor bersandar. Pandangannya menerawang jauh. Kebanyakan hanya kapal-kapal kecil berdaya tampung 10-15 gross tonnage (GT) yang ada di bibir dermaga. Kapal purse seine yang lebih besar berbobot 20-25 GT dan kapal-kapal sekoci tidak terlihat.

Lelaki tua itu kemudian melambai kepada sang anak muda di geladak kapal. Dari kejauhan, dia memberi isyarat bahwa jaring yang diperbaiki siap dipakai melaut. Yogi (21), anak muda itu mengacungkan jempol dari kapal. Anak muda asli warga Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu siap menggantikan peran para nelayan tua. Beberapa tahun terakhir, Yogi sudah aktif mengarungi Samudra Hindia.

“Kalau musim barat seperti ini kami menangkap layur,” ujar Yogi.

Yogi adalah satu dari beberapa generasi muda Sendang Biru yang memilih profesi menjadi nelayan. Yogi bergabung dengan pemilik kapal asal Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan bernama Bahrun. Yogi banyak belajar tentang cara nelayan Sinjai melaut. Bersama Fikri (22), pemuda asli Sendang Biru lainnya, dia beruntung bisa menimba ilmu melaut ala nelayan asal Sinjai, langsung dari ahlinya. Hanya mereka berdua nelayan lokal yang bergabung dengan sekoci milik Bahrun.

Adapun anak buah kapal (ABK) lainnya merupakan asli nelayan asal Sinjai. Jumlahnya puluhan. Dalam dua dasawarsa terakhir, telah terjadi akulturasi nelayan di Sendang Biru yang luar biasa. Salah satu kebiasaan nelayan yang berubah di sini adalah cara memancing ala nelayan Sinjai yang tidak biasa. Nelayan Sendang Biru hanya terbiasa menangkap ikan dengan cara menggunakan jaring, bukan memancing.

Hanya saja, dalam beberapa bulan ke depan, para nelayan kembali pada kebiasaan menjaring. Yogi adalah salah satu ABK yang segera melaut. Biasanya mereka melaut untuk menangkap ikan layur hingga 10 hari ke depan. Mereka menggunakan kapal motor berbobot 12 GT dengan bahan bakar solar 1 ton. 100 balok es masing-masing berbobot 10 kg juga disiapkan untuk mendinginkan ikan yang ditangkap. Mereka membawa lima ABK untuk melaut di jarak 15-20 mil laut dari garis pantai Clungup, Dusun Sendang Biru.

Sejak musim angin barat, mulai Oktober hingga Desember, ikan tuna sulit didapat. Musim paceklik tuna juga akan berlanjut pada Januari hingga Februari. Jika pun ada, ukurannya masih kecil, di bawah 10 kg. Mereka menyebutnya baby tuna. Padahal, jika musim tuna, jumlahnya fantastis. Ukurannya juga jumbo, bisa mencapai 70 kg per ekornya.

Keberadaan ikan tuna di perairan Sendang Biru itu pulalah yang memancing para pelaut ulung asal Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan datang. Para pelaut Sinjai datang pertama kali ke laut selatan Jawa ini pada 1997-1998. Para pelaut Sinjai biasa menelusuri Nusantara untuk mencari ikan besar, seperti tuna atau cakalang. Mereka melaut ke perairan Maluku, Lombok, Bali, hingga perairan selatan Jawa seperti Sendang Biru di Malang, Tulung Agung, Trenggalek, Pacitan, hingga Cilacap.

Tak hanya menjelajahi Nusantara, para nelayan Sinjai bahkan pernah berlayar hingga perairan di perbatasan Filipina, kawasan laut bagian utara Sulawesi Utara, kawasan Sebatik, perbatasan Malaysia, kawasan Samudera Pasifik di utara Papua hingga Samudera Hindia perbatasan Australia.

“Waktu itu belum ada GPS, tapi jika ada KRI selalu diingatkan untuk tidak melanggar batas negara,” ujar nelayan asal Sinjai, Bahrun.

