Helat Pemilihan Gubernur Riau 4 September lalu terbilang kondusif tanpa cacat dengan konflik massif. Tapi angka Golput diprediksi masih tinggi dan kecurangan masih terjadi, walau sulit untuk dibuktikan.
-----------------------
Laporan MUHAMMADHAPIZ, Pekanbaru
HARI masih subuh. Mas Wan (43), bergegas bangun dari tidurnya untuk bersiap-siap menuju masjid. Tidak seperti hari biasanya mengenakan kain sarung, karyawan toko ini memakai pakaian baju putih dan celana hitam. Sehabis Salat Subuh berjamaah, Ia akan langsung menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) 25 Jalan Garuda Sakti untuk bertugas sebagai salah seorang petugas TPS yang telah ditunjuk sebelumnya. Tentu saja ia sudah meminta izin ditempat kerjanya kalau tidak masuk kerja hari itu.
Sekitar pukul 07.00 WIB, ditengah ia bersama petugas TPS lainnya mempersiapkan berbagai hal untuk hari pencoblosan Pemilihan Gubernur Riau 2013, 4 September, beberapa warga lewat. Keberadaan TPS tersebut memang persis diperlintasan warga beraktivitas. Tiap warga lewat, Mas Wan menyapa dan menyebutkan sudah bisa mencoblos, namun rata-rata menjawab nanti saja. Pedagang jajanan anak menggunakan sepeda motor yang cukup akrab baginya lewat pula. Saat disapa dan diminta untuk mencoblos, pedagang itu tetap berlalu sembari mengatakan ''coblos tak penting. Yang penting cari duit untuk makan''. Mendengar jawaban itu, Mas Wan tertegun tapi tidak dapat berbuat apa-apa, kemudian melanjutkan tugasnya.
Gambaran peristiwa tersebut agaknya tidak hanya dialami Mas Wan saja. Hampir di 11.699 TPS di seluruh kabupaten/kota di Riau, mengalami hal yang sama. Ketidakmauan warga untuk menggunakan hak pilihnya dengan berbagai sebab tersebut biasa disebut Golongan Putih (Golput). Berbagai sebab, misalnya, karena ketidaktahuan, merasa tidak ada manfaat secara langsung kepada mereka, kondisi ekonomi yang mengharuskan bekerja atau mengsengajakan Golput sebab tidak satupun dari para calon yang disukai. ''Yang paling jengkel jawaban ''malas saja''. Padahal setiap pilihan kita menentukan nasib kita untuk lima tahun ke depan. Tapi itu hak mereka,'' ucap Mas Wan Jengkel. Dan benar saja, di TPS Mas Wan bertugas, angka Golput tergolong cukup tinggi, hampir separuh dari jumlah pemilih yang terdaftar.
Walau belum final berapa jumlah warga Riau yang memilih dari jumlah yang terdaftar mencapai 4.000.459 jiwa, angka perkiraan persentase sudah mulai muncul. Hasil rekapitulasi Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Provinsi Riau, diperkirakan tingkat partisipasi pemilih hanya sekitar 60 persen atau 40 persen tidak memilih. Data yang direkap hingga Kamis (5/9) pukul 15.00 WIB, total suara yang terhimpun sebanyak 2.327.751. Angka tersebut sudah hampir final, mengingat sudah hampir keseluruhan rekapitulasi suara dari kabupaten/kota yang disampaikan.
Dengan asumsi tersebut, berarti hanya satu-satunya golongan yang menang dengan melebihi angka 30 persen suara yaitu golongan Golput. Mengingat pula, dari data rekapiltulasi Kesbangpolinmas Riau tersebut, dari lima pasangan calon, pasangan Anas-Andi yang memiliki suara tertinggi dengan perolehan suara 637.530 atau 29,26 persen. Kemudian disusul Herman Abdullah-Agus Widayat 504.616 suara atau 21,92 persen, pasangan Achmad-Masrul Kasmy 482.480 suara atau 20,96 persen. Disusul Lukman Edy-Suryadi Khusaini 324.328 suara atau 14,09 persen dan Jon Erizal-Mambang Mit 319.391 suara atau 13,87 persen.
''Kemenangan'' Golput ini, dijawab Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Riau Eddy Syafruddin salah satu penyebab utamanya kurangnya sosialisasi sehingga tidak berhasil untuk menggaungkan pesta demokrasi memilih pemimpin Riau yang baru. Walau jumlah persentase suara Golput dan suara calon belum ditetapkan, tapi gejala masih tingginya angka Golput cukup terasa. Sosialisasi yang berhasil menurut Eddy dengan indikator sejauh mana kepedulian masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
''Kalau sekarang memang terlalu dini mengatakan angka Golput tinggi. Persentasenya harus menunggu hari perhitungan rekapitulasi suara dan penetapan di KPU. Tapi gejala tingginya angka Golput memang terlihat. Setidaknya kita perhatikan di tiap TPS. Kalau KPU kan mematok tingkat partisipasi pemilih mencapai 70 persen. Apakah mencapai angka tersebut atau tidak, kita lihat nanti,'' ucap Eddy.
