Laporan PRIYO HANDOKO, Jakarta
Berkat buku karya Fadli Zon ini, diketahui bahwa Kartosoewirjo dimakamkan di Pulau Ubi, bukan di Pulau Onrust seperti yang diyakini selama ini.
Fadli membeli 81 foto eksklusif di dalamnya, tapi tak tahu asal usulnya.
Membaca judul bukunya saja, Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII, sudah bisa ditebak isi buku berukuran besar setebal 92 halaman itu.
Ya, buku yang ditulis Fadli Zon tersebut memang menampilkan rangkaian foto proses eksekusi mati terhadap proklamator Negara Islam Indonesia yang bernama lengkap Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tersebut.
‘’Terbitnya buku ini untuk melengkapi puzzle sejarah,’’ kata Fadli saat launching dan bedah bukunya di Ruang Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Rabu (5/9).
Fadli mengungkapkan, hingga kini memang sudah banyak publikasi atau ulasan perjalanan hidup Kartosoewirjo dan sepak terjangnya dalam gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Tetapi, semua karya itu minim sajian foto bersejarah Kartosoewirjo, terutama di detik akhir hidupnya.
‘’Fakta yang dimuat dalam buku ini berupa rangkaian foto orisinal secara kronologis proses eksekusi mati Kartosoewirjo,’’ terang Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Rangkaian foto yang ada memang sudah banyak ‘’bercerita’’. Dimulai dari pertemuan terakhir Kartosoewirjo dengan keluarganya sebelum menjalani eksekusi pada 12 September 1962. Saat itu keluarga Kartosoewirjo santap siang bersama dengan menu daging rendang. Tetapi, Kartosoewirjo sendiri tidak mau makan. Dia kemudian minum kopi saja.
Setelah pertemuan keluarga itu, Kartosoewirjo melakukan Salat Taubat. Ada juga foto saat tentara melepaskan arloji Rolex yang dikenakan Kartosoewirjo untuk diserahkan kepada pihak keluarga.
‘’Ternyata Kartosoewirjo ini punya kelas juga. Jam tangannya merek Rolex. Tokoh nasional lain yang punya adalah Soetan Sjahrir,’’ ujar Fadli.
Jam tangan Rolex bersama sejumlah barang pribadi lain seperti piyama bermotif kotak-kotak cokelat, bolpoin Parker, tempat rokok cap kuda, dan gigi palsu diberikan kepada pihak keluarga. Khusus jam tangan Rolex sempat disimpan Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu Kartosoewirjo. Tetapi, suatu ketika rumahnya kemalingan. Jam tangan Rolex itu termasuk yang ikut dicuri.
‘’Sayang sekali, karena jam tangan itu bersejarah tinggi,’’ tutur Fadli.
Momen ketika Kartosoewirjo menyempatkan untuk merokok termasuk yang tak luput dari jepretan kamera. Dengan tangan terborgol, Kartosoewirjo lalu dibawa ke kapal patroli kelas PGM dan dibaringkan petugas di salah satu ruang.
Foto berikutnya memperlihatkan Kartosoewirjo dipindahkan ke kapal lain, yakni landing craft mechanized (LCM), untuk menuju Pulau Ubi di wilayah Kepulauan Seribu, tempat dilakukannya eksekusi mati.
Menurut Fadli, sebagian besar peneliti dan sejarawan masih meyakini eksekusi Kartosoewirjo dilakukan di Pulau Onrust di wilayah Kepulauan Seribu juga. Fakta itu diharapkannya bisa meluruskan sejarah.
‘’Bahkan, sekarang ini banyak orang berziarah ke Pulau Onrust. Padahal, dari caption foto jelas disebut Pulau Ubi,’’ tegas Fadli.
Rangkaian foto tersebut semakin mencekam saat Kartosoewirjo yang masih di atas kapal LCM berganti pakaian putih-putih, lalu matanya ditutup dengan kain putih.
Setiba di Pulau Ubi, Kartosoewirjo dibawa ke sebuah lokasi, tempat tiang papan pengikat dan regu tembak berjumlah 12 orang sudah menunggunya.
Puluhan orang dari kalangan militer dan pejabat menyaksikan ditembak matinya Kartosoewirjo.
Terakhir, komandan regu melakukan tembakan tambahan dari jarak yang sangat dekat, tak sampai semeter.
‘’Kesan saya dari foto itu, Kartosoewirjo pergi dengan tegar. Tak kelihatan sedikit pun rasa takut,’’ ungkap Fadli.
Setelah proses eksekusi selesai, jasad Kartosoewirjo diperiksa dokter. Setelah pemeriksaan, jenazah dimandikan dengan air laut, dikafani, dan disalati.
‘’Dari sekian banyak orang yang hadir, hanya empat petugas yang ikut menyalatkan. Setelah itu, jenazah Kartosoewirjo dikubur,’’ kata Fadli. Bagaimana Fadli bisa mendapat semua foto itu? ‘’Saya mendapat ini dari jalur swasta,’’ canda Fadli.
Ia menceritakan, koleksi foto tersebut diperoleh pada 7 Agustus 2010. Tepatnya setelah acara Java Auction yang melelang benda-benda filateli dan nuministik (uang kertas dan logam) di Hotel Redtop, Jakarta. ‘
’Mendadak ada seorang kolektor menawarkan koleksi foto Kartosoewirjo kepada saya. Koleksi ini sudah lama berada di tangannya dan pernah hendak dibeli sejumlah pihak,’’ katanya.
Saat tengah berembuk, ada seseorang dari Jerman yang ingin memiliki koleksi foto itu juga.