Bahrun adalah nelayan Sinjai pertama yang datang ke Sendang Biru, Malang bagian selatan ini.  Pada 1970-an, diduga ada nelayan Sinjai yang datang. Akan tetapi mereka tidak “menularkan” ilmu apa-apa di tempat ini. Saat itu, Bahrun datang dengan lima sekoci dengan puluhan ABK. Sekoci adalah istilah yang digunakan untuk kapal yang memiliki kamar untuk ABK. Sebab, mereka berlayar sangat lama. Kadang setelah enam bulan berlayar, baru pulang ke Sinjai. Setelah mendapatkan ikan, biasanya mereka menjualnya di pelabuhan setempat. Jika tidak ada pelabuhan, mereka membawa semua tangkapan ikan dengan berbekal es balok berton-ton. Saat balik kampung ke Sinjai, mereka membawa tak hanya ikan, tapi juga uang hasil penjualan berbulan-bulan. Adapun kapal kayu lainnya yang tidak memiliki kamar ABK disebut pursin  (purse seine). Kapal pursin biasanya digunakan untuk jaring atau kapal pukat. Ini berbeda dengan kebiasaan nelayan Sinjai yang biasa menangkap ikan dengan cara memancing. Ukuran sekoci dan pursin hampir sama, yakni antara 25-30 GT. Biasanya sekoci lebih kecil. Keduanya sama-sama terbuat dari kayu.

Bahrun saat ini merupakan Ketua Nelayan Sekoci Sendang Biru. Dia bahkan memilih tinggal dan mengembangkan usaha perikanan di Sendang Biru, Malang, ini. Bahrun sudah jadi pengusaha ikan relatif besar dengan orientasi ekspor. Tapi selain memiliki sekoci pemancing, dia juga memiliki kapal-kapal untuk menangkap layur dengan waktu melaut lebih singkat yakni sekitar 10 hari. Saat menggunakan sekoci, paling kurang mereka mengarungi Samudra Hindia satu bulan lamanya.

Dia menceritakan, saat pertama kali sampai di perairan Sendang Biru, mereka terkejut karena ratusan mil dari garis pantai itu sudah ada perlengkapan yang mirip buatan khas kaum nelayan Sinjai, rumpon. Hanya saja bentuk rumpon itu agak aneh. Diyakini sebagai rumpon, mereka pun menangkap tuna di sana dan memang mendapatkan tuna yang banyak.

“Kami pernah menemukan rumpon seperti ini di utara pulau Sulawesi. Kami perkirakan yang meletakkan rumpon itu merupakan nelayan Filipina. Tapi kami tidak pernah bertemu mereka,” ujar Bahrun.

 

Kearifan Lokal Ramah Lingkungan yang Menusantara

Dalam melaut, nelayan Sinjai memiliki kearifan lokal  yang luar biasa. Sebuah kearifan lokal yang ramah lingkungan. Kearifan lokal itu sudah ada secara turun-temurun di sekitar laut  Sinjai dan kemudian dibawa ke seluruh wilayah Nusantara. Mereka hanya menangkap ikan-ikan besar, dan membiarkan ikan-ikan kecil untuk berkembang terlebih dahulu. Mereka membawa sendiri alat pancing, lampu sorot berdaya total 7000-8000 watt, dan yang terpenting adalah  rumpon.

Rumpon merupakan “rumah ikan buatan”. Nelayan-nelayan Sinjai biasa membuat rumpon sebelum memancing ikan. Rumpon dibuat dari gabus berukuran 3 x 1 x 1 meter yang dibungkus waring. Gabus ini merupakan bahan untuk mengapungkan rumah ikan yang biasanya dibuat dari pelepah dan daun kelapa. Setidaknya diperlukan sekurangnya 100 pelepah kelapa yang diikat kuat dan dibenamkan sekitar 18-22 meter di bawah permukaan air laut. Agar posisinya stabil, maka di bawah pelampung dan pelepah kelapa itu diberikan pemberat, berupa batu sedikitnya 30 buah dengan ukuran masing-masing 60 x 60 cm.