Ketua KPU Riau Tengku Edy Sably juga menyebutkan masih terlalu dini menyampaikan angka Golput. Hingga hari perhitungan dan penetapan hasil Pilgubri yang digelar 15-16 September nanti, belum bisa dipastikan jumlah masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Patokan angka 70 persen partisipasi pemilih tetap saja optimis dicapai. ''Kita lihat saja nanti hasil perhitungannya,'' ujar Tenku Edy.
Pengamat Politik Andi Yusran menyebutkan, fenomena Golput menjadi bagian tidak terpisahkan dari pesta demokrasi, termasuk Pilgubri 4 September lalu. Banyak faktor katanya yang menyebabkan masyarakat lebih memilih tidak mencoblos. Kondisi ekonomi yang mengharuskan warga tetap bekerja dan tidak sempat ke TPS dan ketidakmauan memilih sebab ketidakcocokkan salah satu calonpun, menurutnya faktor yang dominan.
''Banyak masyarakat kita pekerjaannya petani, nelayan dan pedagang. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak bisa menyalurkan hak suara. Disamping itu, meyakinkan semua lapisan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya juga tidak berhasil,'' ucap Andi sembari menyebutkan, tinggi rendahnya angka pemilih cukup mempengaruhi legitimasi siapa yang menjadi pemenang. Dan lagi, tingginya Golput selalu terjadi di setiap pesta demokrasi di Riau, seperti halnya Pemilihan Wali Kota Pekanbaru 2011 lalu dimana angka Golput 40 persen lebih.
Kecurangan Sulit Dibuktikan
Di bagian lain dugaan kecurangan pelaksanaan Pilgubri 4 September masih saja terjadi. Namun kecurangan yang terjadi sulit untuk dibuktikan. Masih dalam pikiran Ketua Divisi Hukum dan Penindakan Panwaslu Kota Pekanbaru, Bustami Ramzi, peristiwa pada malam menjelang hari pencoblosan dimana ia bersama anggota pengawas lapangan mencoba menangkap tangan aksi bagi-bagi Sembako dari salah satu tim calon Pilgubri.
''Disaksikan warga sekitar, kami menggedor pintu rumah. Tapi tidak dibuka. Mulanya lampu teras hidup lalu dimatikan dan ada orang didalamnya. Tapi tidak mau membuka pintu. Di dalam rumah itu terdapat ratusan paket Sembako yang akan dibagikan kepada warga untuk diminta memilih salah satu calon,'' ujar Bustami yang menyebutkan peristiwa tersebut terjadi di Kelurahan Muara Fajar, Kecamatan Rumbai.
Pintu tak kunjung dibuka, Bustami berinisiatif menghubungi petugas kepolisian setempat untuk meminta bantuan. Lama ditunggu, malam juga semakin larut, Bustami dan anggota PPL lainnya mencari cara lain. Mereka mendatangi salah satu warga untuk meminta Sembako yang telah dibagikan. Diketehui mereka, sebagian Sembako telah dibagikan dan ramainya warga yang datang malam itu juga dengan niat untuk mengambil jatah Semabko.
''Kita perlu bukti dan saksi untuk menindaklanjutinya. Akhirnya kita minta ke warga paket Sembako yang sudah diterimanya sebagai bukti. Tapi sayangnya, tidak satupun warga yang mau dijadikan saksi. Inilah salah satu kelemahan dalam penindakan hukum,'' ucap Bustami.
Bukan itu saja. Aksi dugaan bagi-bagi uang untuk mendukung calon juga terdengar senter. Di Kelurahan Simpang Baru, aksi ini nyaring terdengar. Dugaan ini juga sampai ke pengawas lapangan dan Panwaslu Pekanbaru. Namun lagi-lagi sulit untuk dibuktikan. Untuk ditindak secara hukum, setidaknya harus ada yang tertangkap tangan dan adanya dua orang saksi.
''Kita juga mendengar adanya bagi-bagi uang ini. Rp50 ribu untuk satu orang yang mau memilih salah satu calon. Kita sudah turun dan lacak, tapi tidak bisa mendapati tangkap tangan dan saksi. Juga di hari pencoblosan, ada juga dugaan pengerahan massa. Kalau hal ini, tentunya dikembalikan ke aturan apakah diperbolehkan mencoblos atau tidak. Apakah prosedur memilih menggunakan KTP saja sudah sah atau tidak,'' ucap Bustami.
Namun yang cukup mengganggu bagi Panswaslu dan jajarannya ketidakpahaman atau dugaan kesengajaan petugas KPPS yang tidak menyerahkan formulir C1 kepada anggota PPL Panwaslu. Formulir terdiri 7 rangkap, berisikan hasil rekapitulasi perhitungan suara di tiap TPS, diserahkan ke masing-masing saksi calon dan 1 untuk PPL Panwaslu.