‘’Tapi, setelah saya yakinkan kolektor yang memilikinya, dokumentasi foto itu akan lebih bermanfaat kalau disimpan di perpustakaan saya, Fadli Zon Library, akhirnya koleksi foto bersejarah itu jatuh ke tangan saya,’’ tuturnya.
Berapa harga belinya? ‘’Aduh, saya lupa,’’ jawab Fadli, lantas tertawa. Ia mengatakan, koleksi foto itu baru diterbitkan sekarang bertepatan dengan momentum 50 tahun. ‘’September 1962. Pas setengah abad yang lalu,’’ kata pria kelahiran Jakarta, 1 Juni 1971, itu.
Koleksi foto Kartosoewirjo itu lalu didiskusikan Fadli kepada sejumlah sejarawan. Di antaranya, Taufik Abdullah dan Peter Carey, sejarawan dari University of Oxford.
Fadli sendiri hingga sekarang belum mengetahui asal muasal 81 foto itu. Termasuk siapa yang memotret. Meski begitu, ia memastikan semua foto yang kini menjadi koleksinya itu sebelumnya belum pernah dipublikasikan dan hanya ada satu-satunya di dunia.
‘’Besar kemungkinan foto-foto ini didokumentasi tentara. Ini dapat dilihat dari keterlibatan orang-orang yang hadir dalam peristiwa eksekusi dan cara menuliskan keterangan yang serba kaku khas tentara,’’ katanya.
Caption foto yang terdapat di dalam buku, menurut Fadli, memang sudah ada pada setiap foto dan dirinya tidak mengubah. Melalui buku itu, Fadli mengajak masyarakat luas untuk tidak terjebak dalam bingkai sejarah yang serba-hitam-putih.
Sejarah dan masa lalu, kata Fadli, harus dilihat dengan lebih dewasa dan tenang.
Termasuk dalam konteks DI/TII yang sebaiknya didudukkan secara proporsional supaya tidak terulang lagi. ‘’Ke depan kalau ada perbedaan kita bisa rekonsiliasi,’’ ujar Fadli.
Ia lantas menyampaikan, banyak yang tidak tahu peran penting Kartosoewirjo dalam sejarah republik.
Padahal, Kartosoewirjo sudah aktif di Jong Java dan menjadi vootzitter (ketua) cabang Surabaya pada 1923 atau saat berusia 18 tahun. Pada 1925, Kartosoewirjo bergabung dengan Jong Islamieten Bond dan belakangan menjadi ketuanya.
‘’Kartosoewirjo ikut dalam Kongres Pemuda 1928 dan menjadi pelaku sejarah peristiwa Sumpah Pemuda,’’ kata Fadli.
Persimpangan jalan Kartosoewirjo mulai muncul pasca perjanjian Renville. Tapi, menurut Fadli, itu bisa dipahami. Mengingat, ketika itu tengah terjadi pergesakan ideologi yang sangat kuat antara kubu nasionalis, Islam, dan komunis.
‘’Sosok seorang Kartosoewirjo memiliki kekuatan dan kelemahan. Kalaupun pada akhirnya ada perbedaan, ini yang perlu diperjelas,’’ tuturnya.
Kartosoewirjo ditangkap TNI pada 4 Juni 1962. Berlanjut dengan sidang selama tiga hari pada 14-16 Agustus di Mahkamah Angkatan Darat. Kartosoewirjo dituduh melakukan tiga kejahatan politik.
Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan untuk merubuhkan pemerintahan yang sah. Kedua, memberontak terhadap republik.
Dan, ketiga, memerintahkan pembunuhan terhadap presiden yang mencapai puncaknya dalam peristiwa ‘’Idul Adha’’.
‘’Kartosoewirjo mengakui tuduhan pertama. Tapi, ia tidak mengakui dua tuduhan yang lain. Sempat mengajukan grasi, tapi Bung Karno menolak,’’ kata Fadli.
Putra bungsu Kartosoewirjo, yakni Sardjono Kartosoewirjo, hadir dan menjadi salah satu pembicara dalam bedah buku itu.
‘’Ketika bapak meninggal (dieksekusi, red), umur saya lima tahun,’’ katanya.
Karena masih kecil, Sardjono tidak diajak dalam pertemuan terakhir keluarganya dengan Kartosoewirjo. Ia sendiri menyatakan sudah tidak memiliki dendam sejarah. ‘’Sudah terlalu lama, 50 tahun, sudah beda generasi,’’ katanya.
Sardjono menilai, proses eksekusi mati terhadap bapaknya itu telah memenuhi prosedur standar. Saat ditanya soal ide negara Islam yang diperjuangkan Kartosoewirjo, Sardjono menjawab dengan bijak. ‘’Bapak hidup dalam keadaan perang, kalau saya dalam keadaan damai,’’ ujarnya.
Sardjono pernah beberapa kali mengunjungi Pulau Onrust karena mengira Kartosoewirjo memang diekseksi di sana. Di tempat yang sama, Tahmid Basuki Rahmat, putra kedua Kartosoewirjo, juga menyatakan sudah ikhlas. ‘’Semua ini proses Sunatullah. Kita tidak bisa menolak,’’ katanya.
Tahmid yang ketika itu berusia 22 tahun ikut dalam pertemuan terakhir dengan Kartosoewiryo. Ia masih ingat, Kartosoewirjo berpesan agar anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang itu menjaga ibu mereka yang bernama Dewi Siti Kalsum.
‘’Bapak bilang, kami harus menjaga Ibu karena Ibu itu perempuan. Kadang-kadang pemikirannya lemah, apalagi sudah tua,’’ kenang Tahmid. (ttg/ila)