Rumpon ini diletakkan di tengah samudra yang diperkirakan ada potensi ikan tuna. Makanya, untuk membenamkan batu hingga ke dasar lautan, diperlukan tali sepanjang 7.000 meter. Sebab, perairan ideal tempat meletakkan rumpon adalah yang memiliki kedalaman di atas 500 meter. Tentunya tali yang digunakan memiliki panjang berkali lipat. Kedalaman laut itu terdapat di sekitar Sendang Biru dengan jarak sekitar 100 hingga 200 mil laut dari bibir pantai. Penempatan rumpon sebagai kawasan makan tuna ini tentu saja berbeda dengan area penangkapan ikan layur yang hanya 15-20 mil laut dari garis pantai.

Rumpon itu akan menjadi sarang plankton dan ikan-ikan kecil karena mirip terumbu karang. Pertumbuhan lumut dan mikroorganisme lainnya akan mengundang ikan datang. Hanya saja letak “terumbu karang buatan” itu tidak di dasar laut, melainkan di bawah permukaan air, sekitar 18-22 meter. Untuk memancing ikan tuna yang lebih besar, terkadang pelepah kelapa dibenamkan lebih dalam, yakni 25-30 meter di bawah permukaan laut.

Bersarangnya ikan-ikan kecil di sekitar rumpon akan mengundang ikan besar seperti cakalang dan tuna. Itulah kesempatan nelayan untuk menangkapnya dengan cara dipancing. Mereka akan menjulurkan benang pancing di sekitar rumpon dengan kedalaman sesuai besaran ikan. Tuna ukuran sedang antara 10-30 kg biasanya makan ikan yang lebih kecil di sekitar rumpon berkedalaman 18-22 meter. Sedangkan ikan tuna jumbo di atas 30 kg memakan ikan-ikan yang lebih besar, yang biasanya berkerumun di rumpon pada kedalaman 25-30 meter di bawah permukaan laut.

Suatu ketika, Bahrun dan rombongannya menemukan rumpon berbeda di Samudra Hindia, di perairan Malang itu. Mereka mencoba memancing di sana dan berhasil mendapatkan banyak ikan tuna.

“Kami menemukan rumpon yang berbeda. Agak aneh karena bentuknya seperti rudal. Ketika kami laporkan ke aparat, semua jadi heboh,” ujar Bahrun.

“Rumpon” yang ditemukan pada 1998 itu terbuat dari pelat besi (seng), bukan waring yang membungkus gabus. Ukurannya juga lebih panjang. Jika biasanya nelayan Sinjai hanya membuat sepanjang tiga meter, kali ini panjangnya lima meter. Bentuknya juga mirip rudal. Benda mencurigakan itu sempat dibawa ke darat untuk diperiksa dan diamankan Polairud bahkan TNI AL. Setelah pelat itu dibongkar, ternyata isinya gabus. Barulah diyakini itu merupakan rumpon.

 

Akulturasi Tradisi Melaut

Kendati berada di pesisir, masyarakat Sendang Biru awalnya tidak banyak yang menjadi nelayan. Mereka justru kebanyakan menjadi petani. Hanya sekitar lima kepala keluarga (KK) saja awalnya di Sendang Biru yang menjadi nelayan. Itu pun mereka hanya menangkap ikan di kawasan pesisir atau pinggiran, tidak ke tengah laut.

Tokoh masyarakat Sendang Biru, Budi Ismiyanto menyebutkan, masyarakat Sendang Biru tradisional biasanya menjaring ikan layur di pinggiran. Cara menjaring ini sudah jadi tradisi. Sampai mereka mendapatkan “tamu” dari Sinjai yang hanya menggunakan pancing. Para nelayan “asing” ini mulai melaut di Sendang Biru pada 1997-1998. Mereka biasa disebut nelayan andon. Tak hanya dari Sinjai, nelayan andon juga datang dari beberapa kawasan lainnya di pesisir selatan Jawa, mulai dari Trenggalek, Pacitan, hingga Cilacap. Tapi yang fenomenal tetap dari Sinjai. Sebab, caranya sama sekali berbeda dengan nelayan lainnya.

Para nelayan andon inilah yang menjadi cikal bakal dan menghidupkan dunia perikanan di Sendang Biru. Selain para pemilik kapal, berdatangan juga ABK yang berasal dari beberapa daerah lain di Jawa Timur seperti Madura, Probolinggo, Banyuwangi, dan beberapa daerah lainnya. Merekalah yang membentuk masyarakat perikanan di Sendang Biru, selain masyarakat lokal. Terjadi juga akulturasi di sana.