''Tapi banyak terjadi, satu rangkap untuk PPL Panwaslu dimasukkan ke dalam kotak suara. Apakah karena ketidaktahuan atau kesengajaan, kita tidak mengerti. Padahal setiap helat demokrasi dilaksanakan, memberikan satu lampiran ke pengawas sudah lazim. Dan keselahan ini bisa menjadi potensi kecurangan dimana bisa saja hasil perhitungan dirubah di kelurahan. Kita sudah sampaikan persoalan ini ke Bawaslu dan untuk petugas jajaran Panwaslu lapangan sudah kita minta untuk mengawasi jalur distribusi surat suara, jangan sampai diotak-atik ditengah jalan,'' ujarnya.
Ketua Bawaslu Riau, Eddy Syafruddin, mengakui sudah menerima laporan banyaknya formulir C1 yang tidak diterima Panwaslu Pekanbaru. Kota Pekanbaru sebutnya paling banyak tidak menyerahkan formulir tersebut, disamping banyak juga yang terjadi di kabupaten/kota. Kondisi ini terjadi menurutnya sebab tidak sampainya KPU menjelaskan hingga ke tingkat desa bagaimana prosedural pemilihan dan perhitungan suara di tingkat TPS dalam hal administrasi.
''Persoalan ini jelas mengganggu dan bisa menyebabkan munculnya berbagai dugaan. Kita sayangkan hal ini dan seharusnya KPU memberikan penjelesan secara detail hingga ke petugas TPS bagaimana melaksanakan prosedur administrasinya. Walaupun petugas KPPS nya sudah berpengalaman melaksanakan pemilihan, tapi tetap harus dijelaskan lagi. Buktinya, masih banyak yang tidak mengerti,'' tutur Eddy.
Soal pelanggaran pidana, Eddy juga menyampaikan desas-desus memang banyak didengar dan disampaikan. Namun sejauh ini paparnya, tidak satupun yang menyampaikan dengan bukti yang kuat. Bawaslu sebutnya tidak bisa bergerak melakukan tindakan hukum jika tidak dilengkapi bukti sama sekali. ''Sampai saat ini tidak satupun kasus hukum yang dilaporkan kepada kami. Kalau hanya kabar angin, banyak. Tapi yang dilengkapi bukti tidak ada. Bawaslu juga masih menunggu kalau ada laporan yang masuk dari Panwaslu Kota maupun kabupaten,'' paparnya.
Untuk tahapan selanjutnya, Bawaslu mengingatkan agar KPU mentaati jadwal tahapan Pilgubri yang sudah dituangkan dalam peraturan. Apalagi sudah selesai hari pencoblosan, tidak ada lagi alasan bagi KPU untuk tidak menjalankan tahapan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Jadwal yang sudah ditetapkan, pleno rekapitulasi suara di tingkat desa 5-10 September, tingkat kecamatan 11-12 September, Kabupaten/kota 13-14 September dan KPU Provinsi 15-16 September. Dan Eddy mengingatkan, tahapan demi tahapan ini mesti diikuti oleh saksi calon dan diawasi oleh petugas Panwaslu.
''Tiap tingkatan kita harapkan setiap saksi menjalankan haknya. Jika didalam perhitungan ada jumlah suara yang tidak pas, langsung saja disanggah. Jika di tiap tingkatan dilakukan, mulai dari desa hingga Provinsi, maka hasil Pilgubri bisa diterima semua pihak. Dan KPU kita ingatkan jangan melanggar tahapan yang sudah ditetapkan. Kalau melanggar, kita proses,'' ulasnya.
Dengan kondisi saat ini masih dilakukan penghitungan suara dan potensi kerawanan konflik masih cukup besar, Eddy meminta seluruh elemen masyarakat, terutama calon dan tim suksesnya bersabar dan tidak mudah terprovokasi. Silahkan sebutnya masing-masing calon memiliki hasil perhitungan sendiri, tapi final dan berkekuatan hukum ada saat pleno akhir penetapan di KPU Riau. ''Mari kita bersabar dan menghormati tahapan penghitungan rekapitulasi suara sesuai tingkatannya. Kita juga sudah minta jajaran Panwaslu untuk tetap mengawasi jalannya perhitungan suara,'' jelasnya.
Dengan perolehan suara sementara saat ini, banyak pihak memprediksi akan terjadi putaran dua Pilgubri. Putaran dua Pilgubri akan dilaksanakan, jika hasil pleno KPU Riau 15-16 September nanti memutuskan tidak satupun yang memiliki suara lebih dari 30 persen. Jika memang putaran dua tidak terelakkan, Eddy Syafruddin menyebutkan pengawasan akan diperketat lagi.
''Tapi kita saat ini tidak punya anggaran lagi. Kalau masuk putaran dua, kita mengharapkan tambahan anggaran di APBD Perubahan. Putaran kedua setidaknya memerlukan tambahan anggaran Rp60 miliar,'' paparnya.**