Hanya saja, ketika terjadi kesenjangan pendapatan antara nelayan andon dan lokal, mulai muncul kecemburuan sosial. Di antaranya adalah para nelayan andon, terutama dari Sinjai, hanya berlayar selama dua hari, tapi bisa mendapatkan 3 ton ikan. Sementara nelayan lokal, kendati berlayar di laut lima hari, hanya mendapatkan sekitar satu ton saja. Padahal nelayan lokal sudah menggunakan kapal jenis purse seine yang dirancang khusus untuk menangkap ikan dengan alat tangkap jenis pukat cincin atau purse seine. Mereka juga bekerja lebih lama. Mereka kalah dari teknik memancing orang Sinjai.

Pada tahun 2000, terjadi demo besar-besaran menentang keberadaan nelayan andon dari Sinjai ini. Nyaris terjadi bentrok, sebelum akhirnya didamaikan aparat setempat. Mediasi yang dilakukan antara kedua pihak memberikan hasil positif. Apalagi, tokoh masyarakat dari Sinjai dan Malang didatangkan untuk bertukar pikiran. Disepakati juga transfer pengetahuan bagi nelayan lokal. Beberapa nelayan Sendang Biru diajak ke Sinjai untuk belajar teknik menangkap ikan ala orang Bugis, yang sama sekali berbeda dengan teknik nelayan di pesisir selatan Jawa.

“Sampai kami juga mulai bisa membuat rumpon dan memancing,” ujar Budi.

Penghasilan nelayan lokal pun pelan-pelan meningkat. Mereka kemudian berinisiatif membuat kelompok tani bernama Kelompok Rukun Jaya. Budi dipercaya sebagai bendahara. Hasil dari berlayar dipungut sebesar 1 persen, selain untuk retribusi kepada pemerintah. Dari 1 persen itu, separuhnya digunakan untuk membuat rumpon baru sebanyak sebelas unit. Sedangkan separuh lagi untuk preman yang ketika itu marak di sana.

“Jadi aparat kita kalah banyak dibanding preman. Makanya, kita berikan jatah setengah persen untuk mereka,” ujar Budi sembari tersenyum.

Sebelas rumpon itulah yang kemudian terus berkembang. Bahkan sekarang, banyak nelayan yang sudah memiliki rumpon sendiri atau berkelompok. Jumlah rumpon di Samudra Hindia sekitar Malang ini sudah tidak terhitung lagi. Satu rumpon biasanya digunakan untuk lima kapal pancing. Harga pembuatan yang cukup besar, yakni antara Rp50 juta hingga Rp100 juta per satu unit rumpon tak menghalangi niat para nelayan membuat rumpon. Mereka paham manfaatnya.

Rumpon yang diletakkan di samudra itu akan dikunjungi pada masa ikan tuna datang. Para awak sekoci akan mulai memancing. Masa panen memancing tuna biasanya terjadi pada bulan Maret hingga September. Di luar itu, ikan tuna hanya kecil-kecil dan tidak memadai. Adapun masa paling banyak adalah antara Mei hingga Agustus setiap tahun. Jika musim puncak ini, memancing dua hari sudah bisa mendapatkan 1-3 ton ikan. Tak hanya tuna, tapi juga cakalang dan tongkol.

Sebelum kedatangan para nelayan Sinjai, nelayan setempat belum pernah menangkap tuna. Apalagi kapal yang mereka gunakan biasanya hanya kapal dengan ukuran 2 GT. Jarang ada kapal besar milik nelayan Sendang Biru. Makin lama, para nelayan setempat memiliki kapal besar, rumpon sendiri, juga pengalaman dan teknik pancing yang diadopsi dari cara nelayan Sinjai.

Belakangan, masyarakat setempat membentuk koperasi unit desa (KUD) bernama KUD Bina Jaya. Budi Ismiyanto dipercaya sebagai sekretarisnya. KUD Bina Jaya ini yang melakukan lelang ikan tuna. Para pengusaha perikanan, bahkan importir akan datang secara berkala dan melakukan proses lelang dengan komoditas utama tuna dan cakalang.

“Kami pun sudah tidak membedakan lagi nelayan andon atau lokal,” ujar Budi.

Keahlian yang dimiliki para nelayan asli Sendang Biru pun sudah nyaris sama dengan nelayan asal Sinjai. Mereka beralih juga dari teknik menjaring menjadi teknik memancing.

Cara memancing yang dilakukan pun sangat unik. Biasanya ada ABK di lima kapal yang ikut memancing dengan spot pancing di sekitar rumpon, yang lokasinya 100-200 mil laut dari bibir pantai. Ada teknik pancing biasa, ada teknik menggunakan layang-layang. Pancing layang-layang ini dilakukan dengan mengulurkan benang ke air yang dikaitkan dengan kail. Di ujung benang ada layang-layang yang terus bergerak mengikuti embusan angin.

“Tujuannya agar umpan yang kami gunakan terus bergerak dan seakan nyata makhluk hidup dan akhirnya disambar tuna,” ujar tokoh masyarakat Sendang Biru asal Sinjai, Muhammad Yusuf.

Yusuf merupakan generasi kedua nelayan Sinjai yang menetap di Sendang Biru. Dia baru mencoba peruntungan baru di Sendang Biru pada 2002. Diceritakan Yusuf, cara memancing nelayan Sinjai sudah dipakai sepenuhnya oleh nelayan Sendang Biru saat ini. Bahkan mereka sudah mahir juga dengan teknik menggunakan layang-layang.

“Tentunya menggunakan layang-layang dari plastik agar tahan air,” tambah Yusuf.

Sebagai pemancing ikan besar, benang nilon dan mata kailnya tentu saja menyesuaikan. Apalagi ikan tuna bisa mencapai 70 kg hingga 1 kuintal, kendati yang terakhir ini jarang didapat. Mata kail yang digunakan ukuran 1 hingga 9. Ukuran 1 hingga 4 digunakan untuk tuna yang memiliki berat antara 20 kg hingga 70 kg. Sebagai catatan, mata pancing nomor 1 memiliki panjang 9 cm dengan lebar 3 cm, menyesuaikan dengan ukuran mulut ikan tuna. Sedangkan umpan yang biasa dipakai adalah ikan kecil, cumi, bahkan kadang ikan atau cumi plastik yang didesain khusus.

 

Adaptasi Nelayan Lokal

Di tempat asalnya Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan, para nelayan hanya melaut di musim tuna, terutama saat masa “panen” yakni dari Mei hingga Agustus. Sementara di waktu lainnya, mereka memilih istirahat, memperbaiki atau membuat rumpon baru, atau hanya mengikuti kegiatan masyarakat di kampung.

“Biasanya pesta adat atau menikahkan anak itu di masa tidak melaut. Ya, bulan-bulan sekaranglah,” ujar Yusuf.

Sebenarnya, beberapa perairan tetap saja ada tuna yang bisa ditangkap. Misalnya di perairan Maluku atau Selayar. Hanya saja, banyak di antara nelayan Sinjai memilih istirahat. Apalagi, pada masa tertentu seperti Juli-Agustus, perairan Maluku kerap ada angin kencang dan gelombang tinggi. Sangat berisiko jika tetap melaut.

Ketika nelayan Sinjai menetap di Sendang Biru, kebiasaan mereka pun berubah. Kini tidak ada lagi masa istirahat panjang jika tidak ada tuna. Sebab, nelayan lokal memiliki kebiasaan menangkap ikan layur.

“Jadi kami ikut kebiasaan di sini juga. Kami juga menangkap layur,” ujar Yusuf.

Adaptasi nelayan Sinjai di Sendang Biru ini juga terjadi dalam banyak hal. Mulai terjadi juga pernikahan antara masyarakat lokal dan pendatang. Perkampungan nelayan pun tercipta dengan banyaknya  nelayan-nelayan baru, selain dari Sinjai, juga dari Trenggalek, Tulung Agung, dan  Pacitan. Belum lagi para ABK yang datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

“Kalau musim tuna ramai sekali,” ujarnya.

Makanya Dusun Sendang Biru pun kini sudah dibagi menjadi dua dusun. Ada Dusun Sendang Biru Utara dan ada Sendang Biru Selatan. Sendang Biru Utara mayoritas dihuni masyarakat lokal. Sedangkan Sendang Biru Selatan justru mayoritas dihuni andon atau nelayan pendatang. Jumlahnya mencapai sekitar 90 persen. Kedua dusun memiliki penduduk  sekitar 4.800 orang.

Sebagai nelayan, aktivitas mereka sudah relatif sama. Tidak ada lagi perbedaan. Mereka sama-sama memancing tuna di musim ikan tuna dan sama-sama menjaring layur di musim tidak ada tuna.

 

Tuna Kualitas Ekspor

Ikan tuna yang dihasilkan di Sendang Biru termasuk yang memiliki kualitas tinggi. Jenisnya adalah tuna sirip kuning atau yellow fin. Tuna ini kebanyakan diekspor ke Eropa selain juga Jepang. Selain jenis yellow fin, ada juga jenis tuna mata besar, tuna sirip biru selatan, dan albakora.

Hanya saja, belum ada pelabuhan ekspor di Sendang Biru. Bahkan di sepanjang selatan Pulau Jawa belum ada pelabuhan untuk ekspor. Di Sendang Biru baru ada pelabuhan perikanan biasa bernama Pelabuhan Perikanan Pantai Pondok Dadap. Di pelabuhan ini ada colt storage dan tempat pelelangan ikan (TPI). Setelah ikan dilelang, barulah diangkut dengan menggunakan truk colt diesel untuk selanjutnya dibawa ke Tanjung Benoa, Bali. Dari Bali, tuna-tuna ini diekspor.

“Kendalanya pelabuhan ini belum bisa dimasuki kontainer besar karena akses jalan yang kecil. Jadi baru dengan truk biasa,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Pantai Pondok Dadap, Mufid Supriyanto.

Padahal jika akses kontainer bisa langsung ke pelabuhan ini, maka cost akan lebih ringan. Tentunya semua pihak akan diuntungkan, baik nelayan, pengusaha, maupun pemerintah. Adapun harga tuna fluktuatif. Beberapa bulan lalu bisa mencapai angka Rp75 ribu per kg untuk ikan dengan berat di atas 20 kg dan itu termasuk yang tertinggi. Saat ini harganya antara Rp50 ribu hingga Rp60 ribu per kg.

Tingkat produksinya pun fluktuatif. Pada 2021, volume produksi tuna di Selatan Jawa Timur ini mencapai 11.251 ton dengan penjualan sebesar Rp180,9 miliar. Sedangkan pada 2022, produksinya mencapai 10.509 ton dengan penjualan sebesar Rp226,8 miliar hingga November 2022.

“Jadi kendati tahun ini volume produksi belum setinggi tahun lalu, tapi rupiahnya sudah melampaui. Artinya harga tuna internasional tahun ini meningkat,” ujar Mufid.

Produksi tuna di Malang ini pernah lebih tinggi pada 2019 yakni di angka 13.107 ton. Sedangkan pada 2020 angkanya menurun jadi 8.522 ton dan baru meningkat lagi pada 2021. Produksi itu didukung juga dengan kapal-kapal yang banyak. Tercatat 649 kapal berbagai ukuran dan metode alat tangkap beroperasi di Malang selatan ini.

 

Kesadaran Menjaga Alam

Kebiasaan nelayan Sinjai menggunakan rumpon dan memancing tuna tidak saja menguntungkan dari sisi ekonomi. Dari sisi menjaga habitat dan alam, penggunaan rumpon juga merupakan sebuah terobosan. Apalagi, cara ini ditularkan ke kawasan Nusantara, termasuk di selatan Jawa. Para nelayan Jawa bagian selatan sudah mulai terbiasa menggunakan sistem pancing dengan spot rumpon.

Padahal sebelumnya, para nelayan di pesisir selatan Jawa ini menduga hasil tangkapan besar yang dilakukan nelayan andon sama dengan yang mereka lakukan. Sebelumnya, salah satu kebiasaan nelayan adalah menggunakan bom ikan dan potasium. Hal ini disebutkan dan diakui salah satu tokoh nelayan Sendang Biru, Budi Ismiyanto. Akan tetapi saat dikonfirmasi ulang, dia menyebut bahwa pelaku bom ikan di wilayah Sendang Biru bukan nelayan setempat.

“Soal bom ikan, dulu memang ada, tapi bukan nelayan Sendang Biru,” ujar Budi.

Aktivis lingkungan hidup asal Sendang Biru, Saptoyo menyebutkan bahwa pada era reformasi, pengurasan sumber daya alam, termasuk di Sendang Biru terjadi luar biasa. Masyarakat seakan merasa bebas melakukan apa saja. Bom ikan marak, penjarahan hutan alam, juga mangrove terjadi di Sendang Biru. Bahkan Sapto menyebutkan bahwa warga setempat juga ikut merusak alam ini.

“Sebelum tahun 2000 itu bom ikan masih marak. Jadi sejak awal reformasi sampai tahun 2000 itu masih ada,” ujar Sapto.

Ketua Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru ini dengan keras menentang perusakan alam di dusunnya ini. Akan tetapi banyak masyarakat yang justru menentangnya karena dianggap menghambat perekonomian baru mereka. Rupanya, kata Sapto, selama ini alam tidak dirusak bukan karena kesadaran, melainkan takut. Ketika tak ada penjagaan, maka alam dirusak dengan semena-mena.

Setelah bom ikan tidak lagi marak, muncul pula potasium. Potasium biasanya ditebarkan pada terumbu karang. Potasium akan menyebabkan ikan-ikan pingsan, lalu mengapung, dan nelayan tinggal mengambilnya. Potasium juga akan merusak terumbu karang, selain juga membinasakan semua jenis ikan, baik yang besar maupun yang kecil.

Biasanya, para nelayan akan menyelam di kedalaman 10-20 meter untuk mencari kawasan terumbu karang. Di kawasan yang banyak ikannya ini, mereka menyemprotkan cairan yang berisi potasium sianida itu. Potasium sianida itu juga diberi warna yang mencolok agar menarik ikan datang. Cairan itu kerap kali dimasukkan ke dalam botol pembersih lantai dan dimodifikasi dengan ditambahkan selang. Tujuannya agar memudahkan cairan potasium itu keluar saat penyelam sudah di dekat terumbu karang. Potasium tak hanya melenyapkan semua generasi ikan, tapi juga habitat dan rumah-rumah ikan. Terumbu karang pun bisa mati akibat potasium sianida ini.

“Setelah tahun 2000 itu masih ada potasium,” ujar Sapto.

Banyaknya ikan yang dihasilkan nelayan asal Sinjai, awalnya diduga masyarakat tempatan sebagai hasil potasium bahkan bom ikan. Bahkan warga lokal menduga, bisa jadi skalanya lebih besar karena hasil yang didapat nelayan andon asal Sinjai ini memang luar biasa. Padahal tentu saja tidak. Teknik rumpon yang ramah lingkungan ternyata bisa menghasilkan ikan yang lebih banyak.

Seiring dengan teknik baru penangkapan, pemeliharaan alam juga dilakukan dengan memelihara terumbu karang di sekitar Sendang Biru. Area konservasi terumbu karang berada di sekitar di Pantai Savana, Pantai Mini, Pantai Watu Pecah, serta Pantai Tiga Warna. Di area ini, nelayan dilarang menangkap ikan. Area konservasi ini dinamakan marine protective area (MPA). Luasnya sekitar 15 hektare.

“Saya sampaikan, jangan tangkap ikan di wilayah ini. Kalau di luar itu silakan. Kalau ikannya keluar dari wilayah itu berarti apese iwake rezekimu (apes ikannya, rezeki untukmu),” ujar Sapto.

Terumbu karang di beberapa pantai ini, menurutnya pernah rusak sejak 1998. Aktivitas ilegal yang tak terkendali jadi penyebabnya. Padahal banyak ikan karang yang berdiam di sini, di antaranya kakap dan kerapu. Ikan itu akan berkembang baik di kawasan terumbu karang. Jika keluar kawasan, mereka bisa jadi rezeki para nelayan.

Stok ikan di terumbu karang yang dipelihara dinilai penting karena ikan tuna tidak bisa diambil sepanjang tahun. Masa jeda ikan tuna itu bisa diisi dengan menangkap ikan di perairan dangkal, termasuk ikan kakap dan kerapu. Ikan layur yang jadi salah satu khas Malang selatan juga diyakini berkembang karena terpeliharanya terumbu karang di Sendang Biru.

Banyaknya ikan tuna di Samudra Hindia diyakini tak lepas juga dari keberadaan terumbu karang di sekitar perairan Sendang Biru ini. Sebab, ikan-ikan kecil kerap bertelur dan berkembang di terumbu karang. Ikan kecil menjadi rantai makanan dari ikan yang lebih besar dari lautan luas. Ikan-ikan besar itu yang menjadi santapan bagi salah satu predator puncak di laut dalam yakni tuna dan cakalang.

Selain terumbu karang, keberadaan mangrove yang cukup luas, yakni 117 hektare menjadi awal dari rantai makanan ini. Sendang biru memang memiliki hijauan yang cukup luas untuk menjaga birunya laut di sekitarnya. Mangrove Sendang Biru juga relatif terjaga dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan keberadaan mangrove, maka ekosistem laut terjaga dari awal. Salah satunya dari dedaunan mangrove. Daun yang gugur dan membusuk menjadi sumber makanan bagi plankton dan mikroorganisme lainnya. Akar mangrove yang kokoh juga menjaga pantai dari abrasi, empasan gelombang yang bisa melanggengkan rumah ikan kecil dan plankon. Akar yang kokoh dari mangrove juga menjadi tempat yang nyaman bagi pembenihan ikan-ikan kecil, kepiting, udang, dan hewan kecil lainnya.

“Dari mangrove inilah rantai makanan itu bermula, hingga hasilnya tuna melimpah di laut dalam,” ujar Sapto.

 

Pengembangan Ekowisata

Sapto secara aktif menyampaikan tentang kawasan konservasi ini kepada masyarakat dan nelayan setempat. Awalnya banyak penentangan kepadanya, sampai kemudian dia mengembangkan pariwisata berbasis konservasi. Ekowisata ini kemudian berkembang pesat. Masyarakat setempat yang dilibatkan bahkan mencapai 109 orang. Kawasan ekowisata ini diberi nama Clungup Mangrove Conservation (CMC).

Selain terumbu karang, yang diproteksi juga adalah mangrove. Total luas kawasan konservasi ini 117 hektare. Konsep ekowisata ini terus berkembang. Pengunjung pun ramai. Bahkan pengunjung bisa mencapai 5-6 ribu orang per tahun sebelum pandemi dan 3-4 ribu orang setelah pandemi Covid-19. Pantai Tiga Warna dan Pantai Gatra adalah favoritnya. Pantai-pantai ini juga diproteksi sedemikian rupa. Pengunjung yang datang didata barang bawaannya. Berapa banyak potensi sampah yang dibawa, maka sebanyak itu pulalah yang harus dibawa kembali ke luar dari kawasan pantai. Misalnya pengunjung membawa 10 botol minuman, maka airnya bisa diminum selama di pantai, tapi botolnya dibawa kembali. Pengelola pantai bahkan memiliki dua pos pengecekan yang diawasi secara ketat. Bahkan untuk sekadar puntung rokok, mereka membawa asbak mobile untuk menampungnya. Tujuannya agar mangrove di kawasan ini benar-benar terjaga, tidak tercemari. Sebab, jika pengunjung membawa sampah, maka sampah itu pula yang “meracuni” ikan-ikan. Perut ikan akan dipenuhi sampah.

Menurut Sapto, jika manusia baik kepada alam dan merawatnya, maka manusia akan mendapatkan kebaikan dari alam. Sebaliknya, jika alam disakiti, maka dampaknya juga akan dirasakan manusia.

“Harus ada keseimbangan antara mikrokosmos yakni manusia dan makrokosmos yakni alam semesta. Tidak boleh kita eksploitasi alam ini sedemikian rupa,” ujar Sapto berfilosofi.***

 

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook